Selain rencana menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 20 persen, Pemerintah Rusia juga berencana memperketat standar pemasukan minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dari Indonesia.
Direktur Executive Oil dan Fat Consumers and Producer Asociation Ekatarina Nesterov mengatakan bahwa negara tirai besi tersebut akan menerapkan kebijakan pelarangan kandungan gliserol ester dalam CPO yang diimpor dari Indonesia.
"Akan ada permintaan tambahan dari kami tentang produk tanpa glisterol. Kami memang butuh dengan minyak sawit tapi apakah kalian bisa memasok bahan baku tanpa kandungan itu," kata Ekatarina di sela-sela kegiatan forum bisnis di Moskow, Selasa.
Gliserol ester merupakan bahan kimia yang diperoleh dari minyak kelapa sawit atau yang biasa disebut olekimia sawit. Gliserol ester sebagai produk oleokimia sawit ini biasanya menjadi bahan baku produk industri, seperti kimia, pangan, dan kosmetik.
Ekatarina menjelaskan kebijakan itu akan diterapkan oleh Pemerintah Rusia dalam waktu dekat karena kandungan gliserol ester dianggap berbahaya bagi kesehatan.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menampik soal isu negatif tersebut. Menurut dia, Pemerintah Rusia masih terbelenggu dengan kampanye negatif terkait minyak nabati Indonesia yang mengandung racun dari gliserol ester.
"Tidak mungkin kita meracuni rakyat sendiri, apalagi Indonesia adalah konsumen terbesar dengan penggunaan 10 juta ton minyak sawit. Kita sudah mengkonsumsi minyak ini ratusan tahun, tapi tidak pernah terjadi apa-apa," kata Sahat.
Namun demikian, jika Pemerintah Rusia menerapkan beleid baru tersebut, pelaku usaha meminta agar diberi tenggang waktu setidaknya enam bulan agar industri mampu mempersiapkan pasar minyak sawit yang diminta Rusia.
"Kami tentu belum siap karena harus bersihkan tangki, refinery, ganti pipa supaya tidak terkontaminasi, minimal beri kami enam bulan tenggang waktu sebelum diumumkan," katanya.
Sahat menilai bahwa rencana kebijakan ini merupakan strategi untuk menghambat laju konsumsi sawit. Dengan ketatnya standar CPO tersebut, harga minyak sawit yang biasa lebih rendah sekitar 500 dolar AS per ton, dapat menyamai harga minyak nabati lain seperti minyak rapeseed yang kini di kisaran 800 dolar AS per ton.
"Tetapi jangan lupa harga CPO akan naik, karena itu butuh investasi. Dengan begitu, harga akan menyamai minyak nabati lain. Ini cara mereka supaya CPO bisa setara harganya dengan minyak nabati mereka," kata Sahat.
Ada pun saat ini pemakaian CPO di Rusia sebesar 1,1 juta ton per tahun, di mana Indonesia menjadi pemasok terbesar sekitar 74,4 persen atau 800.000 ton, sedangkan sisanya dipenuhi dari Malaysia dan Rotterdam, Belanda.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2019
Direktur Executive Oil dan Fat Consumers and Producer Asociation Ekatarina Nesterov mengatakan bahwa negara tirai besi tersebut akan menerapkan kebijakan pelarangan kandungan gliserol ester dalam CPO yang diimpor dari Indonesia.
"Akan ada permintaan tambahan dari kami tentang produk tanpa glisterol. Kami memang butuh dengan minyak sawit tapi apakah kalian bisa memasok bahan baku tanpa kandungan itu," kata Ekatarina di sela-sela kegiatan forum bisnis di Moskow, Selasa.
Gliserol ester merupakan bahan kimia yang diperoleh dari minyak kelapa sawit atau yang biasa disebut olekimia sawit. Gliserol ester sebagai produk oleokimia sawit ini biasanya menjadi bahan baku produk industri, seperti kimia, pangan, dan kosmetik.
Ekatarina menjelaskan kebijakan itu akan diterapkan oleh Pemerintah Rusia dalam waktu dekat karena kandungan gliserol ester dianggap berbahaya bagi kesehatan.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menampik soal isu negatif tersebut. Menurut dia, Pemerintah Rusia masih terbelenggu dengan kampanye negatif terkait minyak nabati Indonesia yang mengandung racun dari gliserol ester.
"Tidak mungkin kita meracuni rakyat sendiri, apalagi Indonesia adalah konsumen terbesar dengan penggunaan 10 juta ton minyak sawit. Kita sudah mengkonsumsi minyak ini ratusan tahun, tapi tidak pernah terjadi apa-apa," kata Sahat.
Namun demikian, jika Pemerintah Rusia menerapkan beleid baru tersebut, pelaku usaha meminta agar diberi tenggang waktu setidaknya enam bulan agar industri mampu mempersiapkan pasar minyak sawit yang diminta Rusia.
"Kami tentu belum siap karena harus bersihkan tangki, refinery, ganti pipa supaya tidak terkontaminasi, minimal beri kami enam bulan tenggang waktu sebelum diumumkan," katanya.
Sahat menilai bahwa rencana kebijakan ini merupakan strategi untuk menghambat laju konsumsi sawit. Dengan ketatnya standar CPO tersebut, harga minyak sawit yang biasa lebih rendah sekitar 500 dolar AS per ton, dapat menyamai harga minyak nabati lain seperti minyak rapeseed yang kini di kisaran 800 dolar AS per ton.
"Tetapi jangan lupa harga CPO akan naik, karena itu butuh investasi. Dengan begitu, harga akan menyamai minyak nabati lain. Ini cara mereka supaya CPO bisa setara harganya dengan minyak nabati mereka," kata Sahat.
Ada pun saat ini pemakaian CPO di Rusia sebesar 1,1 juta ton per tahun, di mana Indonesia menjadi pemasok terbesar sekitar 74,4 persen atau 800.000 ton, sedangkan sisanya dipenuhi dari Malaysia dan Rotterdam, Belanda.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2019