Akan lebih baik mendatangi Kebun Naga Poernama saat malam hari, bukannya siang seperti ANTARA lakukan awal Desember lalu. Ini karena mulai sore sampai malam, kebun naga di sebuah dataran tinggi di Kampung Jamban Sari, Desa Bayongbong, Kecamatan Bayongbong, Garut, Jawa Barat, itu akan terlihat lebih indah karena bermandikan sinar lampu listrik.
"Orang menyangka semua ini demi keindahan, padahal yang kami lakukan ada fungsinya," kata Melani Biru Apyenta (24), supervisor kebun naga seluas 3 hektar yang juga situs agrowisata populer di Garut tersebut, kepada ANTARA.
Sebanyak 700 bohlam bertotal daya 1.400 watt menerangi sekitar 1.400 pohon naga tatkala malam tiba karena saat siang tentu sudah menjadi urusan matahari. Setiap dua pohon dipasangi satu bohlam berdaya 8-10 watt.
Semua orang tahu bahwa tanaman tergantung kepada sinar matahari untuk proses fotosintesis agar bisa tumbuh, berbunga dan berbuah.
Dan buah naga adalah satu dari sekian jenis flora yang butuh dicahayai hampir 24 jam. Untuk alasan ini pula lampu-lampu listrik dipasang di Kebun Naga Poernama untuk menerangi pohon ini saat malam tiba, agar cepat berbuah.
Cuma, tak boleh sembarang lampu karena mesti LED dan warnanya pun mesti kuning demi mempercepat pertumbuhan tanaman.
Selain menghasilkan fitur hemat energi yang lebih baik ketimbang sumber cahaya buatan lainnya, LED bisa mengatur warna dan spektrum berbeda serta fleksibel menyesuaikan sumber cahaya sesuai dengan spektrum cahaya yang dibutuhkan tanaman guna mempercepat pertumbuhannya.
Dengan cara ini, pohon naga menjadi lebih sering berbuah. "Kami panen tiap bulan, padahal buah naga biasanya dipanen setiap enam bulan," kata Melani kepada ANTARA. "Pokoknya tidak mengenal musim. Bulan lalu kami panen tiga ton."
Kebun Naga Poernama adalah satu dari banyak situs pertanian di Indonesia yang merasakan manfaat besar listrik untuk pertanian.
Di berbagai tempat di Indonesia, para petani dan pengusaha penggilingan beras sudah lama memakai listrik untuk menghidupkan mesin-mesin mereka sehingga bahan bakar fosil yang sebelum ini mereka konsumsi sudah lama menjadi sejarah karena sudah tak banyak lagi yang menggunakannya.
Dari sudut biaya listrik jelas hal ini lebih efisien, sementara dari sudut lingkungan, energi terbarukan seperti listrik adalah kabar bagus bagi kualitas lingkungan yang lebih baik.
Tak hanya itu, para petani juga pelan-pelan beralih ke alat pertanian listrik yang mereka rasakan lebih hemat ketimbang bahan bakar minyak.
"Jauh lebih irit dibandingkan dengan traktor biasa," kata Usep Kamil, petani di Desa Margaluyu, Kecamatan Campaka, Cianjur, kepada ANTARA awal Desember lalu, tentang alat pertanian listrik yang baru didapatkan kelompok tani pimpinannya dua bulan silam.
Energi listrik juga membuat pelaku-pelaku pertanian menjadi memiliki waktu lebih banyak dan kesempatan lebih lapang dalam berinovasi dengan memanfaatkan teknologi.
Situasi ini mendongkrak produktivitas serta menekan biaya operasional yang pada akhirnya menaikkan kesejahteraan petani untuk kemudian memacu output pertanian nasional di tengah lahan yang terus menyusut.
Metode-metode baru berproduksi komoditas pertanian di mana listrik menjadi komponen pentingnya pun menjamur di mana-mana.
Ini termasuk budidaya sayuran dan buah secara hidroponik yang telah membuat pertanian menjadi tidak tergantung kepada musim dan cuaca, selain mengatasi masalah lahan pertanian yang kian menyusut, dan membuat bertani bisa dilakukan siapa pun.
