Dunia riset Indonesia sedang mengalami penataan agar inovasi yang dihasilkan memberi manfaat ekonomi maupun sosial.

Definisi riset yang semula sebatas pada penelitian bergeser menjadi lebih luas. Riset diambil dari Bahasa Inggris research (re, mengulang dan search, mencari) yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia menjadi penelitian.

Sebelum Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) terbentuk persisnya sebelum tahun 2021, orang lebih mengenal penelitian dan pengembangan dengan pelakunya adalah peneliti, dan juga lebih mengenal pengkajian dan penerapan dengan pelakunya adalah perekayasa.

Di samping itu, dikenal juga dosen di perguruan tinggi sebagai pelaku dalam penelitian dengan mengacu pada Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat.

Untuk ketiga profesi peneliti, perekayasa dan dosen objek pekerjaannya adalah di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sehingga merupakan keprofesian satu rumpun.

Kini berdasarkan Undang-Undang Nomor 11/2029 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas Iptek) serta Peraturan Presiden 78 tentang BRIN batasan riset tidak sekadar penelitian.

Berdasarkan kedua aturan tersebut riset merupakan aktivitas penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan (litbangjirap) ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menghasilkan output invensi dan outcome inovasi.

UU Sisnas Iptek menyebutkan bahwa profesi yang melakukan aktivitas riset bukan hanya satu profesi peneliti, akan tetapi beragam profesi yang disebut sumber daya manusia ilmu pengetahuan dan teknologi (SDM IPTEK), dan secara tegas menyebutkan profesi tersebut adalah peneliti, perekayasa, dosen dan SDM IPTEK lainnya, dengan demikian mereka yang berprofesi melakukan riset secara singkat bisa pula dikatakan sebagai periset.

Dengan demikian para periset dapat melakukan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan atau penerapan untuk memperoleh invensi dan inovasi. Dapat pahami peneliti itu merupakan bagian dari periset, jadi seorang peneliti sudah pasti termasuk periset, akan tetapi seorang periset belum tentu seorang peneliti.

Pegawai ASN

Untuk mereka pegawai ASN yang profesi di bidang tertentu, berdasarkan ketentuan mereka itu merupakan pejabat fungsional bidang tertentu.

Ketentuan lebih lanjut pembinaan keprofesian bagi ASN sebagai pejabat fungsional berada di bawah lembaga pemerintah yang ditunjuk.

Untuk profesi periset ASN yang dalam hal ini adalah pejabat fungsional periset, lembaga yang ditunjuk pemerintah membina keprofesian periset adalah BRIN.

Kepala BRIN menetapkan Perhimpunan Periset Indonesia (PPI) menjadi organisasi profesi bagi jabatan fungsional di bawah pembinaan BRIN.

Saat ini terdapat 11 profesi periset di lingkup BRIN yaitu peneliti, perekayasa, pengembang teknologi nuklir, analis pemanfaatan iptek, analis data ilmiah, analis perkebunrayaan, kurator koleksi hayati, penata penerbitan ilmiah, teknisi penelitian dan perekayasaan, pranata nuklir, dan teknisi perkebunrayaan.

Sebelas profesi tersebut masih terbuka terus berkembang dan bertambah sesuai dengan kebutuhan.

Sementara itu, terdapat jabatan fungsional periset yang pembinaan karir keprofesiannya bukan di bawah BRIN, seperti dosen, mahasiswa pascasarjana S2 dan S3 di perguruan tinggi, dan analis kebijakan di bawah Lembaga Administrasi Negara.

Mayoritas periset Indonesia bekerja di BRIN, akan tetapi banyak pula seperti peneliti dan perekayasa yang bekerja di swasta dan di lembaga swadaya masyarakat.

Pada praktiknya empat kegiatan para periset berupa penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan serangkaian aktivitas dari hulu hingga hilir.

Sebetulnya setiap periset melakukan empat kegiatan tersebut dengan proporsi berbeda-beda. Peneliti, dosen, mahasiswa S2 dan S3 melakukan porsi penelitian yang paling besar, tetapi semakin berkurang pada aktivitas pengembangan, pengkajian, dan penerapan. Perekayasa porsi terbesar adalah melakukan pengkajian dan penerapan, sementara aktivitas pengembangan dan penelitian lebih kecil.

