Seroja di Indonesia dikenal dengan bunga teratai, padahal bunga yang berasal dari India itu berbeda dengan teratai.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sebagai lembaga yang mengeluarkan peringatan dini telah memantau kemunculan bibit siklon di wilayah NTT itu sejak Jumat (2/4).
Peringatan dini pun sudah dikeluarkan BMKG melalui Tropical Cyclone Warning Centre (TCWC) Jakarta terkait dampak yang akan ditimbulkan pusat tekanan rendah tersebut dan pergerakannya. Sesuai prediksi BMKG, bibit siklon di selatan NTT itu intensitasnya semakin menguat dan tumbuh menjadi siklon tropis yang dinamakan Seroja pada Senin dini hari pukul 01.00 WIB.
BMKG bertanggungjawab memberi nama untuk siklon yang tumbuh di wilayah Indonesia. Bukan sekali dua kali siklon tropis di wilayah Indonesia diberikan nama-nama bunga, siklon-siklon sebelumnya dinamakan dengan siklon Dahlia, Cempaka, Bakung, Teratai, Flamboyan dan Kamboja.
Bukan tanpa alasan BMKG memberikan nama-nama itu, karena badan pemantau iklim dan cuaca tersebut ingin meredam kekhawatiran masyarakat terkait dampak yang ditimbulkan dari siklon itu sendiri.
Dampak siklon tropis Seroja di NTT Berdasarkan data Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops) BNPB per Senin (5/4), pukul 23.00 WIB menyebabkan sebanyak 2.019 KK atau 8.424 warga mengungsi serta 1.083 KK atau 2.683 warga lainnya terdampak.
Pengungsian terbesar diidentifikasi berada di Kabupaten Sumba Timur dengan jumlah 7.212 jiwa (1.803 KK) , Lembata 958, Rote Ndao 672 (153 KK), Sumba Barat 284 (63 KK) dan Flores Timur 256.
Sementara korban meninggal berjumlah 128 orang dengan rincian Kabupaten Lembata 67 orang, Flores Timur 49, dan Alor 12 orang. Sedangkan total korban hilang mencapai 72 orang, dengan rincian Kabupaten Alor 28 orang, Flores Timur 23 dan Lembata 21.
Siklon tropis itu berdampak di delapan wilayah administrasi kabupaten dan kota, antara lain Kota Kupang, Kabupaten Flores Timur, Malaka, Lembata, Ngada, Sumba Barat, Sumba Timur, Rote Ndao dan Alor.
Bencana cuaca ekstrem di beberapa wilayah tersebut juga berdampak pada sejumlah kerugian total antara lain 1.962 unit rumah terdampak, 119 unit rumah rusak berat (RB), 118 unit rumah rusak sedang (RS) dan 34 unit rumah rusak ringan (RR), sedangkan fasilitas umum (fasum) 14 unit RB, 1 RR dan 84 unit lain terdampak.
Baca juga: BMKG: Siklon Tropis Seroja semakin menjauhi wilayah Indonesia
Terbentuknya Siklon Tropis
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan, siklon tropis terbentuk disebabkan menghangatnya suhu muka laut di atas suatu wilayah perairan melebihi 26,5 derajat Celsius, ditambah kelembaban udara cukup tinggi dan kecepatan angin secara vertikal yang lemah.
Untuk dapat melakukan rotasi, maka pembentukan bibit siklon tropis memerlukan gaya Coriolis. Gaya Coriolis di dekat ekuator nilainya mendekati nol, sehingga bibit siklon tropis terbentuk di wilayah pada jarak lebih dari 500 km dari ekuator.
Siklon Tropis Seroja pertama kali terpantau pada Jumat, 2 April 2021 di Laut Sawu, Nusa Tenggara Timur dengan tekanan terendah 1004 mb, bergerak ke timur tenggara sebagai Bibit Siklon Tropis 99S.
Pada Sabtu (3/4) bibit siklon ini berada di Laut Timor sebelah Barat Daya Pulau Timor, dimana merupakan lingkungan yang mendukung untuk tumbuh bibit siklon tersebut karena perairannya memilki suhu muka laut hangat yaitu 30 derajat Celsius yang juga merupakan sumber energi dari sistem ini.
Asupan massa udara juga terpantau dari utara dan selatan sistem, serta kelembaban yang tinggi di semua lapisan atmosfer mencapai 70-100 persen.
