Kepala Pusat Studi Kelapa Sawit Kalimantan Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Susi STP, MSi mengatakan sudah saatnya petani menikmati nilai tambah dari hilirisasi produk sawit yang bisa maksimal terus didorong pemerintah.
"Kalau hilirisasi ini bisa maksimal kami yakin tidak ada lagi petani sawit yang menjerit anjloknya harga tandan buah segar (TBS)," kata di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Rabu.
Susi mengungkapkan 40 persen lebih dari total luas lahan perkebunan kelapa sawit yang mencapai 15,08 juta hektare di Indonesia merupakan milik petani. Meski begitu, selama ini hanya segelintir orang yang menikmati hasil industrinya.
Sementara , petani hanya menggantungkan hidup dari penjualan TBS yang harganya sulit merangkak naik meski di kala terjadinya peningkatan penjualan ataupun ekspor crude palm oil atau CPO.
"Bahkan saat gelojak kenaikan harga minyak goreng di tingkat konsumen, petani sawit tidak mendapatkan keuntungan apapun dari situasi ini," kata Susi.
Untuk itulah, produk hilir kelapa sawit terutama skala usaha kecil, mikro dan koperasi (UKMK) yang bisa melibatkan langsung petani di dalam bisnisnya , dinilai paling tepat menjadi solusi pengembangan kelapa sawit berkelanjutan.
Sementara menyangkut TBS, dia berharap ada ketetapan harga oleh pemerintah yang tak sekadar hanya harga acuan namun wajib dipatuhi bagi pembeli sebagai legal formal demi bisnis kelapa sawit lebih berkeadilan mulai hulu sampai hilir.
"Baru-baru ini kita dengar petani menjual TBS ke Malaysia Rp4.500 per kilogram. Hal ini wajar mengingat dalam negeri cuma dihargai Rp1.000. Tentu ini fenomena miris dan harus disikapi serius pemerintah," kata akademisi Fakultas Pertanian ULM itu.
Guna menjaga kualitas TBS saat panen di tingkat petani, tim akademisi ULM di Pusat Studi Kelapa Sawit Kalimantan pun telah melakukan berbagai upaya pendampingan.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2022
"Kalau hilirisasi ini bisa maksimal kami yakin tidak ada lagi petani sawit yang menjerit anjloknya harga tandan buah segar (TBS)," kata di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Rabu.
Susi mengungkapkan 40 persen lebih dari total luas lahan perkebunan kelapa sawit yang mencapai 15,08 juta hektare di Indonesia merupakan milik petani. Meski begitu, selama ini hanya segelintir orang yang menikmati hasil industrinya.
Sementara , petani hanya menggantungkan hidup dari penjualan TBS yang harganya sulit merangkak naik meski di kala terjadinya peningkatan penjualan ataupun ekspor crude palm oil atau CPO.
"Bahkan saat gelojak kenaikan harga minyak goreng di tingkat konsumen, petani sawit tidak mendapatkan keuntungan apapun dari situasi ini," kata Susi.
Untuk itulah, produk hilir kelapa sawit terutama skala usaha kecil, mikro dan koperasi (UKMK) yang bisa melibatkan langsung petani di dalam bisnisnya , dinilai paling tepat menjadi solusi pengembangan kelapa sawit berkelanjutan.
Sementara menyangkut TBS, dia berharap ada ketetapan harga oleh pemerintah yang tak sekadar hanya harga acuan namun wajib dipatuhi bagi pembeli sebagai legal formal demi bisnis kelapa sawit lebih berkeadilan mulai hulu sampai hilir.
"Baru-baru ini kita dengar petani menjual TBS ke Malaysia Rp4.500 per kilogram. Hal ini wajar mengingat dalam negeri cuma dihargai Rp1.000. Tentu ini fenomena miris dan harus disikapi serius pemerintah," kata akademisi Fakultas Pertanian ULM itu.
Guna menjaga kualitas TBS saat panen di tingkat petani, tim akademisi ULM di Pusat Studi Kelapa Sawit Kalimantan pun telah melakukan berbagai upaya pendampingan.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2022