Sosok ibu erat kaitannya dengan sebuah tanggung jawab besar yakni pemenuhan gizi keluarga tanpa mengecilkan peran perempuan pada sektor publik.
Oleh karena itu, hari ibu ideal pula dimaknai dengan memperhatikan kembali dan mendukung pentingnya peran ibu dalam keluarga sebagai sosok yang berkontribusi besar bagi pemenuhan gizi anak terlebih di tengah pandemi COVID-19.
Perhatian besar bagi pemenuhan gizi anak menjadi pekerjaan rumah tersendiri yang kerap diabaikan di tengah berbagai persoalan yang muncul di tengah pandemi. Padahal edukasi gizi untuk anak usia dini menjadi kunci menekan hilangnya generasi emas sebagai dampak tak terduga pandemi COVID-19.
Berkaitan dengan itu Himpunan Pendidik Dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia (HIMPAUDI) menjadi salah satu pihak yang kemudian fokus pada edukasi gizi anak kepada para ibu.
Mereka tetap meyakini bahwa anak usia dini yakni anak dengan rentang usia 0-6 tahun sedang berada pada fase yang dianggap sebagai usia emas (“golden age”). Fase ini merupakan masa yang sangat menentukan seperti apa kelak jika anak menjadi dewasa baik dari segi fisik, mental, maupun kecerdasan.
Anak usia dini memiliki pola tumbuh kembang meliputi aspek fisik, kognitif, sosioemosional, kreativitas, bahasa, dan komunikasi yang khusus yang sesuai dengan tahapan yang sedang dilalui oleh anak tersebut.
Baca juga: KSP-Kementerian PPPA gelar webinar tentang tumbuh kembang anak
Baca juga: Aksi 1.000 bunda perangi kelaparan peringati Hari Ibu
Karena itu, pendidikan untuk anak usia dini (PAUD) berperan penting dan menjadi investasi jangka panjang bagi masa depan bangsa.
Penting bagi ibu untuk memahami kebutuhan gizi anak dan jangan sampai anak salah gizi akibat konsumsi makanan termasuk konsumsi susu yang kandungan gizi-nya tidak layak untuk anak.
Di situlah peran perempuan sebagai ibu dalam keluarga menjadi penentu yang memilihkan dan memberikan nutrisi serta gizi yang dibutuhkan anak usia dini.
Edukasi Gizi
Ketua Umum PP HIMPAUDI, Prof Dr Netti Herawati mengatakan PAUD merupakan cara yang efektif untuk memberikan edukasi gizi untuk anak.
“PAUD seharusnya menjadi tempat yang membawa perubahan gizi bagi anak. Saya harapkan semua PAUD ke depan memiliki program makanan sehat sehingga bisa memenuhi kebutuhan gizi anak. Bagaimanapun, apa yang dimakan oleh anak tergantung pada ibu, orang tua, dan guru. Jadi kalau kita mau anak kita gizi-nya baik, berarti kita bicara kompetensi guru dalam hal gizi dan kesehatan” ujar Netti Herawati.
Salah satu kebiasaan makan anak yang sering abai diperhatikan adalah asupan gula pada anak. Bila dihitung, dalam satu hari anak-anak bahkan bisa mengkonsumsi gula hingga seperempat kg.
"Selama ini kita beranggapan gula secara harfiah. Tapi gula itu adalah glukosa yang terkandung dalam makanan yang dikonsumsi anak seperti cokelat, permen, kue, 'snack' belum lagi jika anak diberi susu tapi susu kental manis. Anak memang mengatakan kenyang, tapi bukan kenyang yang sesungguhnya. Karena itu anak menjadi terbiasa mengkonsumsi makanan manis," tutur Netti.
Dr Moretta Damayanti SpA(K), M.Kes anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), mengatakan kebiasaan konsumsi makanan manis pada anak, dapat berdampak buruk pada tumbuh kembang anak, selama ini banyak ibu yang masih kurang teredukasi dengan baik mengenai hal itu.
Menurut dia, gula menyebabkan anak menjadi kenyang dan efek lanjutan-nya tumbuh kembang-nya terhambat.
