Wacana koalisi partai politik berbasis massa umat Islam (partai politik Islam) kembali mengemuka di tengah jagad politik Tanah Air belakangan ini.
Pertemuan antara elite Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pertengahan April lalu, menjadi pemantik munculnya wacana koalisi poros tengah ini.
Sekretaris Jenderal DPP PKS Aboe Bakar Al-Habsy dan Sekretaris Jenderal DPP PPP Arwani Thomafi satu suara bahwa peluang penjajakan koalisi partai-partai Islam terbuka.
Wacana yang dilontarkan dua elite partai Islam itu pun disambut positif Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra.
PBB, menurut Yusril, mendukung wacana tersebut dan siap terlibat aktif dalam pertemuan-pertemuan lanjutan di masa mendatang.
Sejak saat itu, wacananya kian berkembang dan mengundang tanggapan dari sejumlah tokoh.
Baca juga: Akademisi: Koalisi partai Islam bawa semangat nilai universal
Baca juga: Pengamat: Wacana koalisi partai Islam jangan "jual" politik identitas
Perkembangan partai politik Islam pesat terjadi pada era reformasi. Oleh karena itu sebelum berbicara lebih jauh mengenai wacana koalisi partai-partai Islam, ada baiknya kita memahami perkembangan partai Islam itu sendiri di era reformasi.
Peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Lili Romli dalam salah satu jurnalnya yang dapat dibaca di laman ejournal.politik.lipi.go.id menyampaikan ada beberapa faktor penjelas fenomena berdirinya partai-partai politik Islam pada pasca-Orde Baru, yaitu faktor teologis, historis, sosiologis, dan faktor reformasi.
1. Faktor teologis
Dalam pandangan ini agama merupakan sesuatu yang terintegrasi, yang bersatu tak terpisahkan dengan politik. Islam adalah din wa daulah.
Berdasarkan ini maka masalah kemasyarakatan, termasuk di dalamnya masalah negara atau politik, merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dari persoalan agama. Sebagai manifestasi dari pandangan ini adalah perlunya kekuasaan politik.
Kekuasaan ini diperlukan dalam upaya untuk menerapkan syariat Islam, hukum-hukum Islam, baik perdata maupun pidana. Dalam rangka itu maka diperlukan partai politik untuk memperjuangkan dan menegakkan syariat Islam.
Dengan demikian, pendirian partai politik Islam merupakan panggilan dan perwujudan dari pandangan teologis tentang hubungan agama dan negara.
2. Faktor sosiologis
Islam di Indonesia merupakan agama mayoritas. Pemeluknya mencapai sekitar 90 persen dari seluruh jumlah penduduk Indonesia yang mencapai sekitar 200 juta orang.
Dengan jumlah yang mayoritas tersebut sudah sepantasnya dalam upaya penyaluran aspirasi politik sesuai dengan nilai-nilai dan perjuangan Islam. Dalam konteks ini maka partai politik Islam dianggap sebagai wadah penyalur aspirasi perjuangan Islam.
Sehubungan dengan itu maka pendirian partai politik Islam merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat dielakkan. Hal ini karena secara sosiologis umat Islam di Indonesia merupakan pemeluk mayoritas dan mereka akan merasa nyaman dan aman apabila penyaluran aspirasi politik disampaikan melalui partai politik Islam.
Konteks sosiologis ini tampaknya digunakan oleh elite-elite politik Islam untuk mendirikan partai politik Islam. Dengan jumlah umat Islam yang mayoritas tentu dengan sendirinya akan mendapat dukungan dari umat Islam.
Oleh karena itu adanya partai-partai politik Islam secara otomatis akan didukung oleh umat Islam. Apalagi ditambah dengan perspektif teologis, di mana perlunya alat perjuangan untuk mewujudkan aspirasi Islam. Dengan konteks ini maka antara faktor sosiologis dan teologis bertemu, saling mengisi dan menunjang satu sama lain.
