Cuaca di Urumqi tiba-tiba drop hingga titik terendah di musim semi ini yang bagi penduduk lokal adalah hal biasa.
Biasa, namun yang jarang terjadi adalah kuatnya embusan angin pada siang itu sehingga otoritas setempat mengeluarkan imbauan kewaspadaan.
Atas pertimbangan tersebut, maka rencana perjalanan ANTARA bersama beberapa rekan jurnalis asing pada Kamis (22/4) siang itu berubah.
Semula perjalanan dari Urumqi menuju Turban menggunakan bus dengan waktu tempuh sekitar 3 jam melalui jalur bebas hambatan.
"Otoritas tidak mengizinkan menggunakan bus karena rawan terguling di tengah jalan," kata Li Xiao Wei, staf Humas Pemerintah Daerah Otonomi Xinjiang, seraya memohon maklum.
Delegasi media pun akhirnya tergesa-gesa menuju Stasiun Urumqi karena kereta api cepat hanya punya waktu 3 menit untuk menunggu.
Setelah itu kereta cepat melaju melambat. Layar di atas pintu penghubung gerbong hanya menunjukkan kecepatan kereta tidak lebih dari 143 kilometer per jam. Standar laju yang tidak lazim untuk kereta cepat buatan China yang tipe terendahnya saja mampu melaju di atas 250 kilometer per jam.
Perjalanan Urumqi-Turban yang kurang dari 130 kilometer ditempuh dalam waktu 1 jam, 10 menit. Untuk ukuran kereta cepat di China perjalanan tersebut teramat sangat lambat.
"Biasanya hanya 55 menit. Namun karena faktor cuaca tadi, kereta berjalan sangat lambat," kata gadis beretnis Han yang lahir dan tumbuh dewasa di lingkungan etnis Uighur sebagai populasi mayoritas di Xinjiang itu.
Legenda Kera Sakti
Beberapa wilayah di China sudah mulai hangat menyambut datangnya musim panas, terutama di selatan dan timur.
Tidak di barat atau barat laut yang grafik cuacanya kayak "Roller Coaster", naik-turun bisa kapan saja.
Pada Kamis siang itu cuaca Turban mendung dengan temperatur 10 derajat Celcius. Orang yang terbiasa tinggal di China suhu udara seperti itu tidak perlu memakai jaket tebal kalau berada di luar ruangan.
Namun embusan angin yang sangat kencang membuat orang-orang di Turban menggigil.
Apalagi beberapa delegasi media sudah telanjur mendaki perbukitan Yarghul yang berjarak 30 kilometer di sebelah tenggara pusat Kota Turban.
Saking kencangnya embusan angin, suara orang-orang sekitar tidak terdengar sekalipun mereka berteriak.
Untungnya, pemandu membawa pelantang portable sehingga agak sedikit membantu, meskipun kedengarannya sayup-sayup juga.
Orang Uighur menyebutnya Yarghul, namun orang Han sebagai etnis mayoritas di seluruh daratan Tiongkok lebih mengenalnya sebagai Jiaohe. Keduanya sama-sama memiliki arti, tebing curam di antara dua sungai.
Di bukit yang tingginya kira-kira 30 kilometer dari permukaan sungai itu berdiri sebuah Ibu Kota Kerajaan Jushi yang dibangun pada 2.300 tahun yang lalu.
Delta itu tidaklah besar, hanya 1.650 meter x 300 meter. Berada di sebelah utara Gurun Taklamakan, delta itu kini hanyalah berupa reruntuhan yang dilindungi kelestariannya sesuai amanat Unesco.
Banyak nama yang disematkan pada kota di atas bukit Yarghul atau Jiaohe itu. Orang Han menyebutnya dengan nama Gaochang Gucheng atau Kota Lama Gaochang. Orang Uighur mengenalinya dengan beberapa nama, ada Qocho atau Karakhoja dan masih banyak nama lain.
Berdasarkan catatan sejarah, Yarghul menyandang status Ibu Kota pada tahun 108 Sebelum Masehi hingga 450 Masehi.
Selama periode 450 Masehi hingga 640 Masehi, Jiaohe ditetapkan sebagai kabupaten pada masa Dinasti Tang. Hingga 658 Masehi, wilayah itu menjadi Markas Militer Wilayah Barat, salah satu divisi militer tertinggi dan ditakuti di China pada saat itu.
Pada permulaan abad IX, Jiaohe dikuasai oleh Kerajaan Khaganate Uighur yang masyarakatnya dikenal Nomaden.
Kerajaan Khaganate Uighur pada saat itu menganut Buddha, Maniisme, Nestorian, dan Kristen. Wajar, jika di Yarghul banyak tersimpan peninggalan Buddha, termasuk bangunan mirip stupa.
Mungkin karena suka berpindah-pindah itulah, maka Khaganate Uighur tidak lama menguasai Yarghul atau Jiaohe setelah takluk kepada Kerajaan Kirgiz pada tahun 840.
