Saeda Abdallah (30) menggendong anaknya dengan erat dan lembut, membungkus tubuhnya yang kurus dengan selimut tua untuk melindunginya dari embun beku bulan November yang telah sampai di tempat penampungan keluarga-keluarga pengungsi di daerah pegunungan di Lebanon timur.
Di sebuah ruangan di lantai satu Sekolah Negeri Joub Jannine, yang telah diubah menjadi tempat penampungan bagi para pengungsi Lebanon setelah konflik antara Israel dan Hizbullah menjadi semakin intens, Saeda terlihat sedih dan pucat.
Dia khawatir perihal musim dingin yang akan berlangsung selama lima bulan ke depan dan dampaknya terhadap bayinya.
"Saat ini telah memasuki musim dingin dan kami kekurangan pasokan untuk melindungi diri dari udara dingin dan badai," ungkapnya kepada Xinhua.
"Hujan pertama yang melanda Lebanon beberapa hari lalu merupakan salah satu bencana yang menanti kami, termasuk badai yang lebih kuat dan salju lebat," tutur Saeda kepada Xinhua.
"Ketika musim hujan tiba bersamaan dengan operasi militer Israel, kami merasa kedinginan dan ketakutan, tidak dapat membedakan antara guntur badai dan gemuruh peluru," ujarnya.
Sejak 23 September, tentara Israel terus melancarkan serangan udara intensif ke Lebanon dalam eskalasi yang berbahaya dengan Hizbullah, memaksa ratusan ribu warga Lebanon meninggalkan rumah mereka untuk mencari tempat berlindung yang lebih aman.
"Aula sekolah itu cukup luas, dan saat malam tiba, rasanya seperti tidur di ruang terbuka karena cuaca begitu dingin," kata Salma Awad, seorang ibu rumah tangga dari kota perbatasan Lebanon Kfar Kila yang mengungsi ke bangunan sekolah yang sama, kepada Xinhua sembari mencuci pakaian anak-anaknya dengan air dingin menggunakan sebuah pot plastik.
Dia menuturkan bahwa matras dan selimut yang didistribusikan sangat tipis, lebih cocok untuk musim panas, dan tidak memberikan banyak perlindungan dari udara musim dingin, dengan suhu di kawasan pegunungan terkadang bisa turun hingga di bawah nol derajat.
"Ketika meninggalkan rumah, kami tidak sempat untuk mengemas barang-barang yang kami butuhkan," katanya, seraya menambahkan bahwa lembaga-lembaga donor sejauh ini belum dapat memenuhi kebutuhan para pengungsi, terutama untuk alat pemanas, diesel, air panas, listrik, peralatan dapur, dan material pembersih.
Menteri Lingkungan Hidup Lebanon Nasser Yassin mengatakan kepada Xinhua bahwa jumlah orang yang mengungsi semakin bertambah hampir setiap hari, melebihi 1,3 juta orang dalam sensus terbaru.
Menurut kementerian tersebut, sebanyak 1.151 tempat penampungan bagi para pengungsi telah dibuka di ibu kota Beirut dan banyak wilayah lainnya di Lebanon, dengan 948 tempat penampungan telah mencapai kapasitas maksimum.
Berbagai upaya sedang dilakukan untuk membuka tempat penampungan baru guna mengakomodasi para pengungsi.
"Kami juga sedang menghubungi organisasi-organisasi kemanusiaan untuk mendapatkan pasokan pemanas," ujar seorang pejabat kementerian.
Sementara itu, Kementerian Energi dan Air Lebanon memperkirakan bahwa dana sebesar 19,5 juta dolar AS akan dibutuhkan untuk membeli bahan bakar yang dibutuhkan selama empat bulan untuk pemanas, produksi listrik, dan pemompaan air di tempat-tempat penampungan pengungsi.
Oleh karena itu, kabinet Lebanon setuju untuk mengalokasikan 1 triliun pound Lebanon atau sekitar 11 juta dolar AS, setara dengan 57 persen dari jumlah yang dibutuhkan.
Di halaman pusat penampungan di Kota Joub Jannine, Lebanon, Jamal Yahya (10), bermain bola basket beberapa jam sehari untuk melawan hawa dingin.
"Kami meninggalkan rumah dengan terburu-buru dengan mengenakan pakaian musim panas. Kami membutuhkan pemanas, pakaian musim dingin, dan selimut berbahan wol untuk melindungi diri dari udara dingin yang menusuk di tengah cuaca ini," sebut Yahya.
Gubernur Nabatieh Houida Al-Turk menyerukan kepada semua pengungsi untuk mendaftarkan nama mereka di situs web yang dioperasikan oleh Kementerian Dalam Negeri dan Perkotaan Lebanon agar dapat menerima bantuan selama musim dingin.
"Terjadi krisis yang parah untuk banyak barang kebutuhan mendesak para pengungsi, terutama pasokan pemanas, pakaian musim dingin, sepatu, matras, selimut tebal, dan obat-obatan," ujar Aline Hammoud, seorang penyelia di sebuah asosiasi donor..
