Jakarta (ANTARA) - Pemerintah berupaya untuk memperkuat hilirisasi sektor perkebunan kelapa sawit tahun depan, untuk meningkatkan kesejahteraan petani, menunjang kinerja ekspor, serta pengembangan energi terbarukan melalui biodiesel 35 (B35) dan 40 (B40).
“Hilirisasi selain dari sisi tambang juga dari sisi sawit, dan ini juga merupakan salah satu andalan dari Republik Indonesia,” ujar Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati pada konferensi pers RAPBN 2025, di Jakarta, Jumat (16/8) sore.
Menkeu mengatakan bahwa optimalisasi nilai ekspor dari komoditas sawit bisa didapatkan dari pajak ekspor dan tarif bea keluar.
Kinerja ekspor sawit menunjukkan tren positif dengan meningkat dari 16,8 miliar dolar AS (Rp264,86 triliun, kurs hari ini 1 dolar AS=Rp15,765) pada 2015 menjadi 23,9 miliar dolar AS (Rp376,79 triliun) pada 2023.
Sri Mulyani juga menyatakan bahwa pemerintah akan terus mendorong stabilisasi harga sawit pada ambang yang wajar untuk menjaga kesejahteraan para petani.
Ia menuturkan bahwa pemerintah juga berupaya menjaga ketersediaan dan keterjangkauan harga produk crude palm oil (CPO) beserta turunannya bagi para konsumen, salah satunya produk biodiesel.
Volume penyaluran biodiesel tercatat meningkat dari 0,92 juta kiloliter pada 2015 menjadi 2,24 juta kiloliter pada 2023, yang berdampak pada penghematan devisa impor solar.
Penghematan tersebut mencapai Rp3,7 triliun pada 2015 dan semakin meningkat menjadi Rp121,5 triliun pada tahun lalu.
Tidak hanya menghemat devisa, program pengembangan energi terbarukan tersebut juga membantu mengurangi emisi sebesar 2,4 juta ton karbondioksida ekuivalen (CO2e). Angka tersebut naik menjadi 32,7 juta CO2e pada 2023.
Selain kelapa sawit, komoditas prioritas hilirisasi untuk sektor pertanian pada periode 2025-2029 juga meliputi karet, kelapa, dan kakao.