Wilayah Ibu Kota itu hancur pada saat bangsa Mongol datang di bawah kepemimpinan Jengis Khan abad XIII. Jengis Khan mendirikan Dinasti Yuan di China yang dalam sejarahnya juga bersinggungan dengan cikal-bakal Kerajaan Majapahit di Tanah Jawa.
Mengingat strategisnya posisi di persimpangan kedua sungai, maka Yarghul menjadi sangat vital dalam peta Jalur Sutera Kuno.
Yarghul menjadi pusat perjumpaan utama jalur perdagangan dari Xi'an, ibu kota kuno China, menuju Eropa, seperti yang pernah dilalui oleh Marco Polo.
Menariknya lagi, Yarghul ini ada dalam film serial Monkey King atau Kera Sakti yang sangat populer di Indonesia beberapa tahun yang lalu. Dalam salah satu episode, Sun Gokong sebagai tokoh legendaris Kera Sakti itu mengawali perjalanannya dari Yarghul setelah turun dari surga.
Yang agak mengejutkan, ternyata di bukit sebelahnya tidak jauh dari Yarghul terdapat bangunan kuno yang memiliki dua kubah. Juru bicara Pemerintah Daerah Otonomi Xinjiang, Ilijan Anayat, kepada ANTARA menunjukkan bangunan berkubah itu sebagai salah satu peninggalan Islam.
Tidak jelas, apakah bangunan yang tampak di kejauhan itu berupa masjid atau makam pembawa ajaran Islam di Xinjiang zaman dahulu kala. Pada tahun 1420-an para pelintas Jiaohe masih mendapati banyak kuil Buddha. Namun pada tahun 1450-an sudah banyak bangunan masjid. Pada abad XV, Yarghul atau Jiaohe sudah mulai ditinggalkan sejak diterapkannya syariat Islam yang ketat oleh penduduk lokal. Catatan-catatan yang dibuat para sejarawan inilah yang sangat mungkin berkorelasi dengan bangunan berkubah di Jiaohe itu.
Yang jelas, meskipun berupa reruntuhan, Yarghul atau Jiaohe menjadi salah satu objek wisata yang sangat penting dan menarik untuk dikunjungi siapa pun yang memiliki kesempatan melancong ke Xinjiang.
Reruntuhan bangunan bebatuan khas padang pasir itu selalu indah dipandang mata dan tentu saja surga bagi peminat "wisata selfie".
Makanya, tidak heran kalau ANTARA dan delegasi media asing lainnya yang telanjur rela menempuh perjalanan ribuan mil dari Beijing betah berlama-lama di puncak Yarghul, meskipun angin kencang menerpa dari segala penjuru.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2021
Biasa, namun yang jarang terjadi adalah kuatnya embusan angin pada siang itu sehingga otoritas setempat mengeluarkan imbauan kewaspadaan.
Atas pertimbangan tersebut, maka rencana perjalanan ANTARA bersama beberapa rekan jurnalis asing pada Kamis (22/4) siang itu berubah.
Semula perjalanan dari Urumqi menuju Turban menggunakan bus dengan waktu tempuh sekitar 3 jam melalui jalur bebas hambatan.
"Otoritas tidak mengizinkan menggunakan bus karena rawan terguling di tengah jalan," kata Li Xiao Wei, staf Humas Pemerintah Daerah Otonomi Xinjiang, seraya memohon maklum.
Delegasi media pun akhirnya tergesa-gesa menuju Stasiun Urumqi karena kereta api cepat hanya punya waktu 3 menit untuk menunggu.
Setelah itu kereta cepat melaju melambat. Layar di atas pintu penghubung gerbong hanya menunjukkan kecepatan kereta tidak lebih dari 143 kilometer per jam. Standar laju yang tidak lazim untuk kereta cepat buatan China yang tipe terendahnya saja mampu melaju di atas 250 kilometer per jam.
Perjalanan Urumqi-Turban yang kurang dari 130 kilometer ditempuh dalam waktu 1 jam, 10 menit. Untuk ukuran kereta cepat di China perjalanan tersebut teramat sangat lambat.
"Biasanya hanya 55 menit. Namun karena faktor cuaca tadi, kereta berjalan sangat lambat," kata gadis beretnis Han yang lahir dan tumbuh dewasa di lingkungan etnis Uighur sebagai populasi mayoritas di Xinjiang itu.
Legenda Kera Sakti
Beberapa wilayah di China sudah mulai hangat menyambut datangnya musim panas, terutama di selatan dan timur.
Tidak di barat atau barat laut yang grafik cuacanya kayak "Roller Coaster", naik-turun bisa kapan saja.
Pada Kamis siang itu cuaca Turban mendung dengan temperatur 10 derajat Celcius. Orang yang terbiasa tinggal di China suhu udara seperti itu tidak perlu memakai jaket tebal kalau berada di luar ruangan.
Namun embusan angin yang sangat kencang membuat orang-orang di Turban menggigil.
Apalagi beberapa delegasi media sudah telanjur mendaki perbukitan Yarghul yang berjarak 30 kilometer di sebelah tenggara pusat Kota Turban.