Agar dapat memberikan perawatan medis bagi sejumlah besar orang di tempat penampungan, terutama mereka yang mengalami trauma psikologis akibat konflik, Hammoud kembali menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk merekrut terapis psikologis.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2024
Di sebuah ruangan di lantai satu Sekolah Negeri Joub Jannine, yang telah diubah menjadi tempat penampungan bagi para pengungsi Lebanon setelah konflik antara Israel dan Hizbullah menjadi semakin intens, Saeda terlihat sedih dan pucat.
Dia khawatir perihal musim dingin yang akan berlangsung selama lima bulan ke depan dan dampaknya terhadap bayinya.
"Saat ini telah memasuki musim dingin dan kami kekurangan pasokan untuk melindungi diri dari udara dingin dan badai," ungkapnya kepada Xinhua.
"Hujan pertama yang melanda Lebanon beberapa hari lalu merupakan salah satu bencana yang menanti kami, termasuk badai yang lebih kuat dan salju lebat," tutur Saeda kepada Xinhua.
"Ketika musim hujan tiba bersamaan dengan operasi militer Israel, kami merasa kedinginan dan ketakutan, tidak dapat membedakan antara guntur badai dan gemuruh peluru," ujarnya.
Sejak 23 September, tentara Israel terus melancarkan serangan udara intensif ke Lebanon dalam eskalasi yang berbahaya dengan Hizbullah, memaksa ratusan ribu warga Lebanon meninggalkan rumah mereka untuk mencari tempat berlindung yang lebih aman.
"Aula sekolah itu cukup luas, dan saat malam tiba, rasanya seperti tidur di ruang terbuka karena cuaca begitu dingin," kata Salma Awad, seorang ibu rumah tangga dari kota perbatasan Lebanon Kfar Kila yang mengungsi ke bangunan sekolah yang sama, kepada Xinhua sembari mencuci pakaian anak-anaknya dengan air dingin menggunakan sebuah pot plastik.
Dia menuturkan bahwa matras dan selimut yang didistribusikan sangat tipis, lebih cocok untuk musim panas, dan tidak memberikan banyak perlindungan dari udara musim dingin, dengan suhu di kawasan pegunungan terkadang bisa turun hingga di bawah nol derajat.
"Ketika meninggalkan rumah, kami tidak sempat untuk mengemas barang-barang yang kami butuhkan," katanya, seraya menambahkan bahwa lembaga-lembaga donor sejauh ini belum dapat memenuhi kebutuhan para pengungsi, terutama untuk alat pemanas, diesel, air panas, listrik, peralatan dapur, dan material pembersih.
Menteri Lingkungan Hidup Lebanon Nasser Yassin mengatakan kepada Xinhua bahwa jumlah orang yang mengungsi semakin bertambah hampir setiap hari, melebihi 1,3 juta orang dalam sensus terbaru.
Menurut kementerian tersebut, sebanyak 1.151 tempat penampungan bagi para pengungsi telah dibuka di ibu kota Beirut dan banyak wilayah lainnya di Lebanon, dengan 948 tempat penampungan telah mencapai kapasitas maksimum.
Berbagai upaya sedang dilakukan untuk membuka tempat penampungan baru guna mengakomodasi para pengungsi.
"Kami juga sedang menghubungi organisasi-organisasi kemanusiaan untuk mendapatkan pasokan pemanas," ujar seorang pejabat kementerian.
Sementara itu, Kementerian Energi dan Air Lebanon memperkirakan bahwa dana sebesar 19,5 juta dolar AS akan dibutuhkan untuk membeli bahan bakar yang dibutuhkan selama empat bulan untuk pemanas, produksi listrik, dan pemompaan air di tempat-tempat penampungan pengungsi.
Oleh karena itu, kabinet Lebanon setuju untuk mengalokasikan 1 triliun pound Lebanon atau sekitar 11 juta dolar AS, setara dengan 57 persen dari jumlah yang dibutuhkan.
Di halaman pusat penampungan di Kota Joub Jannine, Lebanon, Jamal Yahya (10), bermain bola basket beberapa jam sehari untuk melawan hawa dingin.
"Kami meninggalkan rumah dengan terburu-buru dengan mengenakan pakaian musim panas. Kami membutuhkan pemanas, pakaian musim dingin, dan selimut berbahan wol untuk melindungi diri dari udara dingin yang menusuk di tengah cuaca ini," sebut Yahya.
Gubernur Nabatieh Houida Al-Turk menyerukan kepada semua pengungsi untuk mendaftarkan nama mereka di situs web yang dioperasikan oleh Kementerian Dalam Negeri dan Perkotaan Lebanon agar dapat menerima bantuan selama musim dingin.
"Terjadi krisis yang parah untuk banyak barang kebutuhan mendesak para pengungsi, terutama pasokan pemanas, pakaian musim dingin, sepatu, matras, selimut tebal, dan obat-obatan," ujar Aline Hammoud, seorang penyelia di sebuah asosiasi donor..
Agar dapat memberikan perawatan medis bagi sejumlah besar orang di tempat penampungan, terutama mereka yang mengalami trauma psikologis akibat konflik, Hammoud kembali menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk merekrut terapis psikologis.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2024