Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan solidaritas dan berempati kepada korban kasus dugaan asusila yang dilakukan oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy'ari.
"Karena dalam kasus kekerasan seksual, sebelum proses hukum dibuktikan dan lain sebagainya, hal pertama sesuai dengan prinsip yang ada di dalam Undang-Undang TPKS (Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) yang perlu kita pastikan adalah kita mendengarkan dan percaya pada korban," kata Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM Anis Hidayah dalam diskusi publik daring yang disaksikan dari Jakarta, Jumat.
Anis menjelaskan mendengarkan dan percaya pada korban merupakan hal utama yang perlu dilakukan saat ini, meskipun laporan dugaan asusila kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI dinilai sebagai bagian dari framing politik, dan lainnya.
Ia juga menyebut mendengarkan dan percaya dibutuhkan karena biasanya seorang korban tidak mudah untuk berbicara bahwa dirinya adalah korban kekerasan seksual.
"Di antara kita saya kira banyak yang pernah mengalami itu (kekerasan seksual) mungkin bisa bicara 10-20 tahun kemudian, sehingga tidak mudah bagi kita para perempuan yang mengalami itu kemudian bisa menyampaikan itu kepada publik. Apalagi berhadapan dengan dugaan pelakunya adalah orang yang punya kekuasaan," jelasnya.
Sebelumnya, Hasyim Asy'ari dilaporkan kepada DKPP pada Kamis (18/4) oleh Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum dan Pilihan Penyelesaian Sengketa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKBH-PPS FH UI) dan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK).
Kuasa Hukum korban Maria Dianita Prosperianti menjelaskan perbuatan Hasyim sebagai teradu termasuk dalam pelanggaran kode etik berdasarkan Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum.
Maria mengatakan bahwa dalam pelaporan kepada DKPP RI telah disampaikan sejumlah bukti yang menunjukkan pelanggaran kode etik oleh Hasyim. Ia menyebut Hasyim mementingkan kepentingan pribadi untuk memuaskan hasrat seksualnya.
"Sudah ada beberapa belasan bukti, ya, seperti screenshot (tangkapan layar) percakapan, foto, dan video, serta juga bukti-bukti. Tadi sudah saya jelaskan, bukti ini bisa menunjukkan benar-benar yang terstruktur, sistematis, dan aktif, dan di sini juga teradu juga memberikan manipulasi informasi serta juga menyebarkan informasi rahasia untuk menunjukkan kekuasaannya," jelasnya.
Ia juga mengatakan bahwa perbuatan yang dilakukan Hasyim kepada korban menunjukkan adanya perbuatan yang berulang. Oleh sebab itu, ia berharap DKPP RI tidak hanya memberikan peringatan keras untuk kasus yang melibatkan kliennya.
"Ada perkara yang serupa, tetapi mungkin sedikit berbeda terkait dengan yang dialami oleh wanita emas. Ini yang sudah juga dijatuhi sanksi peringatan keras terakhir. Jadi setelah ada putusan dari DKPP seharusnya memang target kami adalah sanksi yang diberikan tidak lagi peringatan lagi, tetapi adalah penghentian," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2024
"Karena dalam kasus kekerasan seksual, sebelum proses hukum dibuktikan dan lain sebagainya, hal pertama sesuai dengan prinsip yang ada di dalam Undang-Undang TPKS (Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) yang perlu kita pastikan adalah kita mendengarkan dan percaya pada korban," kata Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM Anis Hidayah dalam diskusi publik daring yang disaksikan dari Jakarta, Jumat.
Anis menjelaskan mendengarkan dan percaya pada korban merupakan hal utama yang perlu dilakukan saat ini, meskipun laporan dugaan asusila kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI dinilai sebagai bagian dari framing politik, dan lainnya.
Ia juga menyebut mendengarkan dan percaya dibutuhkan karena biasanya seorang korban tidak mudah untuk berbicara bahwa dirinya adalah korban kekerasan seksual.
"Di antara kita saya kira banyak yang pernah mengalami itu (kekerasan seksual) mungkin bisa bicara 10-20 tahun kemudian, sehingga tidak mudah bagi kita para perempuan yang mengalami itu kemudian bisa menyampaikan itu kepada publik. Apalagi berhadapan dengan dugaan pelakunya adalah orang yang punya kekuasaan," jelasnya.
Sebelumnya, Hasyim Asy'ari dilaporkan kepada DKPP pada Kamis (18/4) oleh Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum dan Pilihan Penyelesaian Sengketa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKBH-PPS FH UI) dan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK).
Kuasa Hukum korban Maria Dianita Prosperianti menjelaskan perbuatan Hasyim sebagai teradu termasuk dalam pelanggaran kode etik berdasarkan Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum.
Maria mengatakan bahwa dalam pelaporan kepada DKPP RI telah disampaikan sejumlah bukti yang menunjukkan pelanggaran kode etik oleh Hasyim. Ia menyebut Hasyim mementingkan kepentingan pribadi untuk memuaskan hasrat seksualnya.
"Sudah ada beberapa belasan bukti, ya, seperti screenshot (tangkapan layar) percakapan, foto, dan video, serta juga bukti-bukti. Tadi sudah saya jelaskan, bukti ini bisa menunjukkan benar-benar yang terstruktur, sistematis, dan aktif, dan di sini juga teradu juga memberikan manipulasi informasi serta juga menyebarkan informasi rahasia untuk menunjukkan kekuasaannya," jelasnya.
Ia juga mengatakan bahwa perbuatan yang dilakukan Hasyim kepada korban menunjukkan adanya perbuatan yang berulang. Oleh sebab itu, ia berharap DKPP RI tidak hanya memberikan peringatan keras untuk kasus yang melibatkan kliennya.
"Ada perkara yang serupa, tetapi mungkin sedikit berbeda terkait dengan yang dialami oleh wanita emas. Ini yang sudah juga dijatuhi sanksi peringatan keras terakhir. Jadi setelah ada putusan dari DKPP seharusnya memang target kami adalah sanksi yang diberikan tidak lagi peringatan lagi, tetapi adalah penghentian," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2024