Tak heran listrik untuk memacu produktivitas pertanian yang biasa disebut electrifying agriculture menjadi kecenderungan di mana-mana.
Adalah PT PLN (Persero) yang menggagas ide ini. Tujuannya adalah membuat sektor pertanian Indonesia modern agar produktivitas naik tiga kali lipat dan beban operasional ditekan sampai 60 persen.
Manfaat program ini sendiri sudah dirasakan luas oleh banyak petani Indonesia sehingga tak heran semakin banyak petani, peternak dan pengusaha pertanian beralih ke sistem produksi berbasis listrik. Saat ini saja sudah 124 ribu petani Indonesia yang menjadi pelanggan electrifying agriculture.
Program ini juga mendekatkan petani dan peternak ke akses pasar dengan cara yang lebih efisien lewat konsep e-commerce yang sudah menjadi kecenderungan era kini.
E-commerce pula yang membuat tempat-tempat seperti Kampung Naga Poernama memiliki pelanggan yang setia menyerap produk mereka.
Bagi PLN sendiri, seperti diutarakan Direktur Niaga dan Manajemen PLN Bob Saril dalam bedah buku "Electrifying Agriculture: Petani Cerdas 4.0 Go Modern, Go Electrifying awal Oktober lalu, efisiensi dan peningkatan produksi akan memudahkan petani dalam mengakrabi ekonomi digital dengan salah satunya menjual produk pertanian via marketplace.
Kebutuhan mendesak
Listrik pertanian jelas menjadi langkah kreatif dalam mengatasi terus berkurangnya lahan pertanian yang menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) sudah berkurang 160 ribu hektar dalam kurun tiga tahun terakhir ini.
Alih fungsi lahan pertanian dan tiadanya penambahan lahan baru yang sebenarnya baik bagi lingkungan, adalah dua dari banyak faktor yang membuat lahan pertanian terus menyusut.
Menurut BPS, pada 2019 luas lahan pertanian di Indonesia mencapai 10,677 juta hektar, namun menyusut sekitar 20 ribu hektar pada 2020 menjadi 10,657 juta hektar.
Pada 2021 angka itu bahkan menyusut lebih dari t ujuh kali dari setahun sebelumnya, mencapai 142 ribu hektar menjadi 10,515 juta hektar.
Ironisnya tingkat produktivitas pertanian yang dihitung menurut satuan kuintal per hektar atau ku/ha dan volume produksi per tahun terus naik.
Bahkan pada 2021 kenaikannya lebih signifikan, justru ketika luas lahan pertanian menyusut lebih tajam dibandingkan setahun silam.
Angka yang ada pada BPS menunjukkan tingkat produktivitas pertanian pada 2019, 2020 dan 2021 masing-masing 51,14 ku/ha, lalu 51,28 ku/ha, dan 52,26 ku/ha.
Volume produksi dalam tiga tahun itu juga naik, masing-masing 54,604 juta ton pada 2019, kemudian 54,649 juta ton pada 2020, dan 55,269 juta ton pada 2021.
Jika melihat data nasional tiga tahun terakhir itu, kekurangan lahan tak begitu mengganggu produktivitas pertanian.
Di antara faktor yang membuat keadaan itu terjadi adalah intervensi teknologi dan inovasi pertanian. Dan energi listrik menjadi salah satu dari sekian faktor yang menciptakan kecenderungan menarik ini.
Faktanya pula listrik tidak saja baik untuk pertanian, namun juga menjadi keniscayaan di masa depan karena Indonesia tak selamanya bisa mengandalkan energi fosil.
Hal itu bukan cuma karena cadangan energi terus berkurang, melainkan juga karena ada upaya agresif dari dunia guna menekan penggunaan energi fosil dalam rangka memerangi pemanasan global di mana proses pembakaran bahan bakar fosil menjadi penyumbang terbesar bagi terciptanya pemanasan global dan degradasi lingkungan.
