Peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia 10 Desember tahun tahun ini sedikit berbeda, utamanya di institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), yang mengadakan Lomba Orasi Unjuk Rasa Piala Kapolri 2021.
Lokasi itu dulunya rumah tinggal Bung Karno, Presiden RI pertama, tempat bersejarah sepanjang sejarah Bangsa Indonesia, di mana kedua bapak pendiri bangsa (Sukarno-Hatta) membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 jam 10.00 WIB.
Sejarah kemerdekaan Indonesia diabadikan dalam bentuk monumen dan tugu peringatan yang terdapat di dalam komplek Taman Proklamasi, yakni Tugu Peringatan Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia, Tugu Petir dan Menumen Pahlawan Proklamator Sukarno-Hatta.
Layaknya sebuah inkubator, lokasi tersebut menjadi wadah bagi mahasiswa dan insan Korps Bhayangkara saling belajar, memahami arti kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan berekspresi dan berorasi secara tertib dan terakomodir, yang merupakan bagian dari HAM.
Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo menilai diperlukan sosialisasi dan edukasi untuk saling memahami nilai-nilai demokrasi dan menjunjung tinggi HAM bagi kedua pihak, masyarakat, mahasiswa serta anggota kepolisian.
Mahasiswa dan kepolisian, dua pihak yang kerap bertemu di lapangan. Mahasiswa yang ingin menyuarakan aspirasinya mewakili masyarakat, anggota kepolisian yang ingin menjaga situasi tetap aman dan kondusif.
Kejadian mahasiswa dibanting saat berdemostrasi Oktober lalu di Tangerang, Banten, menjadi “momok” anggota Polri yang tak humanis, dan tidak menghormati HAM. Namun, di sisi lain, bukan hal baru, jika aksi unjuk rasa kerap ditumpangi oleh kepentingan politik praktis.
Jenderal bintang empat tersebut menilai, kondisi tersebut terjadi karena adanya sumbatan komunikasi, yang menimbulkan persoalan di lapangan. Satu sisi, mahasiswa ingin menyampaikan aspirasinya, di sisi lain, anggota Polri dalam tugasnya menjaga keamanan dan ketertiban, melihat ada potensi memiliki dampak atau risiko terganggungnya stabilitas keamanan.
Tak jarang aksi-kasi unjuk rasa tersebut ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan yang mengarah pada hal-hal yang dapat mengganggu stabilitas keamanan.
"Oleh karena itu di lapangan sering terjadi perbedaan dalam hal menanggapi, satu sisi masyarakat ingin menyampaikan ekspresi, namun di sisi lain Polri juga melihat ada dampak dan risiko terganggunya stabilitas keamanan, ketertiban masyarakat. Ini yang kemudian kita edukasi," kata Sigit.
Proses kreatif
Proses kreatif perhelatan lomba lomba orasi unjuk rasa ini berangkat dari sejumlah peristiwa yang terkait kinerja anggota kepolisian dalam menghadapi masyarakat. Mulai dari kegiatan pengamanan kunjungan Presiden Joko Widodo disejumlah wilayah, seperti di Lampung, Blitar, dan Solo.
Kejadian paling menyita perhatian publik ketika aparat kepolisian mengamankan seorang peternak ayam yang mengembangkan poster kea rah Presiden yang sedang melintas di Kota Blitar.
Kemudian, kasus viral penghapusan mural “404-Not Found” oleh anggota kepolisian, hingga aksi Brigandir NP yang membanting mahasiswa saat melakukan aksi unjuk rasa.
Pengalaman-pengalaman inilah dijawab oleh Polri dengan mengadakan lomba orasi unjuk rasa, memberikan ruang seluas-luasnya bagi masyarakat, mahasiswa untuk menyampaikan ekspresi dan aspirasinya terhadap pemerintah, maupun lembaga kepolisian.
Sejatinya lomba tersebut dilaksanakan seluruh Indonesia secara berjenjang, mulai dari tingkat kepolisian daerah (Polda), pemenang tiap polda akan dikirim ke tingkat Mabes Polri untuk mengikuti final.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo menyebutkan, penyelenggaraan lomba disambut baik masyarakat, tercatat ada 2.041 peserta terdiri atas 243 tim yang mendaftar dari seluruh Indonesia.
Setelah dilakukan perlombaan ditingkat daerah, terpilih enam tim yang melaju ke babak final yang diadakan oleh Mabes Polri.
Sebanyak enam tim mewakili enam zona Indonesia, yakni berasal dari Jawa Timur (wakil zona Jawa), Sumatera Barat (wakil zona Sumatera), Nusa Tenggara Timur (wakil zona Bali, NTT dan NTB), Maluku Utara (wakil zona Papua), Sulawesi Selatan (wakil zona Sulawesi) dan Kalimantan Timur (wakil zona Kalimantan).
