Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan kajian ekosistem karbon biru yang telah disusun dengan mengintegrasikan ekosistem laut berperan penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim.

Menteri LHK Siti Nurbaya menjelaskan ekosistem laut yang meliputi hutan mangrove, padang lamun, rawa air payau maupun rawa air asin dan terumbu karang memiliki potensi yang besar sebagai penyerap dan penyimpan karbon.

"Atas dasar ecosystem base, maka di antara bagian-bagian studi menjadi sangat relevan dengan Agenda FOLU Net Sink 2030 yang menjadi tekad kita sebagai bangsa," ujarnya dalam seminar tentang ekosistem karbon biru di Gedung Manggala Wanabakti Jakarta, Senin.

Implementasi ekosistem karbon biru menawarkan peluang pembangunan yang signifikan juga menimbulkan tantangan berbagai sektor, seperti perikanan dan akuakultur berkelanjutan, pariwisata laut dan pesisir, serta pembangunan pesisir.

Siti menuturkan dukungan peraturan, insentif hingga penelitian dan pengembangan kapasitas, termasuk mekanisme pembiayaan adalah kondisi yang memungkinkan dalam mendukung investasi guna memastikan tidak hanya lautan yang sehat dan berkelanjutan, tetapi juga harus sejalan dengan pengembangan ekonomi laut yang berkelanjutan dan tangguh.

Menurutnya, hal itu sejalan dengan catatan KLHK bahwa ekosistem pesisir dan laut mengandung berbagai persoalan yang perlu menjadi perhatian dan dalam penyelesaiannya memerlukan tindak-lanjut terkait kelembagaan.

Kelembagaan dalam studi tersebut mencakup hal yang sangat penting berkenaan dengan kapasitas kelembagaan dalam aspek yang sangat luas.

"Pada pandangan saya, inilah yang akan dapat menjadi arahan governance kita terkait karbon dengan ecosystem based," kata Siti.

Ia menjelaskan arahan pemerintah yang dimaksud mencakup aspek-aspek regulasi, institusi, proses, sistem dan prosedur, partisipasi masyarakat, sistem pembiayaan, data base dan policy excercise and policy making serta interaksi nasional (pemerintah pusat) dan sub-nasional (masyarakat, swasta, pemerintah daerah), terutama bagaimana pola koersif dan kooperatif bisa terbangun dan terjalin baik berkenaan dengan karbon.

Dalam elaborasinya seperti dalam hal peran, tekanan, mandat antarlembaga, pengendalian, asumsi implementasi, sumber inovasi kebijakan dan penekanan implementasi menuju Carbon Governance.

Lebih lanjut Siti menyampaikan bahwa pihaknya menghargai upaya awal Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) dalam kajian ekosistem ekonomi biru di Indonesia.

Ia berharap langkah itu bisa berkembang dalam upaya Indonesia menuju Carbon Governance dengan berbagai kemajuan kerja yang telah dimiliki oleh Indonesia.

"Saya optimistis juga pada sektor kelautan dan lahan basah dimana pada konteks lahan basah sebagai ekosistem sangat erat relevansi kerja bersama KLHK," pungkasnya.

Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyampaikan bahwa potensi ekosistem mangrove dan lamun di Indonesia seluas 3,36 juta hektare mampu menyerap 11 miliar ton karbon dioksida dan memberikan sumbangsih sebesar 66 miliar dolar AS.

Kementerian Kelautan dan Perikanan punya lima kebijakan terkait ekonomi biru, yaitu perluasan kawasan konservasi laut; perikanan tangkap terukur berbasis kuota; pembangunan perikanan budidaya laut, pesisir, dan darat yang ramah lingkungan, pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil, serta pengelolaan sampah plastik di laut.

"Kami sangat fokus terhadap ekologi karena kalau lautnya rusak, maka ekonomi biru atau ekologinya juga akan rusak dan karbon biru tidak akan bisa didapatkan," pungkas Trenggono.

Pewarta: Sugiharto Purnama

Editor : Ariyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2023