Kecenderungan itu sendiri sudah dipetakan banyak pihak, salah satunya PT Pertamina (Persero) yang memperkirakan setelah 2046 ketika konsumsi bahan bakar minyak di Indonesia diperkirakan mencapai puncaknya, tingkat konsumsi bahan bakar minyak di Indonesia akan terus turun, dari 780 juta barel setara minyak menjadi 215 juta barel setara minyak.
"Sebaliknya, energi baru terbarukan akan meningkat signifikan,” kata Vice President Pertamina Energy Institute (PEI) Hery Haerudin beberapa waktu lalu.
Kecenderungan ini sudah jelas terlihat belakangan ini di mana salah satunya terjadi pada sektor pertanian yang kian luas mengadopsi alat dan metode berbasis listrik sebagai komponen utama dalam proses produksi pertanian.
Kecenderungan ini bakal semakin kuat jika melihat penetrasi listrik sudah menerangi semua wilayah dan setiap rumah di Indonesia.
Data yang ada menunjukkan rasio elektrifikasi (penggunaan listrik untuk basis rumah tangga), terus naik dari waktu ke waktu. Dalam kurun 2018-2020 saja angkanya meningkat dari 98,3 persen menjadi 98,89 persen dan kemudian menjadi 99,2 persen.
Memang hitungan ini untuk tingkat rumah tangga, namun penetrasi listrik seluas itu bisa semakin memicu hadirnya budaya hidup serba listrik yang bisa mendorong sektor-sektor ekonomi semakin masif dikelola oleh sistem berbasis listrik, termasuk sektor pertanian.
Pada akhirnya kondisi ini bisa membantu menciptakan ketahanan pangan yang tak saja bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri dan menaikkan porsi pertanian dalam output ekonomi nasional, namun juga dapat meningkatkan kemampuan Indonesia dalam hal ekspor produk pertanian.
Dan ini bukan isapan jempol karena dari data BPS untuk triwulan kedua 2021, sektor pertanian Indonesia tumbuh 1,35 persen, sedangkan ekspor pertanian selama periode ini naik 14,85 persen mencapai 1,04 miliar dolar AS.
Dari fakta dan data itu terlihat bahwa inovasi dan prakarsa memajukan pertanian seperti electrifying agriculture adalah kebutuhan mendesak di tengah terus berkurangnya lahan pertanian.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2021
"Orang menyangka semua ini demi keindahan, padahal yang kami lakukan ada fungsinya," kata Melani Biru Apyenta (24), supervisor kebun naga seluas 3 hektar yang juga situs agrowisata populer di Garut tersebut, kepada ANTARA.
Sebanyak 700 bohlam bertotal daya 1.400 watt menerangi sekitar 1.400 pohon naga tatkala malam tiba karena saat siang tentu sudah menjadi urusan matahari. Setiap dua pohon dipasangi satu bohlam berdaya 8-10 watt.
Semua orang tahu bahwa tanaman tergantung kepada sinar matahari untuk proses fotosintesis agar bisa tumbuh, berbunga dan berbuah.
Dan buah naga adalah satu dari sekian jenis flora yang butuh dicahayai hampir 24 jam. Untuk alasan ini pula lampu-lampu listrik dipasang di Kebun Naga Poernama untuk menerangi pohon ini saat malam tiba, agar cepat berbuah.
Cuma, tak boleh sembarang lampu karena mesti LED dan warnanya pun mesti kuning demi mempercepat pertumbuhan tanaman.
Selain menghasilkan fitur hemat energi yang lebih baik ketimbang sumber cahaya buatan lainnya, LED bisa mengatur warna dan spektrum berbeda serta fleksibel menyesuaikan sumber cahaya sesuai dengan spektrum cahaya yang dibutuhkan tanaman guna mempercepat pertumbuhannya.
Dengan cara ini, pohon naga menjadi lebih sering berbuah. "Kami panen tiap bulan, padahal buah naga biasanya dipanen setiap enam bulan," kata Melani kepada ANTARA. "Pokoknya tidak mengenal musim. Bulan lalu kami panen tiga ton."
Kebun Naga Poernama adalah satu dari banyak situs pertanian di Indonesia yang merasakan manfaat besar listrik untuk pertanian.