Saking kencangnya embusan angin, suara orang-orang sekitar tidak terdengar sekalipun mereka berteriak.
Untungnya, pemandu membawa pelantang portable sehingga agak sedikit membantu, meskipun kedengarannya sayup-sayup juga.
Orang Uighur menyebutnya Yarghul, namun orang Han sebagai etnis mayoritas di seluruh daratan Tiongkok lebih mengenalnya sebagai Jiaohe. Keduanya sama-sama memiliki arti, tebing curam di antara dua sungai.
Di bukit yang tingginya kira-kira 30 kilometer dari permukaan sungai itu berdiri sebuah Ibu Kota Kerajaan Jushi yang dibangun pada 2.300 tahun yang lalu.
Delta itu tidaklah besar, hanya 1.650 meter x 300 meter. Berada di sebelah utara Gurun Taklamakan, delta itu kini hanyalah berupa reruntuhan yang dilindungi kelestariannya sesuai amanat Unesco.
Banyak nama yang disematkan pada kota di atas bukit Yarghul atau Jiaohe itu. Orang Han menyebutnya dengan nama Gaochang Gucheng atau Kota Lama Gaochang. Orang Uighur mengenalinya dengan beberapa nama, ada Qocho atau Karakhoja dan masih banyak nama lain.
Berdasarkan catatan sejarah, Yarghul menyandang status Ibu Kota pada tahun 108 Sebelum Masehi hingga 450 Masehi.
Selama periode 450 Masehi hingga 640 Masehi, Jiaohe ditetapkan sebagai kabupaten pada masa Dinasti Tang. Hingga 658 Masehi, wilayah itu menjadi Markas Militer Wilayah Barat, salah satu divisi militer tertinggi dan ditakuti di China pada saat itu.
Pada permulaan abad IX, Jiaohe dikuasai oleh Kerajaan Khaganate Uighur yang masyarakatnya dikenal Nomaden.
Kerajaan Khaganate Uighur pada saat itu menganut Buddha, Maniisme, Nestorian, dan Kristen. Wajar, jika di Yarghul banyak tersimpan peninggalan Buddha, termasuk bangunan mirip stupa.
Mungkin karena suka berpindah-pindah itulah, maka Khaganate Uighur tidak lama menguasai Yarghul atau Jiaohe setelah takluk kepada Kerajaan Kirgiz pada tahun 840.
Wilayah Ibu Kota itu hancur pada saat bangsa Mongol datang di bawah kepemimpinan Jengis Khan abad XIII. Jengis Khan mendirikan Dinasti Yuan di China yang dalam sejarahnya juga bersinggungan dengan cikal-bakal Kerajaan Majapahit di Tanah Jawa.
Mengingat strategisnya posisi di persimpangan kedua sungai, maka Yarghul menjadi sangat vital dalam peta Jalur Sutera Kuno.
Yarghul menjadi pusat perjumpaan utama jalur perdagangan dari Xi'an, ibu kota kuno China, menuju Eropa, seperti yang pernah dilalui oleh Marco Polo.
Menariknya lagi, Yarghul ini ada dalam film serial Monkey King atau Kera Sakti yang sangat populer di Indonesia beberapa tahun yang lalu. Dalam salah satu episode, Sun Gokong sebagai tokoh legendaris Kera Sakti itu mengawali perjalanannya dari Yarghul setelah turun dari surga.
Yang agak mengejutkan, ternyata di bukit sebelahnya tidak jauh dari Yarghul terdapat bangunan kuno yang memiliki dua kubah. Juru bicara Pemerintah Daerah Otonomi Xinjiang, Ilijan Anayat, kepada ANTARA menunjukkan bangunan berkubah itu sebagai salah satu peninggalan Islam.
Tidak jelas, apakah bangunan yang tampak di kejauhan itu berupa masjid atau makam pembawa ajaran Islam di Xinjiang zaman dahulu kala. Pada tahun 1420-an para pelintas Jiaohe masih mendapati banyak kuil Buddha. Namun pada tahun 1450-an sudah banyak bangunan masjid. Pada abad XV, Yarghul atau Jiaohe sudah mulai ditinggalkan sejak diterapkannya syariat Islam yang ketat oleh penduduk lokal. Catatan-catatan yang dibuat para sejarawan inilah yang sangat mungkin berkorelasi dengan bangunan berkubah di Jiaohe itu.
Yang jelas, meskipun berupa reruntuhan, Yarghul atau Jiaohe menjadi salah satu objek wisata yang sangat penting dan menarik untuk dikunjungi siapa pun yang memiliki kesempatan melancong ke Xinjiang.
Reruntuhan bangunan bebatuan khas padang pasir itu selalu indah dipandang mata dan tentu saja surga bagi peminat "wisata selfie".
Makanya, tidak heran kalau ANTARA dan delegasi media asing lainnya yang telanjur rela menempuh perjalanan ribuan mil dari Beijing betah berlama-lama di puncak Yarghul, meskipun angin kencang menerpa dari segala penjuru.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2021