Pasukan Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa di Lebanon (United Nations Interim Force in Lebanon/UNIFIL) mendeteksi 1.557 insiden penembakan pada Minggu (13/10) di sepanjang Garis Biru perbatasan antara Israel dan Lebanon.
Dari jumlah tersebut, 1.441 di antaranya berasal dari sisi selatan Garis Biru yang sebagian besar menghantam daerah-daerah di Sektor Timur wilayah operasi UNIFIL, demikian disampaikan seorang juru bicara (jubir) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Senin (14/10).
Angka tersebut merupakan jumlah insiden harian tertinggi sejak 8 Oktober 2023, termasuk 116 kali penembakan dari sisi utara Garis Biru ke Israel, dengan serangan drone Hizbullah di dekat Haifa dilaporkan menewaskan empat tentara Pasukan Pertahanan Israel (Israel Defense Forces/IDF) dan melukai beberapa orang lainnya, kata Stephane Dujarric, Juru Bicara Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Antonio Guterres, dalam konferensi pers harian.
Dujarric mengatakan bahwa lebih dari 30 orang telah tewas di Lebanon selatan sejak 10 Oktober.
"UNIFIL terus menilai dan meninjau semua faktor untuk menentukan posisi serta kehadiran mereka. Misi ini mengambil semua langkah yang memungkinkan untuk menjamin perlindungan bagi pasukan penjaga perdamaiannya," ujar Dujarric.
Menyebutkan bahwa peran dan kehadiran UNIFIL di Lebanon selatan merupakan mandat dari Dewan Keamanan PBB, jubir itu menegaskan bahwa misi tersebut berkomitmen untuk mempertahankan kapasitasnya dalam mendukung solusi diplomatik berdasarkan resolusi Dewan Keamanan 1701, yang merupakan satu-satunya jalan ke depan.
Menurut Dujarric, UNIFIL melaporkan bahwa sejak 1 Oktober lalu, posisi mereka telah terdampak serangan dalam 20 kesempatan berbeda, termasuk oleh tembakan langsung. Pada satu kesempatan, dua tank IDF bahkan merangsek masuk ke area mereka. Lima personel penjaga perdamaian dilaporkan terluka akibat insiden-insiden ini, termasuk satu personel yang mengalami luka tembak.
Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh Dujarric pada Minggu, sekjen PBB menegaskan kembali bahwa personel UNIFIL dan pos mereka tidak boleh menjadi sasaran, dan serangan terhadap pasukan penjaga perdamaian merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional, termasuk hukum kemanusiaan internasional.
"Sekjen meminta semua pihak, termasuk IDF, untuk menahan diri dari segala tindakan yang dapat membahayakan keselamatan pasukan penjaga perdamaian kami," katanya.
Sementara itu, Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) menyebut bahwa Lebanon saat ini berada di "tengah krisis kemanusiaan yang paling dahsyat dalam satu generasi."
Sejauh ini, lebih dari 2.200 kematian dan lebih dari 10.000 orang yang mengalami luka-luka telah dilaporkan oleh pihak berwenang Lebanon. OCHA menyebut bahwa lebih dari 1 juta orang terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka dan mengungsi baik di dalam negeri maupun ke negara-negara lain. Jumlah pengungsi ini diperkirakan akan terus bertambah seiring berlanjutnya konflik.
Kantor tersebut juga menambahkan bahwa fasilitas-fasilitas kesehatan telah menanggung dampak yang signifikan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut dari 207 pusat layanan kesehatan primer yang ada di wilayah konflik, 100 di antaranya sudah tidak lagi berfungsi, dan lima rumah sakit terpaksa ditutup karena kerusakan struktural akibat serangan yang terus berlanjut. Selain itu, akibat konflik ini, 94 tenaga kesehatan dilaporkan tewas saat bertugas.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2024
Dari jumlah tersebut, 1.441 di antaranya berasal dari sisi selatan Garis Biru yang sebagian besar menghantam daerah-daerah di Sektor Timur wilayah operasi UNIFIL, demikian disampaikan seorang juru bicara (jubir) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Senin (14/10).
Angka tersebut merupakan jumlah insiden harian tertinggi sejak 8 Oktober 2023, termasuk 116 kali penembakan dari sisi utara Garis Biru ke Israel, dengan serangan drone Hizbullah di dekat Haifa dilaporkan menewaskan empat tentara Pasukan Pertahanan Israel (Israel Defense Forces/IDF) dan melukai beberapa orang lainnya, kata Stephane Dujarric, Juru Bicara Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Antonio Guterres, dalam konferensi pers harian.
Dujarric mengatakan bahwa lebih dari 30 orang telah tewas di Lebanon selatan sejak 10 Oktober.
"UNIFIL terus menilai dan meninjau semua faktor untuk menentukan posisi serta kehadiran mereka. Misi ini mengambil semua langkah yang memungkinkan untuk menjamin perlindungan bagi pasukan penjaga perdamaiannya," ujar Dujarric.
Menyebutkan bahwa peran dan kehadiran UNIFIL di Lebanon selatan merupakan mandat dari Dewan Keamanan PBB, jubir itu menegaskan bahwa misi tersebut berkomitmen untuk mempertahankan kapasitasnya dalam mendukung solusi diplomatik berdasarkan resolusi Dewan Keamanan 1701, yang merupakan satu-satunya jalan ke depan.
Menurut Dujarric, UNIFIL melaporkan bahwa sejak 1 Oktober lalu, posisi mereka telah terdampak serangan dalam 20 kesempatan berbeda, termasuk oleh tembakan langsung. Pada satu kesempatan, dua tank IDF bahkan merangsek masuk ke area mereka. Lima personel penjaga perdamaian dilaporkan terluka akibat insiden-insiden ini, termasuk satu personel yang mengalami luka tembak.
Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh Dujarric pada Minggu, sekjen PBB menegaskan kembali bahwa personel UNIFIL dan pos mereka tidak boleh menjadi sasaran, dan serangan terhadap pasukan penjaga perdamaian merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional, termasuk hukum kemanusiaan internasional.
"Sekjen meminta semua pihak, termasuk IDF, untuk menahan diri dari segala tindakan yang dapat membahayakan keselamatan pasukan penjaga perdamaian kami," katanya.
Sementara itu, Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) menyebut bahwa Lebanon saat ini berada di "tengah krisis kemanusiaan yang paling dahsyat dalam satu generasi."
Sejauh ini, lebih dari 2.200 kematian dan lebih dari 10.000 orang yang mengalami luka-luka telah dilaporkan oleh pihak berwenang Lebanon. OCHA menyebut bahwa lebih dari 1 juta orang terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka dan mengungsi baik di dalam negeri maupun ke negara-negara lain. Jumlah pengungsi ini diperkirakan akan terus bertambah seiring berlanjutnya konflik.
Kantor tersebut juga menambahkan bahwa fasilitas-fasilitas kesehatan telah menanggung dampak yang signifikan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut dari 207 pusat layanan kesehatan primer yang ada di wilayah konflik, 100 di antaranya sudah tidak lagi berfungsi, dan lima rumah sakit terpaksa ditutup karena kerusakan struktural akibat serangan yang terus berlanjut. Selain itu, akibat konflik ini, 94 tenaga kesehatan dilaporkan tewas saat bertugas.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2024