Di tengah peringatan Hari Jantung Sedunia 2020, ada kabar terkini mengenai obat antidiabetes yang berpeluang mengurangi angka kesakitan dan kematian pasien gagal jantung.
"Semua itu semua berkontribusi pada perbaikan gejala gagal jantung, baik pada pasien diabetes maupun nondiabetes,” kata Suastika seperti dalam keterangan tertulisnya, Selasa.
Uji klinis EMPEROR-Reduced Fase III Boehringer Ingelheim baru-baru ini menunjukkan penurunan rawat inap pasien gagal jantung sebesar 25 persen dengan dan tanpa diabetes tipe 2 yang diberikan Empagliflozin. Hasil ini serupa dengan uji klinis EMPA-REG OUTCOME.
"Dengan hasil positif dari uji coba EMPEROR-Reduced ini, kami bersemangat untuk menandai kemajuan penting lainnya untuk Jardiance (Empagliflozin), ” kata wakil presiden, Clinical Development & Medical Affairs, Cardio-Metabolism & Respiratory Medicine, Boehringer Ingelheim Pharmaceuticals, Inc, Mohamed Eid dalam sebuah pernyataan seperti dikutip dari The American Journal of Managed Care.
Menanggpi temuan ini, dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, Siti Elkana Nauli mengatakan, belum tahu bagaimana SGLT2 bisa menghambat proses terjadinya gagal jantung.
Walaupun menawarkan peluang untuk indikasi kardiovaskular, saat ini obat antidiabetes Empagliflozin belum diindikasikan untuk pengobatan gagal jantung karena perlu ada persetujuan dari otoritas lokal termasuk di Indonesia.
Sebelumnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) pada Mei lalu menyetujui obat untuk diabetes lain yakni dapagliflozin (Farxiga, AstraZeneca) untuk mengobati gagal jantung dengan mengurangi fraksi ejeksi (HFrEF) pada orang dewasa dengan dan tanpa diabetes tipe-2. Obat ini juga menurunkan risiko kematian dan rawat inap akibat gagal jantung.
Gagal jantung terjadi saat fungsi jantung dalam memompa darah tidak berjalan maksimal. Darah yang dipompa tidak mampu lagi mencukupi kebutuhan seluruh jaringan tubuh. Akibatnya, muncul keluhan pada penderita seperti mudah lelah dan sesak napas saat beraktivitas. Derajat beratnya gejala ini tergantung pada tahapan gagal jantung yang terjadi.
Penelitian perhimpunan dokter spesialis jantung dan pembuluh darah di Indonesia melalui registri data pasien jantung pada tahun 2017 sampai sekarang menunjukkan, dari sekitar 2000 pasien gagal jantung, penyebab terbanyak yakni hipertensi, penyakit jantung koroner, dan diabetes.
Dari sisi angka kesakitan, pasien gagal jantung disebut memiliki tingkat kesakitan dan kematian yang tinggi. Siti mengatakan, angka harapan hidup pasien selama lima tahun hanya sekitar 50 persen.
"Angka harapan hidupnya selama lima tahun hanya sekitar 50 perse saja. Untuk pasien rawat inap, angka kematiannya bahkan lebih tinggi lagi, yakni 17-20 persen akan meninggal dalam waktu 30 hari dirawat,” kata Siti.
Biaya pengobatan dan perawatan pasien gagal jantung sangat tinggi, salah satunya karena mereka harus dirawat di rumah sakit berulang-ulang saat gejala memburuk.
“Semakin sering pasien dirawat di rumah sakit, maka pengobatan menjadi lebih sulit dan komplikasi semakin banyak. Bahkan pasien bisa resisten dengan pengobatan dan akhirnya jatuh pada gagal jantung tahap akhir,” kata dr. Siti.
Oleh karena itu, menurut Siti, pengendalian faktor risiko ini melalui pemilihan terapi yang tepat dan agresif perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya gagal jantung.
Di sisi lain, terapi agresif dengan tujuan memperbaiki kualitas hidupnya akan mencegah perawatan rumah sakit berulang.
Saat ini, terapi standar untuk gagal jantung antara lain obat-obatan, pemasangan alat di jantung dan tranplantasi jantung.
Baca juga: Obat herbal bisa jadi alternatif pengobatan diabetes saat pandemi
Baca juga: Perusahaan Inggris uji coba obat diabetes untuk pasien COVID-19
Baca juga: Teliti akar kayu laban obat diabetes, siswi MTsN Kotim melaju ke Turki
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2020