Di berbagai tempat di Indonesia, para petani dan pengusaha penggilingan beras sudah lama memakai listrik untuk menghidupkan mesin-mesin mereka sehingga bahan bakar fosil yang sebelum ini mereka konsumsi sudah lama menjadi sejarah karena sudah tak banyak lagi yang menggunakannya.
Dari sudut biaya listrik jelas hal ini lebih efisien, sementara dari sudut lingkungan, energi terbarukan seperti listrik adalah kabar bagus bagi kualitas lingkungan yang lebih baik.
Tak hanya itu, para petani juga pelan-pelan beralih ke alat pertanian listrik yang mereka rasakan lebih hemat ketimbang bahan bakar minyak.
"Jauh lebih irit dibandingkan dengan traktor biasa," kata Usep Kamil, petani di Desa Margaluyu, Kecamatan Campaka, Cianjur, kepada ANTARA awal Desember lalu, tentang alat pertanian listrik yang baru didapatkan kelompok tani pimpinannya dua bulan silam.
Energi listrik juga membuat pelaku-pelaku pertanian menjadi memiliki waktu lebih banyak dan kesempatan lebih lapang dalam berinovasi dengan memanfaatkan teknologi.
Situasi ini mendongkrak produktivitas serta menekan biaya operasional yang pada akhirnya menaikkan kesejahteraan petani untuk kemudian memacu output pertanian nasional di tengah lahan yang terus menyusut.
Metode-metode baru berproduksi komoditas pertanian di mana listrik menjadi komponen pentingnya pun menjamur di mana-mana.
Ini termasuk budidaya sayuran dan buah secara hidroponik yang telah membuat pertanian menjadi tidak tergantung kepada musim dan cuaca, selain mengatasi masalah lahan pertanian yang kian menyusut, dan membuat bertani bisa dilakukan siapa pun.
Tak heran listrik untuk memacu produktivitas pertanian yang biasa disebut electrifying agriculture menjadi kecenderungan di mana-mana.
Adalah PT PLN (Persero) yang menggagas ide ini. Tujuannya adalah membuat sektor pertanian Indonesia modern agar produktivitas naik tiga kali lipat dan beban operasional ditekan sampai 60 persen.
Manfaat program ini sendiri sudah dirasakan luas oleh banyak petani Indonesia sehingga tak heran semakin banyak petani, peternak dan pengusaha pertanian beralih ke sistem produksi berbasis listrik. Saat ini saja sudah 124 ribu petani Indonesia yang menjadi pelanggan electrifying agriculture.
Program ini juga mendekatkan petani dan peternak ke akses pasar dengan cara yang lebih efisien lewat konsep e-commerce yang sudah menjadi kecenderungan era kini.
E-commerce pula yang membuat tempat-tempat seperti Kampung Naga Poernama memiliki pelanggan yang setia menyerap produk mereka.
Bagi PLN sendiri, seperti diutarakan Direktur Niaga dan Manajemen PLN Bob Saril dalam bedah buku "Electrifying Agriculture: Petani Cerdas 4.0 Go Modern, Go Electrifying awal Oktober lalu, efisiensi dan peningkatan produksi akan memudahkan petani dalam mengakrabi ekonomi digital dengan salah satunya menjual produk pertanian via marketplace.
Kebutuhan mendesak
Listrik pertanian jelas menjadi langkah kreatif dalam mengatasi terus berkurangnya lahan pertanian yang menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) sudah berkurang 160 ribu hektar dalam kurun tiga tahun terakhir ini.
Alih fungsi lahan pertanian dan tiadanya penambahan lahan baru yang sebenarnya baik bagi lingkungan, adalah dua dari banyak faktor yang membuat lahan pertanian terus menyusut.
Menurut BPS, pada 2019 luas lahan pertanian di Indonesia mencapai 10,677 juta hektar, namun menyusut sekitar 20 ribu hektar pada 2020 menjadi 10,657 juta hektar.
