Mantan Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin menyebut ada dua kemungkinan seseorang bisa berpaham ekstrem dalam beragama yakni memandang sesuatu secara berlebih-lebihan dan melampaui batas.
"Ada dua kemungkinan orang bisa menjadi ekstrem yaitu berlebih-lebihan dan melampaui batas. Ekstrem itu mengandung dua hal berlebih-lebihan dan melampaui batas," ujar Lukman Hakim dalam Webinar Pendekatan Multikultural dalam Bimbingan Keagamaan yang diinisiasi Ditjen Bimas Hindu Kemenag, Selasa.
Kepada para penyuluh agama yang hadir dalam diskusi, Lukman Hakim menjelaskan mengapa dua hal tersebut harus dihindari. Berlebih-lebihan pasti akan negatif, termasuk dalam sebuah kebaikan.
Ia mencontohkan konsep makan dan minum, apabila berlebih-lebihan makan akan berdampak buruk pada kesehatan dan juga lingkungan.
"Tentu semua kita tahu makan minum baik, menjaga stamina, menjaga metabolisme tubuh membangkitkan energi. Tapi kalau kita berlebih-lebihan menjadi tidak baik," kata dia.
Kemudian, kata dia, manusia tidak boleh melampaui batas karena segala sesuatu ada batasnya, kecuali Tuhan. Dalam konteks beragama, lanjut dia, manusia tidak boleh menyikapi teks-teks keagamaan yang tertuang dalam kitab suci hanya sebatas teks dan mengabaikan konteks.
Konteks berarti situasi atau kondisi yang melatarbelakangi suatu peristiwa yang memunculkan teks tersebut. Menurut dia, teks tidak mungkin muncul begitu saja, selalu ada konteks yang mengiringinya.
Maka ketika ada seseorang yang memahami teks-teks keagamaan dan hanya bertumpu pada teks semata dan tidak peduli dengan konteks, orang tersebut bisa mengingkari inti pokok dari ajaran agama.
"Dan ketika inti pokok dari ajaran agama diingkari maka ekstrem dia," kata Lukman Hakim.
Ia mengatakan seseorang juga tidak boleh terlalu bebas dalam menyikapi teks keagamaan. Kitab suci, tindakan dan ucapan dari orang suci atau pemuka agama itu disikapi begitu saja secara bebas tanpa batas, terlalu mendewakan nalar, akal pikiran, sehingga tercerabut dari teksnya itu sendiri.
"Pertama terlalu kaku karena bertumpu pada teks saja. Nah yang kedua terlalu longgar, terlalu bebas, dalam menginterpretasi teks-teks tersebut, sehingga tercerabut dari teks itu sendiri dan akhirnya mengingkari inti pokok ajaran agama itu sendiri," kata Lukman Hakim.
Menurut dia, peran moderasi agama menjadi benteng dalam menjaga agar seseorang tidak berpandangan ekstrem dalam mengamalkan ajaran agama. "Karena keragaman pemahaman beragama itu sunatullah, maka moderasi beragama ingin menjaga agar pelaksanaan ajaran dan amalan agama tidak berlebih-lebihan," kata dia.
Menurut dia, beragama adalah memahami ajaran-ajaran agama dan mengamalkan ajaran agama. Apa yang diimani harus manifestasi atau terwujud dalam bentuk amalan. Oleh karena itu amalan harus berbasis pada iman.
Lukman mengungkap moderasi beragama adalah proses yang tidak berakhir, agar cara beragama tidak berlebih-lebihan dan melampaui batas.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2024
"Ada dua kemungkinan orang bisa menjadi ekstrem yaitu berlebih-lebihan dan melampaui batas. Ekstrem itu mengandung dua hal berlebih-lebihan dan melampaui batas," ujar Lukman Hakim dalam Webinar Pendekatan Multikultural dalam Bimbingan Keagamaan yang diinisiasi Ditjen Bimas Hindu Kemenag, Selasa.
Kepada para penyuluh agama yang hadir dalam diskusi, Lukman Hakim menjelaskan mengapa dua hal tersebut harus dihindari. Berlebih-lebihan pasti akan negatif, termasuk dalam sebuah kebaikan.
Ia mencontohkan konsep makan dan minum, apabila berlebih-lebihan makan akan berdampak buruk pada kesehatan dan juga lingkungan.
"Tentu semua kita tahu makan minum baik, menjaga stamina, menjaga metabolisme tubuh membangkitkan energi. Tapi kalau kita berlebih-lebihan menjadi tidak baik," kata dia.
Kemudian, kata dia, manusia tidak boleh melampaui batas karena segala sesuatu ada batasnya, kecuali Tuhan. Dalam konteks beragama, lanjut dia, manusia tidak boleh menyikapi teks-teks keagamaan yang tertuang dalam kitab suci hanya sebatas teks dan mengabaikan konteks.
Konteks berarti situasi atau kondisi yang melatarbelakangi suatu peristiwa yang memunculkan teks tersebut. Menurut dia, teks tidak mungkin muncul begitu saja, selalu ada konteks yang mengiringinya.
Maka ketika ada seseorang yang memahami teks-teks keagamaan dan hanya bertumpu pada teks semata dan tidak peduli dengan konteks, orang tersebut bisa mengingkari inti pokok dari ajaran agama.
"Dan ketika inti pokok dari ajaran agama diingkari maka ekstrem dia," kata Lukman Hakim.
Ia mengatakan seseorang juga tidak boleh terlalu bebas dalam menyikapi teks keagamaan. Kitab suci, tindakan dan ucapan dari orang suci atau pemuka agama itu disikapi begitu saja secara bebas tanpa batas, terlalu mendewakan nalar, akal pikiran, sehingga tercerabut dari teksnya itu sendiri.
"Pertama terlalu kaku karena bertumpu pada teks saja. Nah yang kedua terlalu longgar, terlalu bebas, dalam menginterpretasi teks-teks tersebut, sehingga tercerabut dari teks itu sendiri dan akhirnya mengingkari inti pokok ajaran agama itu sendiri," kata Lukman Hakim.
Menurut dia, peran moderasi agama menjadi benteng dalam menjaga agar seseorang tidak berpandangan ekstrem dalam mengamalkan ajaran agama. "Karena keragaman pemahaman beragama itu sunatullah, maka moderasi beragama ingin menjaga agar pelaksanaan ajaran dan amalan agama tidak berlebih-lebihan," kata dia.
Menurut dia, beragama adalah memahami ajaran-ajaran agama dan mengamalkan ajaran agama. Apa yang diimani harus manifestasi atau terwujud dalam bentuk amalan. Oleh karena itu amalan harus berbasis pada iman.
Lukman mengungkap moderasi beragama adalah proses yang tidak berakhir, agar cara beragama tidak berlebih-lebihan dan melampaui batas.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2024