"Apalagi pada anak yang mengkonsumsi kental manis. Bila orang tua merasa dengan susu saja sudah cukup, maka anak berisiko kurang gizi. Namun bila anak yang mengkonsumsi kental manis masih suka makan dan ngemil, bahayanya adalah obesitas," ucap Dr Moretta Damayanti.
Karena itu, untuk anak usia dini, juga penting diajarkan apa yang harus dimakan dan apa yang harus dihindari.
Baca juga: Menteri PPPA: Perempuan bagian pergerakan nasional
Baca juga: Kowani: Hari Ibu peringatan perjuangan perempuan meraih kemerdekaan
"Yang juga penting untuk dipahami orang tua adalah dalam memberikan asupan gizi untuk anak bukan sekadar anak menjadi kenyang, tapi juga harus ada lemak dan protein di dalamnya, karena ini penting untuk tumbuh kembang anak," ujarnya.
Pengetahuan Ibu
Ketua Harian Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) Arif Hidayat mengatakan pengetahuan ibu tentang gizi anak sangat mempengaruhi kecukupan gizi dan kesehatan anak.
Hal itu terlihat dari penelitian yang dilakukan YAICI, PP Muslimat NU dan PP Aisyiyah tentang Persepsi Masyarakat Tentang Kental Manis pada 2020 yang dilakukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, NTT, dan Maluku. Total responden adalah 2.068 ibu yang memiliki anak usia 0 – 59 bulan atau 5 tahun.
Dari penelitian ditemukan 28,96 persen dari total responden mengatakan kental manis adalah susu pertumbuhan, dan sebanyak 16,97 persen ibu memberikan kental manis untuk anak setiap hari.
Dari hasil penelitian juga ditemukan sumber kesalahan persepsi ibu, dimana sebanyak 48 persen ibu mengakui mengetahui kental manis sebagai minuman untuk anak adalah dari media, baik TV, majalah dan koran, dan juga sosial media.
Sementara 16,5 persen mengatakan informasi tersebut didapat dari tenaga kesehatan. Padahal, penting bagi orang tua dan guru untuk memberikan susu yang sesuai dengan kebutuhan gizi anak dan jangan sampai salah susu.
Temuan menarik lainnya adalah, kategori usia yang paling banyak mengkonsumsi kental manis adalah usia 3 – 4 tahun sebanyak 26,1 persen, menyusul anak usia 2 – 3 tahun sebanyak 23,9 persen.
Sedangkan konsumsi kental manis oleh anak usia 1 – 2 tahun sebanyak 9,5 persen, usia 4-5 tahun sebanyak 15,8 persen dan 6,9 persen anak usia 5 tahun mengkonsumsi kental manis sebagai minuman sehari-hari.
Dilihat dari kecukupan gizi, 13,4 persen anak yang mengkonsumsi kental manis mengalami gizi buruk, 26,7 persen berada pada kategori gizi kurang, dan 35,2 persen adalah anak dengan gizi lebih.
"Dari masih tingginya persentase ibu yang belum mengetahui penggunaan kental manis, terlihat bahwa memang informasi dan sosialisasi tentang produk kental manis ini belum merata, bahkan di ibukota sekalipun," kata Arif Hidayat.
Pentingnya persoalan kental manis tidak hanya sebatas gagalnya mencukupi gizi anak, namun juga potensi kerugian yang dialami negara akibat stunting bisa mencapai 2 persen sampai 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) setiap tahunnya.
"Ini angka yang besar sekali. Kita lihat PDB 2019 sebesar Rp15.833,9 triliun, maka kerugian stunting bisa mencapai Rp474,9 triliun. Jumlah itu mencakup biaya mengatasi 'stunting' dan hilangnya potensi pendapatan akibat rendahnya produktivitas anak yang tumbuh dengan kondisi 'stunting'," tutur Arif.
Maka sewajarnya jika kemudian hari ibu tak sekadar seremoni namun mendorong, mendukung, dan mengedukasi kaum ibu untuk memberikan gizi terbaik bagi anak pada usia dini demi masa depan yang lebih baik bagi bangsa ini.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2020