Jambi (ANTARA Jambi) - Mungkin sebagian warga Jambi belum banyak tahu adanya Hutan Desa Lubuk Beringin di Kecamatan Bathin III, Kabupaten Bungo, Jambi.

Hutan Desa ini merupakan hutan desa pertama yang resmi disahkan pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan pada 2009 yang pada saat itu dijabat oleh MS Kaban.

Hal ini bisa jadi karena minimnya sosialisasi dari pemerintah daerah akan pentingnya hutan desa yang telah diamanatkan UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan Permenhut P.49/2008 Tentang Hutan Desa.

UU itu intinya terkait pemberian hak pengelolaan hutan untuk kesejahteraan masyarakat desa dengan jangka waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang.

Cerita ironi hutan desa pertama di Indonesia dimulai ketika hutan Desa Lubuk Beringin justru lebih banyak dikenal masyarakat dari luar Jambi, bahkan mancanegara.

Hal ini diakui oleh Ketua Kelompok Pengelola Hutan Desa (KPHD) Lubuk Beringin Muklis.

"Sudah puluhan, bahkan ratusan kali ada kelompok masyarakat, petani, mahasiswa, akademisi maupun orang asing datang mengunjungi desa kami untuk melihat langsung hutan Desa Lubuk Beringin," ujarnya saat menjawab pertanyaan rombongan wartawan yang difasilitasi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Jambi belum lama ini.

Desa Lubuk Beringin merupakan dusun kecil di Kabupaten Bungo yang berada di kawasan ekosistem hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba). Dusun ini hanya didiami sekitar 331 jiwa atau sekitar 86 KK.

Meski sudah bisa disebut mendunia, kondisi Desa Lubuk Beringin masih sama, layaknya desa desa terpencil lainnya yang ada di Jambi.

Dengan jarak sekitar 65 Km dari ibukota Kabupaten Bungo, Muarabungo atau 175 Km dari Kota Jambi, tak banyak terlihat kemajuan di desa yang terkenal dengan aturan lubuk larangannya ini.

Kondisi aspal jalan yang berkerikil, rumah-rumah asli Jambi yang berpanggung setinggi dua meter lebih hingga jembatan gantung berkarat serta lingkaran-lingkaran kincir air tua rusak pada anak anak sungai melukiskan tak banyak pembangunan di desa ini.

Memang menjadi gambaran ironi bagi program pemerintah nasional yang ini mensejahterakan rakyatnya melalui pola Hutan Kemasyarakatan (HKM) dengan skema pengelolaan hutan desa (HD)di Indonesia.

"Kami berkali-kali sejak lama telah mengusulkan pembangunan jalan dan khususnya jaringan listrik. Namun, belum juga terealisasi sampai saat ini," ujar Rio atau Kepala Desa Lubuk Beringin Hadirin.

Menurut dia, pengelolaan hutan Desa Lubuk Beringin seluas 2.356 hektare sudah melalui perencanaan sebagaimana mengacu pada aturan oleh Kementrian Kehutanan.

Intinya, melalui rapat pengurus desa, dengan disetujui oleh Rio dan Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD), setiap tahun diajukan draft rencana tahunan hutan desa (RTHD) yang kemudian diusulkan untuk disetujui bupati hingga gubernur.

"Dalam usulan ini, intinya kami ingin adanya perhatian lebih dari pemerintah. Mengingat hutan Desa Lubuk Beringin awalnya diproyeksikan sebagai kawasan percontohan di Indonesia. Sejalan dengan cita-cita kami warga Lubuk Beringin mewujudkan visi misi desa konservasi yang mandiri," ujar Ketua BPD Lubuk Beringin Damsir.

   
                           Hak kelola 
Damsir menceritakan, sejak diserahkan hak kelola kepada warga Desa Lubuk Beringin tiga tahun lalu, praktis belum ada perhatian penuh dari pemerintah baik Pemkab Bungo maupun Pemprov Jambi.

"Meski pengelolaannya ada kepada masyarakat, kami perlu dukungan penuh dari pemerintah. Ini juga demi mempromosikan dan kemajuan potensi daerah di Jambi kepada masyarakat luas tentang bagaimana pengelolaan hutan yang baik," jelasnya.

Praktis selama ini pengelolaan hutan oleh warga Lubuk Beringin hanya didampingi beberapa organisasi pemerhati lingkungan yang ada di Jambi.

Pendampingan itu tidak hanya sebatas pengelolaan hutan, namun juga pengelolaan sumber ekonomi di desa itu. Salah satunya adalah upaya menjual hasil produksi karet warga kepada perusahaan ternama "Bridgestone" yang ada di Medan, Provinsi Sumatra Utara.