Setiap tim menyampaikan orasi unjuk rasa dengan tema beragam. Isu perudungan dan kekerasan seksual dibawakan oleh Tim Aman Kesal, Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya, Jawa Timur. Tim Sembur Paus dari NTT membawakan isu hak adat dalam cengkraman negara, lalu tim Pemberanatsan Tikus dari Sumatera Barat membawa isu koruptor dan pelakor.
Kemudian ada tim Justitia dari Maluku Utara mengangkat isus kekerasan seksual terhadap perempuan. Masih dengan isu yang sama, dibawakan oleh tim Lingkar Hijau dari Sulawesi Selatan, yakni kesetaraan gender dalam hak perempuan. Dan yang terakhir tim Uniba dari Kalimantan Timur membawakan isu merdekakan buruh, petani dan nelayan.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo menyebutkan, peserta lomba berasal dari kalangan mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat, organisasi pemuda, organisasi masyarakat, dan masyarakat umum.
Lomba orasi ini diadakan untuk meningkatkan kualitas penerapan demokrasi secara benar, meningkatkan kualitas rasa dan kepedulian terhadap cinta Tanah Air.
"Tujuan lomba ini juga terwujudnya demokrasi, Pancasila dan tegaknya HAM," kata dia.
Komitmen junjung HAM
Dalam pelaksanaan lomba orasi unjuk rasa ini Polri bekerja sama dengan sejumlah pihak seperti Komisi Nasional Haksa Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pengawasan Kepolisian, serta para aktivis dan organisasi HAM.
Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, menyebutkan ada suara-suara yang mempertanyakan kepentingan diadakannya lomba orasi unjuk rasa tersebut, bahkan dianggap tidak lazim, tidak biasa.
Namun, Damanik melihat, sesuatu yang tidak biasa dan langka tersebut menandai adanya komitmen yang kuat di bawah kepemimpinan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo dan seluruh jajarannya bertekad untuk selalu menghormati HAM sebagai bagian dari nilai-nilai konstitusi, perundang-undangan Indonesia.
Sebagai bangsa yang bermartabat, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan Pancasila, maka unjuk rasa, orasi atau apapun namanya, sebaiknya dilakukan dengan jalan yang damai. Dengan situasi yang damai, maka kemudian pesan-pesan pokok yang disampaikan oleh seseorang atau sekelompok demontrasn bisa sampai kepada pengambil keputusan maupun masyarakat luas.
Komnas HAM telah menyusun standar norma dan pengaturan mengenai kebebasan berekspresi dan berpendapat, yang mengatur bagaimana kepolisian dan aparat penegak hukum atau instrument kenegaraan lainnya harus menghormati, melindungi kebebasan berekspresi.
Di sisi lain juga, standar norma yang disusun Komnas HAM mengatur perbedaan antara apa yang disebut dengan hak berdemokrasi dengan apa yang disebut ujaran kebencian, kekerasan dan tindakan-tindakan di luar hukum. Sehingga hak konstitusi berdemorkasi harus dipisahkan dengan tindakan-tindakan melawan hukum.
Damanik berharap, standar norma tersebut bisa dijadikan petunjuk bagi Polri, bagi seluruh aparat wilayah hukum dan sebaliknya bagi masyarakat, di dalam menjalankan hak konstitusional untuk berekspresi berpendapat menyampaikan pesan-pesan kepada publik.
"Di hadapan (monument) dua tokoh besar Bung Karno dan Bung Hatta, tentu kita harus bersama-sama berjanji menbangun bangsa kita untui menjadi bangsa yang besar bangsa yang menghormati norma HAM, martabat kemanusiaan, tentu saja untuk kemajuan kita bersama," kata Damanik.
Saat menutup perlombaan, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo mengajak seluruh pihak untuk menciptakan alam demokrasi Indonesia yang lebih baik lagi ke depannya. Dengan menghargai kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dilindungil oleh konstitusi.
Penyampaian aspirasi hendaknya terlepas dari segala bentuk kepentingan kelompok yang memanfaatkan situasi dan kondisi. Dengan begitu, penyampaian aspirasi tidak akan terganggu dengan “noise” yang dapat menghambat pesan dari masyarakat.
Perjalanan HAM di Indonesia mengalami pasang surut. Pada masa Orde Baru, saat kebabasan terhadap HAM dibatasi untuk menjaga stabilitas pemerintah. Di era reformasi HAM menjadi salah satu hak yang kemudian dilindungi dan dibuat Ketetapan MPR Nomor 17/1998, UU Nomor 9/1998 tentang Kebebasan menyampaikan pendapat, UU Nomor 12/2005 tentang Hak Sipil dan Hak Politik, serta UU Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dan undang-undang lainnya yang dibuat untuk menjamin kebebasan HAM.
Lomba orasi unjuk rasa merupakan komitmen Polri dalam menjunjung tinggi hak asasi manusia dan nilai-nilai demokrasi dengan memberikan wadah atau ruang dalam menyampaikan aspirasi.
"Kegiatan ini tentunya akan menjadi evaluasi bagi kita semua, evaluasi bagi Polri untuk bisa mendengar apa yang dirasakan oleh masyarakat," kata dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2021