"Pemimpin tidak tidak boleh terpengaruh oleh hawa nafsu keduniaan, jiwanya harus suci, karena saat ia masih tergoda nafsu dunia maka akan menyebabkan kerusakan, kebinasaan segala harta benda rakyat, bahkan jiwa rakyat pun diambil dan dimakannya".
Degradasi moral sudah semakin akut menjalar di negeri ini, "korea-korea" sudah tidak malu lagi menunjukkan watak asli oligarki, DPR sudah menjadi Dewan Perwakilan Partai, bukan lagi mewakili rakyat. Tikus berdasi mulai marak jelang Idul Fitri, lagi dan lagi seorang kepala daerah ditangkap (OTT) KPK melakukan tindak pidana korupsi. Terbaru di bulan Ramadan nan suci ada dua kepala daerah, Wali Kota Bandung dan Bupati Kepulauan Meranti.
Sebelumnya juga ada heboh OTT kasus proyek jalur kereta api di DJKA, dan juga drama Transaksi janggal ratusan trilyun dugaan pencucian uang di Kementerian Keuangan. Tak hanya itu akibat dari kasus Anak Rafaul Alun netizan "gercep" memonitor pejabat serta keluarganya yang suka flexing di medos, akibatnya banyak pejabat yang diperiksa dan keluarganya rame-rame menutup akun sosial medianya agar tidak menjadi incaran investigasi netizen.
Miris memang melihat perilaku para pejabatan negeri ini, bangsa ini sudah tercerabut dari nilai/falsafah yang dibangun saat pembentukan dasar negara Indonesia. Pancasila sebagai fudamental norm telah mengamanatkan bahwa rakyat Indonesia harus dipimpin oleh orang dan dengan cara yang hikmat kebijaksanaan. Bangsa Indonesia memiliki kearifan lokal yang tinggi dalam menentukan kriteria kepemimpinan, menurut Sila ke-4 bukan tokoh yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilu yang layak menjadi pemimpin bangsa ini tapi orang yang memiliki kualifikasi hikmat dan bijaksana yang mampu mewujudkan kesejahteraan. Pribadi tanpa hikmat kebijaksanaan tidak layak memimpin Indonesia, pimpinan tanpa hikmat kebijaksanaan hanya akan membawa bangsa ini ke kubang kesesatan.
Hakekat hukum tentang pemimpin yang ber-hikmat kebijaksanaan dapat ditelusuri dari kenyataan sosial yang mendalam (teori indikasi) yang dicetuskan oleh Carl von Savigny pelopor mahzab sejarah yang dikenal dengan istilah volkgeist (jiwa bangsa). Dalam konteks negara Indonesia maka hakekat pemimpin dapat ditelusuri menurut pendapat para pendiri bangsa dalam sidang BPUPKI.
Hakekat pemimpin yang hikmat kebijaksanaan dapat kita temukan dalam naskah pidato para founding father/pendiri bangsa saat menyampaikan pendapatnya mengenai dasar negara pada sidang BPUPKI bulan Mei-Juli 1945 yang terangkum dalam buku Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) & Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) Jakarta, 1998. Saya yakin tidak semua orang pernah membaca buku ini, maka di opini singkat ini semoga membuka mata hati bangsa ini untuk lebih bijak memilih pemimpin di pemilu 2024.
Beberapa tokoh yang akan saya jelaskan adalah; pertama Muh. Yamin, Ia menjelaskan bahwa dasar negara Indonesia: 1 peri kebangsaan, 2 peri kemanusiaan, 3 peri ketuhanan, 4 peri kerakyatan dan 5 kesejahteraan rakyat. Saat menjelaskan peri kerakyatan ia merinci menjadi tiga hal: pertama permusyawaratan, kedua perwakilan dan tiga kebijaksanaan. Ia menjelaskan bahwa hikmah kebijaksanaan yang menjadi pemimpin kerakyatan Indonesia ialah rasionalisme yang sehat, karena telah melepaskan dari anarkhi, liberalisme dan semangat penjajahan.