Begitu juga mencapai misi desa mandiri energi dengan memanfaatkan pembangunan pembangkit listrik tenaga kincir air (PLTKA).

Hanya saja, kembali pada minimnya dukungan dari pemerintah, khususnya menyangkut biaya, menyebabkan tujuh PLTKA di Desa Lubuk Beringin lima di antaranya terbengkalai.

"Hal inilah yang ingin kami harapkan adanya dukungan jelas dari pemerintah. Memang ada beberapa bantuan baik PLTKA namun pembangunanya terkesan asal asalan sehingga tidak maksimal dan bahkan tidak bisa dimanfaatkan warga," ujar Damris lagi.

Koordinator KKI Warsi Jambi Desrizal Alira mengatakan, tujuan pokok diterbitkannya pengelolaan hutan desa adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan sumber daya hutan tanpa merusak ekosistem yang ada.

Cara ini dinilai lebih cocok untuk dikembangkan khususnya pada kelestarian hutan dibanding pengelolaannya diberikan kepada perusahaan yang cenderung berdampak negatif baik pada sistem ekologi maupun dampak sosialnya.

"Hutan desa ini bisa dibilang juga sebagai penyeimbang dari berbagai perizinan hak pengelolaan hutan yang diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan," ujarnya.

Sekitar 33 ribu desa di Indonesia berada di dalam kawasan hutan, namun kesejahteraan masyarakat di kawasan hutan seolah tidak diakui dan terkebiri oleh izin izin pengelolaan hutan yang diberikan kepada perusahaan baik hutan tanaman industri (HTI) maupun perkebunan.

Hutan Desa Lubuk Beringin, kata dia, berada pada satu-satunya kawasan ekosistem Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba) seluas 109 ribu hektare yang juga satu-satunya kawasan penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di Jambi.

Hanya saja, keasrian ekosistem Bujang Raba juga mulai terganggu dengan adanya izin pembukaan kawasan perkebunan seluas kurang lebih 24 ribu hektare. Belum lagi ada sejumlah perusahaan yang juga tengah mengurus perizinan pembukaan lahan dikawasan itu.

Ekosistem Bujang Raba juga dinilai sangat cocok sebagai sarana mitigasi perubahan iklim.

Sementara itu, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bungo Dedi Irawan membantah apabila hutan Desa Lubuk Beringin kurang perhatian dari pemerintah.

"Tidak benar itu, pemerintah telah berupaya menganggarkan untuk kesejahtaan masyarakat sekitar melalui program peningkatan ekonomi di bidang pertanian dan perikanan," ujarnya.

Pemkab Bungo juga tengah berupaya memperbaiki jalan menuju Desa Lubuk Beringin. Hanya saja, Dedi tidak menyebutkan berapa anggaran dan panjang jalan yang akan diperbaiki itu.

Pemkab Bungo juga mengalokasikan Rp100 juta untuk peningkatan infrstruktur kecil di Desa Lubuk Beringin.

"Kami juga tengah mempersiapkan diri sebagai salah satu tuan rumah Perkemahan Putri Nasional yang juga akan diselenggarakan di kawasan Hutan Desa Lubuk Beringin. Untuk fasilitas listrik itu bukan wewenang pemerintah Bungo, namun ada pada PLN langsung," tambahnya.

Pengakuan sebagai hutan desa pertama di Indonesia, patut disandang oleh Hutan Desa Lubuk Beringin, dimana pengelolaannya berbasis pada kearifan masyarakat lokal di daerah itu.

Berbagai macam pantangan dikukuhkan dalam bentuk peraturan desa (Perdes). Salah satunya adanya lubuk larangan yang kemudian berkembang menjadi sungai larangan.

Setiap warga, siapapun dilarang mengambil ikan atau bahkan merusak kawasan sungai. Mengambil ikan di lubuk atau di sungai hanya diperbolehkan pada waktu tertentu yakni menjelang Hari Raya Idul Fitri.

Begitu juga dengan pengelolaan sumber daya alam di hutan desa. Seorang warga yang kedapatan mencuri kayu di hutan desa akan dikenakan sanksi oleh warga desa baik dalam bentuk denda maupun secara hubungan sosial.

Berbagai flora fauna dilindungi juga masih banyak terdapat di hutan desa ini. Bahkan belum lama ini, seekor harimau Sumatera pernah tertangkap kamera "trap" di kawasan itu.(Ant)

Pewarta: Oleh : Bangun Santoso

Editor : Edy Supriyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2012