Pada 2021 angka itu bahkan menyusut lebih dari t ujuh kali dari setahun sebelumnya, mencapai 142 ribu hektar menjadi 10,515 juta hektar.
Ironisnya tingkat produktivitas pertanian yang dihitung menurut satuan kuintal per hektar atau ku/ha dan volume produksi per tahun terus naik.
Bahkan pada 2021 kenaikannya lebih signifikan, justru ketika luas lahan pertanian menyusut lebih tajam dibandingkan setahun silam.
Angka yang ada pada BPS menunjukkan tingkat produktivitas pertanian pada 2019, 2020 dan 2021 masing-masing 51,14 ku/ha, lalu 51,28 ku/ha, dan 52,26 ku/ha.
Volume produksi dalam tiga tahun itu juga naik, masing-masing 54,604 juta ton pada 2019, kemudian 54,649 juta ton pada 2020, dan 55,269 juta ton pada 2021.
Jika melihat data nasional tiga tahun terakhir itu, kekurangan lahan tak begitu mengganggu produktivitas pertanian.
Di antara faktor yang membuat keadaan itu terjadi adalah intervensi teknologi dan inovasi pertanian. Dan energi listrik menjadi salah satu dari sekian faktor yang menciptakan kecenderungan menarik ini.
Faktanya pula listrik tidak saja baik untuk pertanian, namun juga menjadi keniscayaan di masa depan karena Indonesia tak selamanya bisa mengandalkan energi fosil.
Hal itu bukan cuma karena cadangan energi terus berkurang, melainkan juga karena ada upaya agresif dari dunia guna menekan penggunaan energi fosil dalam rangka memerangi pemanasan global di mana proses pembakaran bahan bakar fosil menjadi penyumbang terbesar bagi terciptanya pemanasan global dan degradasi lingkungan.
Kecenderungan itu sendiri sudah dipetakan banyak pihak, salah satunya PT Pertamina (Persero) yang memperkirakan setelah 2046 ketika konsumsi bahan bakar minyak di Indonesia diperkirakan mencapai puncaknya, tingkat konsumsi bahan bakar minyak di Indonesia akan terus turun, dari 780 juta barel setara minyak menjadi 215 juta barel setara minyak.
"Sebaliknya, energi baru terbarukan akan meningkat signifikan,” kata Vice President Pertamina Energy Institute (PEI) Hery Haerudin beberapa waktu lalu.
Kecenderungan ini sudah jelas terlihat belakangan ini di mana salah satunya terjadi pada sektor pertanian yang kian luas mengadopsi alat dan metode berbasis listrik sebagai komponen utama dalam proses produksi pertanian.
Kecenderungan ini bakal semakin kuat jika melihat penetrasi listrik sudah menerangi semua wilayah dan setiap rumah di Indonesia.
Data yang ada menunjukkan rasio elektrifikasi (penggunaan listrik untuk basis rumah tangga), terus naik dari waktu ke waktu. Dalam kurun 2018-2020 saja angkanya meningkat dari 98,3 persen menjadi 98,89 persen dan kemudian menjadi 99,2 persen.
Memang hitungan ini untuk tingkat rumah tangga, namun penetrasi listrik seluas itu bisa semakin memicu hadirnya budaya hidup serba listrik yang bisa mendorong sektor-sektor ekonomi semakin masif dikelola oleh sistem berbasis listrik, termasuk sektor pertanian.
Pada akhirnya kondisi ini bisa membantu menciptakan ketahanan pangan yang tak saja bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri dan menaikkan porsi pertanian dalam output ekonomi nasional, namun juga dapat meningkatkan kemampuan Indonesia dalam hal ekspor produk pertanian.
Dan ini bukan isapan jempol karena dari data BPS untuk triwulan kedua 2021, sektor pertanian Indonesia tumbuh 1,35 persen, sedangkan ekspor pertanian selama periode ini naik 14,85 persen mencapai 1,04 miliar dolar AS.
Dari fakta dan data itu terlihat bahwa inovasi dan prakarsa memajukan pertanian seperti electrifying agriculture adalah kebutuhan mendesak di tengah terus berkurangnya lahan pertanian.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2021