3. Faktor historis
Dalam sejarah di Indonesia Islam merupakan suatu kekuatan yang sangat berperan dalam perlawanan menentang penjajah. Islam pada masa itu merupakan salah satu garda terdepan dalam mengusir penjajahan.
Dalam rangka mengusir penjajahan tersebut diperlukan alat organisasi sebagai penyatu aspirasi dan tujuan. Maka tercatatlah berdirinya Sarekat Islam (SI), organisasi pertama kekuatan politik yang anggota terbanyak di antara organisasi-organisasi pergerakan lainnya.
4. Faktor reformasi
Reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa dalam menumbangkan rezim Orde Baru melahirkan era kebebasan.
Dalam era ini setiap kelompok atau golongan diberi kesempatan untuk menyalurkan atau membentuk partai politik sesuai asas dan aspirasi politiknya. Kesempatan ini tampaknya tidak disia-siakan oleh para elite politik, termasuk elite politik Islam untuk mendirikan partai politik.
Empat faktor sejarah berdirinya partai-partai Islam era reformasi yang disebutkan Lili Romli itu, boleh jadi menjadi landasan sekaligus tujuan wacana koalisi partai-partai Islam yang dicetuskan elite PPP dan PKS, termasuk Yusril.
Namun demikian tentu saja selalu ada sisi pragmatis dalam politik. Dari sisi ini setiap koalisi dicetuskan untuk menggalang kekuatan, setidaknya dalam memenuhi ambang batas pencalonan Presiden atau Presidential Threshold, serta terkait kalkulasi dukungan politik untuk memenangi Pilpres.
Tujuan utama mengikuti Pilpres adalah kemenangan untuk meraih kekuasaan, dengan demikian partai politik dapat menerapkan visi misinya untuk menyejahterakan rakyat serta membangun bangsa dan negara.
Alternatif atau kontraproduktif
Pertanyaan besar yang patut dilontarkan mengenai wacana koalisi partai politik Islam adalah apakah koalisi menjadi alternatif atau justru kontraproduktif dalam situasi saat ini.
Koalisi partai-partai Islam tentu bisa menjadi alternatif. Sebab sejak beberapa kali Pemilu Presiden terakhir, dominasi penentuan koalisi partai politik masih "dikendalikan" partai-partai nasionalis.
Namun di sisi lain koalisi ini bisa juga menjadi kontraproduktif, sebagaimana pendapat yang disampaikan Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan yang menilai wacana pembentukan koalisi partai politik berbasis massa Islam untuk Pemilu 2024 akan kontraproduktif dengan upaya semua pihak melakukan rekonsiliasi nasional.
Baca juga: Analis: pola koalisi parpol Islam sesuai historis
Baca juga: Koalisi partai Islam masih sulit terwujud
Wakil Ketua MPR RI itu menilai wacana ini justru kontraproduktif dengan upaya memperkuat dan memperkokoh persatuan dan kesatuan sebagai bangsa dan negara.
Dia mengingatkan dalam Pemilu Presiden 2019 begitu kuat kemunculan sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), politik aliran, dan politik identitas.
Menurut Zulkifli "luka" dan trauma yang ditimbulkan oleh ketegangan dan tarik menarik itu masih terasa, karena rakyat masih terbelah, meskipun elite cepat bersatu, yang ditunjukkan dengan bergabung-nya capres dan cawapres yang menjadi lawan politik dari pasangan pemenang, dalam kabinet.
Zulkifli menilai wacana koalisi partai Islam 2024 justru akan memperkuat politik aliran di Indonesia, padahal itu merupakan sesuatu yang harus dihindari.
Pernyataan Zulkifli ini dapat disimpulkan PAN menolak koalisi partai-partai Islam.
Zulkifli menjelaskan yang dilakukan PAN saat ini memperjuangkan dan memperkuat politik gagasan, yaitu politik yang mengedepankan konsep dan program untuk kesejahteraan rakyat, mewujudkan ide kesetaraan, merumuskan gagasan tentang kedaulatan, dan seterusnya.