Tokoh kemerdekaan yang kedua adalah Ki Bagoes Hadikoesoemo, berdasarkan pidatonya saat sidang BPUPKI 31 Mei 1945. Ia mengatakan bahwa segala kekacauan yang ada di masyarakat timbul dari jiwa yang kusut didorong oleh hawa nafsu manusia, lalu menimbulkan akhlak yang hina-nista serta kemauan jahat dan tamak-serakah, hendak menang sendiri, hendak enak sendiri, dan hendak kaya sendiri. Untuk itu yang harus diperbaiki oleh bangsa ini pertama kali adalah budi pekertinya, pada saat budi pekerti anggota masyarakatnya baik niscaya akan tercipta perbuatan dan kemajuan yang baik.
Ia menjelaskan agar timbul watak dan budi pekerti yang baik maka harus memiliki iman yang teguh, selalu menyirami kalbu dengan beribadah, beramal soleh dan berjihad di jalan Allah. Maka bila para pemimpin kita beriman, taat beribadah, beramal solih dan berjihad untuk kebenaran, InsyaAllah akan terwujud masyarakat yang sentosa, adil, makmur dan sejahtera.
Tokoh bangsa ketiga adalah Prof. Mr. Dr. Soepomo dalam pidatonya di sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945 menjelaskan bahwa negara nasional Indonesia adalah negara kesatuan yang memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur, memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Maka dari itu dasar negara Indonesia adalah memakai dasar moral yang luhur seperti yang dianjurkan juga dalam agama Islam. Maknanya pemimpin pemerintahan harus memiliki moral yang baik dan tunduk/bertakwa kepada Tuhan sebagai dasar dalam bernegara.
Tokoh keempat adalah Ir. Soekarno dalam sidang BPUPKI 1 Juni 1945 menjelaskan tentang philosophie grondslag atau Weltanschauung negara Indonesia, yaitu lima prinsip: kebangsaan Indonesia, internasioalisme/perikemanusiaan, mufakat/demokrasi, kesejahteraan sosial dan prinsip ketuhanan. Menurut Soekarno saat mengartikan demokrasi, wakil rakyat yang akan masuk dalam parlemen harus orang yang mampu mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat artinya harus mampu mewujudkan politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid serta harus memiliki sifat gotong royong.
Tokoh Bangsa kelima adalah Soekardjo Wirjopranoto disampaikan saat sidang BPUPKI tanggal 10 Juli 1945, saat membahas dasar negara, ia mengatakan yang terpenting bukan bentuk negaranya tetapi jiwa dari pada bentuk itu, yaitu pemimpinnya/kepala negaranya. karenanya dala jiwa pemimpin harus mewujud keadilan, kesucian, kesatuan yang dipilih dengan jalan musyawarah kemudian bergotong royong mensejahterakan rakyat.
Tokoh keenam adalah Sanoesi disampaikan saat sidang BPUPKI tanggal 10 Juli 1945, pandangannya tentang kriteria pemimpin adalah ia tidak boleh memikirkan diri sendiri atau kerabatnya atau keluarganya, tetapi yang dipikirkan adalah masyarakat umum. Pemimpin tidak tidak boleh masih terpengaruh oleh hawa nafsu keduniaan, jiwanya harus suci, karena saat ia masih tergoda nafsu dunia maka akan menyebabkan kerusakan, kebinasaan segala harta benda rakyat, bahkan jiwa rakyatpun diambil dan dimakannya.
