(Das Sollen) Demokrasi Indonesia seharusnya menunjukkan hubungan yang koheren dengan esensi cita hukum yang terkandung dalam staatfundamentalnorm, yaitu nilai-nilai Pancasila.Dimana demokrasi berbasis kerakyatan (bukan perseorangan dan/atau kelompok) tetapi permusyawaratan/perwakilan yang penuh hikmat kebijaksanaan yang disebut demokrasi deliberatif atau populer dengan istilah musyawarah, bukan musyawarah abal-abal (mufakat yg pura-pura dimusyawarahkan) namun musyawarah oleh orang-orang yang bermoral kebijaksanaan.
Namun (Das Sein) nya, jauh panggang dari api, sebagai rechtsstaat UUD pasal 6A, 22E dan UU otoda pemimpin dipilih secara langsung, yakni berfilosofi individualisme dan liberalisme yg dikembangkan J.Locke n T. Hobbes. Sama sekali tidak menampakkan ciri deliberatif/musyawarah mufakat dengan basis moral kebijaksanaan.
Maka tidak heran saat ini dalam praksis demokrasi kita terdistorsi ke arah politik biaya tinggi, kekerasan, konflik dan bahkan ke arah anarkhisme.
Mengapa kita justru meninggalkan volkgeits bangsa ini, sebuah nilai luhur yang telah dibuat oleh para founding fathers kita yang meletakkan semangat kebersamaan mendasarkan moral ketuhanan dan justru terjerumus dalam demokrasi semu ala barat liberalisme-individualisme yang tidak sepenuhnya cocok dengan jiwa bangsa Indonesia. Pada akhirnya demokrasi Pancasila hanya menjadi hiasan kaligrafi pada konstitusi.
Sebagai negara hukum material / welfare state, negara tidak boleh pasif tapi harus proaktif bertanggung jawab meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan hal itu tidak mungkin bisa terwujud bila calegnya dan pemerintahannya korup.
Ternyata tidak hanya anggaran yang defisit demokrasi kita pun saat ini juga defisit, jika manfaat yang diterima oleh masyarakat dengan (demokrasi transaksional) lebih rendah dibanding ongkos menggelar pesta demokrasi. Bahkan akhirnya pun APBN dan APBD juga harus dikeluarkan untuk menggaji politisi yang tidak mengerti tupoksi.
Tahapan pemilu tentu diawali dengan penetapan caleg, lantas bagaimana dengan penetapan bacaleg di internal parpol? Saya curiga juga tidak demokratis bahkan mungkin transaksional. Nampaknya episode pemilu 2024 ini makin banyak 'Petruk Dadi Ratu'
Sebagai akademisi kami hanya bisa mengedukasi melalui opini, harapan ada dipundak politisi yg harus mempraktekkan demokrasi berbasis moral agama, beradab dan mengutamakan kesejahteraan dan keharmonisan, bukan kebebasan model Leviathan.
Penulis adalah Dosen FH UNJA & Direktur Pusakademia Mochammad Farisi.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2023
Namun (Das Sein) nya, jauh panggang dari api, sebagai rechtsstaat UUD pasal 6A, 22E dan UU otoda pemimpin dipilih secara langsung, yakni berfilosofi individualisme dan liberalisme yg dikembangkan J.Locke n T. Hobbes. Sama sekali tidak menampakkan ciri deliberatif/musyawarah mufakat dengan basis moral kebijaksanaan.
Maka tidak heran saat ini dalam praksis demokrasi kita terdistorsi ke arah politik biaya tinggi, kekerasan, konflik dan bahkan ke arah anarkhisme.
Mengapa kita justru meninggalkan volkgeits bangsa ini, sebuah nilai luhur yang telah dibuat oleh para founding fathers kita yang meletakkan semangat kebersamaan mendasarkan moral ketuhanan dan justru terjerumus dalam demokrasi semu ala barat liberalisme-individualisme yang tidak sepenuhnya cocok dengan jiwa bangsa Indonesia. Pada akhirnya demokrasi Pancasila hanya menjadi hiasan kaligrafi pada konstitusi.
Sebagai negara hukum material / welfare state, negara tidak boleh pasif tapi harus proaktif bertanggung jawab meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan hal itu tidak mungkin bisa terwujud bila calegnya dan pemerintahannya korup.
Ternyata tidak hanya anggaran yang defisit demokrasi kita pun saat ini juga defisit, jika manfaat yang diterima oleh masyarakat dengan (demokrasi transaksional) lebih rendah dibanding ongkos menggelar pesta demokrasi. Bahkan akhirnya pun APBN dan APBD juga harus dikeluarkan untuk menggaji politisi yang tidak mengerti tupoksi.
Tahapan pemilu tentu diawali dengan penetapan caleg, lantas bagaimana dengan penetapan bacaleg di internal parpol? Saya curiga juga tidak demokratis bahkan mungkin transaksional. Nampaknya episode pemilu 2024 ini makin banyak 'Petruk Dadi Ratu'
Sebagai akademisi kami hanya bisa mengedukasi melalui opini, harapan ada dipundak politisi yg harus mempraktekkan demokrasi berbasis moral agama, beradab dan mengutamakan kesejahteraan dan keharmonisan, bukan kebebasan model Leviathan.
Penulis adalah Dosen FH UNJA & Direktur Pusakademia Mochammad Farisi.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2023