Adapun gagasan PAN tentang Islam menurutnya adalah Islam substansial, Islam tengah (wasathiyah), ajaran Islam yang diterjemahkan ke dalam berbagai dimensi kehidupan. Gagasan Islam yang rahmatan lil ‘alamin, atau dalam bahasa yang sering diutarakan Buya Hamka adalah Islam garam, isi dan substansi, bukan Islam gincu.
Di sisi lain Deputi IV Kantor Staf Presiden Juri Ardiantoro menyampaikan terlepas dari baik-buruk koalisi partai-partai Islam, wacana koalisi tersebut sah-sah saja dari sisi demokrasi.
Seluruh warga negara, kelompok, terlebih partai politik yang ada di Indonesia bebas mengekspresikan kehendak politiknya, sepanjang tidak bertentangan dengan dasar negara dan hukum di Indonesia.
Menurut Juri, sebagai identitas, koalisi partai politik Islam atau agama yang lain sah-sah saja, sepanjang dalam koridor NKRI.
Lantas bagaimana agar wacana alternatif yang sah dari sisi demokrasi itu tidak menjadi kontraproduktif?
Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute, Arfianto Purbolaksono, mengingatkan wacana pembentukan koalisi Partai Politik Islam, tidak boleh menjual politik identitas, karena akan semakin membuat kekhawatiran terbelahnya masyarakat.
Apalagi, menurut dia, jika melihat kondisi masyarakat yang belum sepenuhnya "sembuh" dari keterbelahan pasca-Pilkada DKI Jakarta 2017 hingga saat ini.
Arfianto mengatakan di tengah kondisi masyarakat yang terbelah maka sudah saatnya partai politik berperan menjadi pemersatu bangsa, bukan lagi menggunakan sentimen identitas sebagai alat untuk memenuhi hasrat kepentingan semata.
Jika memang wacana itu ingin diwujudkan, dia mengusulkan agar mendahulukan gagasan yang jelas tentang program ke depan yang sesuai dengan kebutuhan rakyat.
Dia mengingatkan gagasan perubahan dari partai politik maupun koalisi partai politik sangat penting karena berkaca pada pemilu-pemilu sebelumnya, parpol hanya mengedepankan popularitas tokoh dan kering akan gagasan-gagasan baru yang ditawarkan tentang perubahan.
Ia menilai koalisi partai-partai Islam harus menyamakan pijakan tentang Indonesia di masa depan sehingga koalisi yang terbangun didahului kesepahaman pijakan itu.
Menurut dia, kesamaan pandangan itu selanjutnya diformulasikan ke dalam komitmen koalisi yang kemudian dituangkan dalam visi misi, serta program, dalam rangka mengusung calon presiden-calon wakil presiden.
Selain itu dalam mengusung capres dan cawapres diperlukan sebuah terobosan untuk menghindari perpecahan di antara koalisi, misalnya, sebagai opsi adalah dengan mekanisme penyelenggaraan konvensi.
Konvensi dapat ditujukan bagi kader-kader terbaik dari masing-masing internal partai politik Islam itu sendiri, bukan dari tokoh di luar partai yang hanya memanfaatkan partai politik Islam semata.
Penyelenggaraan konvensi juga harus diikuti dengan kualitas manajemen-nya, mengedepankan transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraannya, untuk menghindari politik uang atau calon-calon presiden dan wapres "titipan".
Berdasarkan uraian tersebut di atas, kita tentu dapat menarik kesimpulan. Gagasan koalisi partai-partai Islam adalah sebuah gagasan yang sah dari aspek demokrasi dan dapat alternatif dalam Pilpres 2024.
Namun wacana ini dapat bersifat kontraproduktif jika tidak memerhatikan asas persatuan dan kesatuan bangsa, apalagi hanya dilakukan untuk mengejar ambisi dan kekuasaan semata tanpa adanya gagasan-gagasan segar yang menyertainya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2021