Dari pandangan para tokoh pendiri bangsa di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa moral dan jiwa pemimpin sangat penting dalam menjalankan roda pemerintahan, tidak cukup hanya pintar secara keilmuan tetapi juga harus memiliki tingkat ketakwaan yang tinggi, itulah yang diharapkan oleh para pendiri bangsa bahwa kerakyatan yang dimpin oleh pemimpin yang hikmat dan bijaksana, memilki semangat gotong royong untuk mensejahterakan rakyat. Penulis oleh Mochammad Farisi, Dosen FH Unja & Direktur Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2023
Degradasi moral sudah semakin akut menjalar di negeri ini, "korea-korea" sudah tidak malu lagi menunjukkan watak asli oligarki, DPR sudah menjadi Dewan Perwakilan Partai, bukan lagi mewakili rakyat. Tikus berdasi mulai marak jelang Idul Fitri, lagi dan lagi seorang kepala daerah ditangkap (OTT) KPK melakukan tindak pidana korupsi. Terbaru di bulan Ramadan nan suci ada dua kepala daerah, Wali Kota Bandung dan Bupati Kepulauan Meranti.
Sebelumnya juga ada heboh OTT kasus proyek jalur kereta api di DJKA, dan juga drama Transaksi janggal ratusan trilyun dugaan pencucian uang di Kementerian Keuangan. Tak hanya itu akibat dari kasus Anak Rafaul Alun netizan "gercep" memonitor pejabat serta keluarganya yang suka flexing di medos, akibatnya banyak pejabat yang diperiksa dan keluarganya rame-rame menutup akun sosial medianya agar tidak menjadi incaran investigasi netizen.
Miris memang melihat perilaku para pejabatan negeri ini, bangsa ini sudah tercerabut dari nilai/falsafah yang dibangun saat pembentukan dasar negara Indonesia. Pancasila sebagai fudamental norm telah mengamanatkan bahwa rakyat Indonesia harus dipimpin oleh orang dan dengan cara yang hikmat kebijaksanaan. Bangsa Indonesia memiliki kearifan lokal yang tinggi dalam menentukan kriteria kepemimpinan, menurut Sila ke-4 bukan tokoh yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilu yang layak menjadi pemimpin bangsa ini tapi orang yang memiliki kualifikasi hikmat dan bijaksana yang mampu mewujudkan kesejahteraan. Pribadi tanpa hikmat kebijaksanaan tidak layak memimpin Indonesia, pimpinan tanpa hikmat kebijaksanaan hanya akan membawa bangsa ini ke kubang kesesatan.
Hakekat hukum tentang pemimpin yang ber-hikmat kebijaksanaan dapat ditelusuri dari kenyataan sosial yang mendalam (teori indikasi) yang dicetuskan oleh Carl von Savigny pelopor mahzab sejarah yang dikenal dengan istilah volkgeist (jiwa bangsa). Dalam konteks negara Indonesia maka hakekat pemimpin dapat ditelusuri menurut pendapat para pendiri bangsa dalam sidang BPUPKI.
Hakekat pemimpin yang hikmat kebijaksanaan dapat kita temukan dalam naskah pidato para founding father/pendiri bangsa saat menyampaikan pendapatnya mengenai dasar negara pada sidang BPUPKI bulan Mei-Juli 1945 yang terangkum dalam buku Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) & Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) Jakarta, 1998. Saya yakin tidak semua orang pernah membaca buku ini, maka di opini singkat ini semoga membuka mata hati bangsa ini untuk lebih bijak memilih pemimpin di pemilu 2024.
Beberapa tokoh yang akan saya jelaskan adalah; pertama Muh. Yamin, Ia menjelaskan bahwa dasar negara Indonesia: 1 peri kebangsaan, 2 peri kemanusiaan, 3 peri ketuhanan, 4 peri kerakyatan dan 5 kesejahteraan rakyat. Saat menjelaskan peri kerakyatan ia merinci menjadi tiga hal: pertama permusyawaratan, kedua perwakilan dan tiga kebijaksanaan. Ia menjelaskan bahwa hikmah kebijaksanaan yang menjadi pemimpin kerakyatan Indonesia ialah rasionalisme yang sehat, karena telah melepaskan dari anarkhi, liberalisme dan semangat penjajahan.