Ekosistem riset berperan penting dalam menentukan keberhasilan riset, oleh karenanya pembentukan BRIN dan reformasi sistem pendanaan riset nasional merupakan bagian dari langkah strategis dalam membangun ekosistem riset yang jauh lebih baik dari masa lalu.

Komponen ekosistem riset terdiri para periset itu sendiri, lembaga riset pemerintah di dalam negeri, lembaga riset di luar negeri, perguruan tinggi, pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga pendanaan atau donor, asosiasi periset, lembaga swadaya masyarakat, dan tentu industri dengan unit riset di dalamnya.

Pada konteks ini PPI sebagai asosiasi periset merupakan komponen ekosistem riset untuk mendukung para periset di Indonesia.

PPI lahir dari fusi dua organisasi yaitu Himpunan Peneliti Indonesia (HIMPENINDO) dan Himpunan Perekayasa Indonesia (HIMPERINDO).

Para peneliti dan perekayasa di kedua organisasi tersebut pada 21 Desember 2021 bersepakat bergabung untuk kemudian menaungi 11 jabatan fungsional periset seperti yang telah diulas di atas.

Dengan ekosistem riset yang baik, maka para periset dapat bekerja optimal untuk melahirkan invensi dan menghasilkan inovasi.

Invensi-Inovasi

Banyak yang belum memahami perbedaan antara invensi dan inovasi sehingga sering terbolak-balik. Invensi adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.

Sementara inovasi adalah hasil pemikiran, penelitian, pengembangan, pengkajian, dan/atau penerapan yang mengandung unsur kebaruan dan telah diterapkan serta memberikan manfaat ekonomi dan/atau sosial.

Sesuatu yang baru tetapi belum terbukti memberi manfaat, maka sejatinya belum dapat digolongkan sebagai inovasi. Tim periset dinyatakan berhasil bila mampu melahirkan invensi serta menghasilkan inovasi bagi kepentingan masyarakat, dan hal tersebut merupakan terminal akhir dari sebuah riset.

Persoalan kemudian muncul ketika para periset belakangan ini disibukkan dengan target berupa publikasi hasil riset di jurnal global dengan reputasi papan atas.

Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana kaitan antara publikasi di jurnal reputasi papan atas dengan invensi dan inovasi yang dihasilkan.

Publikasi pada buku atau jurnal nasional maupun internasional yang bereputasi akan memberikan dampak pada pengakuan (recognition) dari masyarakat ilmiah nasional maupun internasional terutama dari rekan-rekan sejawat pada bidang yang sama.

Pengakuan tersebut akan menjadi bekal berupa rekam jejak bagi para periset dalam mengarungi kehidupan riset.

Hampir semua periset di berbagai belahan dunia mafhum bahwa lembaga donor pemerintah maupun swasta di dalam negeri dan luar negeri, umumnya lebih tertarik dan percaya untuk mendukung pembiayaan riset para periset yang sudah diakui (bereputasi) di bidangnya.

Pada konteks ini, periset yang tengah mempublikasikan karyanya pada jurnal ilmiah bereputasi pada hakikatnya sedang membangun pengakuan dari masyarakat ilmiah bahwa dirinya berkompeten untuk melakukan riset di bidangnya sehingga layak didanai oleh pihak terkait yang berada dalam ekosistem riset.

Pada akhirnya ketika para periset Indonesia diakui dan dipercaya untuk melakukan riset besar, maka invensi dan inovasi yang dihasilkan tentunya akan berdampak besar pada masyarakat.

Pada saat itulah profesi periset di Indonesia menjadi suatu profesi yang berperan signifikan bagi kemajuan bangsa dan negara.

*) Husein Avicenna Akil dan Destika Cahyana;
Pengurus Perhimpunan Periset Indonesia (PPI).
 

Pewarta: Husein Avicenna Akil dan Destika Cahyana*)  

Editor : Ariyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2023