Selain itu, bibit siklon tropis 99S terbentuk pada musim siklon di belahan bumi selatan yang didukung adanya gelombang equatorial, yakni gelombang Rossby Ekuator dan gelombang Kelvin.
Bibit siklon tropis 99S kemudian meningkat intensitasnya hingga masuk dalam kategori siklon tropis yang dinamakan Seroja ketika berada pada wilayah tanggung jawab TCWC Jakarta.
Posisi Siklon Tropis Seroja saat pertama kali terbentuk adalah pada koordinat 10.0 Lintang Selatan dan 127.7 Bujur Timur, dengan kecepatan angin maksimum 35 knot dan tekanan di pusat Siklon 994 hPa, serta pergerakan ke barat-barat daya dengan kecepatan 8 knot.
Baca juga: BMKG pantau bibit siklon tropis di Samudra Hindia selatan Jawa
Labilitas Atmosfer
Siklon Tropis Seroja di sekitar Rote, Nusa Tenggara Timur menjadi salah satu fenomena yang turut mempengaruhi kondisi cuaca pada skala regional.
Saat ini, sebagian besar wilayah Indonesia sudah memasuki masa peralihan antara musim hujan menuju musim kemarau.
Analisis dinamika atmosfer laut menunjukkan bahwa La Nina masih berlangsung paling tidak hingga Mei 2021 meskipun dengan intensitas lebih lemah dari sebelumnya dan dengan kecenderungan akan terus melemah.
Saat ini fenomena Madden-Julian Oscillation (MJO) terpantau aktif di wilayah Indonesia yang teramati bersamaan dengan fenomena gelombang Rossby Ekuator.
Kedua fenomena ini mampu meningkatkan proses pertumbuhan awan-awan konvektif di Indonesia. Faktor penggerak cuaca yang dominan pada masa peralihan lebih cenderung berasal dari faktor lokal yang memberi dampak terhadap kondisi cuaca pada skala lokal.
Kondisi cuaca pada skala lokal tersebut mencakup wilayah yang tidak terlalu luas,durasi yang tidak lama dan frekuensi yang tidak sering.
Berdasarkan statistik, di masa peralihan musim, hujan lebat yang terjadi justru sering disertai kilat maupun petir, angin kencang berdurasi singkat, bahkan mengakibatkan puting beliung dan hingga hujan es.
Meskipun faktor penggerak pada skala lokal mendominasi pembentukan cuaca pada masa peralihan, namun fenomena cuaca pada skala regional juga masih memberikan pengaruh yang cukup signifikan.
Hal ini terjadi karena masih labilnya kondisi atmosfer di Indonesia pada skala regional, yang dapat mempengaruhi pola-pola cuaca pada skala regional.
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) juga mengimbau perlunya mewaspadai rangkaian siklon tropis (tropical cyclone) selama April 2021 yang bisa menimbulkan cuaca ekstrem.
Peneliti Pusat Sains dan Teknologi Antariksa (PSTA) Lapan Erma Yulihastin menjelaskan, kondisi tersebut menyebabkan potensi terjadinya Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ) ganda yang dapat pecah dan terputar oleh gaya Coriolis, sehingga dapat menghasilkan serial bibit siklon tropis yang dapat berdampak pada cuaca ekstrem di wilayah sekitarnya.
Makin seringnya kemunculan siklon tropis menjadi bukti bahwa perubahan iklim global itu nyata adanya. Akibat deforestasi yang tidak terkendali suhu udara di bumi naik termasuk di muka air laut, akibatnya es di kutub utara dan kutub selatan yang menjadi penyeimbang mulai mencair. Makin habis lapisan es maka makin sulit mengendalikan kenaikan suhu bumi. Akibatnya semakin mudah muncul siklon dari kenaikan suhu muka air laut.
BMKG mencatat sejak sepuluh tahun terakhir, kejadian siklon tropis semakin sering terjadi. Bahkan pada 2017, dalam satu pekan bisa terjadi dua kali siklon tropis. Ini menjadi peringatan bagi pemangku kepentingan untuk menyiapkan mitigasi bencana yang lebih baik sekaligus ikut serta mengerem perubahan iklim dengan memperlakukan alam lebih bijaksana.
Baca juga: JPIK ingatkan pemerintah, deforestasi hutan Indonesia masih terjadi
Baca juga: Pakar ingatkan pengurangan deforestasi penting untuk target emisi GRK
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2021