Tokoh kemerdekaan yang kedua adalah Ki Bagoes Hadikoesoemo, berdasarkan pidatonya saat sidang BPUPKI 31 Mei 1945. Ia mengatakan bahwa segala kekacauan yang ada di masyarakat timbul dari jiwa yang kusut didorong oleh hawa nafsu manusia, lalu menimbulkan akhlak yang hina-nista serta kemauan jahat dan tamak-serakah, hendak menang sendiri, hendak enak sendiri, dan hendak kaya sendiri. Untuk itu yang harus diperbaiki oleh bangsa ini pertama kali adalah budi pekertinya, pada saat budi pekerti anggota masyarakatnya baik niscaya akan tercipta perbuatan dan kemajuan yang baik.
Ia menjelaskan agar timbul watak dan budi pekerti yang baik maka harus memiliki iman yang teguh, selalu menyirami kalbu dengan beribadah, beramal soleh dan berjihad di jalan Allah. Maka bila para pemimpin kita beriman, taat beribadah, beramal solih dan berjihad untuk kebenaran, InsyaAllah akan terwujud masyarakat yang sentosa, adil, makmur dan sejahtera.
Tokoh bangsa ketiga adalah Prof. Mr. Dr. Soepomo dalam pidatonya di sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945 menjelaskan bahwa negara nasional Indonesia adalah negara kesatuan yang memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur, memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Maka dari itu dasar negara Indonesia adalah memakai dasar moral yang luhur seperti yang dianjurkan juga dalam agama Islam. Maknanya pemimpin pemerintahan harus memiliki moral yang baik dan tunduk/bertakwa kepada Tuhan sebagai dasar dalam bernegara.
Tokoh keempat adalah Ir. Soekarno dalam sidang BPUPKI 1 Juni 1945 menjelaskan tentang philosophie grondslag atau Weltanschauung negara Indonesia, yaitu lima prinsip: kebangsaan Indonesia, internasioalisme/perikemanusiaan, mufakat/demokrasi, kesejahteraan sosial dan prinsip ketuhanan. Menurut Soekarno saat mengartikan demokrasi, wakil rakyat yang akan masuk dalam parlemen harus orang yang mampu mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat artinya harus mampu mewujudkan politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid serta harus memiliki sifat gotong royong.
Tokoh Bangsa kelima adalah Soekardjo Wirjopranoto disampaikan saat sidang BPUPKI tanggal 10 Juli 1945, saat membahas dasar negara, ia mengatakan yang terpenting bukan bentuk negaranya tetapi jiwa dari pada bentuk itu, yaitu pemimpinnya/kepala negaranya. karenanya dala jiwa pemimpin harus mewujud keadilan, kesucian, kesatuan yang dipilih dengan jalan musyawarah kemudian bergotong royong mensejahterakan rakyat.
Tokoh keenam adalah Sanoesi disampaikan saat sidang BPUPKI tanggal 10 Juli 1945, pandangannya tentang kriteria pemimpin adalah ia tidak boleh memikirkan diri sendiri atau kerabatnya atau keluarganya, tetapi yang dipikirkan adalah masyarakat umum. Pemimpin tidak tidak boleh masih terpengaruh oleh hawa nafsu keduniaan, jiwanya harus suci, karena saat ia masih tergoda nafsu dunia maka akan menyebabkan kerusakan, kebinasaan segala harta benda rakyat, bahkan jiwa rakyatpun diambil dan dimakannya.
Dari pandangan para tokoh pendiri bangsa di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa moral dan jiwa pemimpin sangat penting dalam menjalankan roda pemerintahan, tidak cukup hanya pintar secara keilmuan tetapi juga harus memiliki tingkat ketakwaan yang tinggi, itulah yang diharapkan oleh para pendiri bangsa bahwa kerakyatan yang dimpin oleh pemimpin yang hikmat dan bijaksana, memilki semangat gotong royong untuk mensejahterakan rakyat. Penulis oleh Mochammad Farisi, Dosen FH Unja & Direktur Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2023