Jakarta (ANTARA Jambi) - Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama (Kemenag) mengungkap bahwa perkawinan di bawah umur masih tinggi dan hal itu perlu disikapi dan ditindak lanjuti dengan serius.

Badan Litbang dan Diklat Kemenag mencatat bahwa perkawinan di bawah usia pada 2010-2012 di Kabupaten Indramayu sebanyak 825 perkawinan, Kabupaten Malang 474 perkawinan dan Nusa Tenggara Barat (NTB) sebanyak 44 perkawinan.

Sementara perkawinan yang tidak tercatat pada tahun yang sama, untuk provinsi NTB sebayak 4.511, Kabupaten Bangkalan 1.156 perkawinan, Indramayu (1.144), Malang (756), Tangerang (300) dan Cianjur (192).

Angka-angka tersebut terungkap ketika Badan Litbang dan Diklat Kemenag menggelar pertemuan dengan Menteri Agama Suryadharma Ali di Jakarta, Selasa.

Hadir seluruh eselon I, para Dirjen: Dirjen Bimas Islam, Buddha, Hindu, Kristen, Katolik, Penyelenggara Haji dan Umroh. Nampak pula Sekjen Kemenag Bahrul Hayat dan para undangan lainnya.

Dalam paparannya yang dipimpin Plt Badan Litbang dan Diklat Prof Mahasim tersebut, terungkap permasalahan mengenai perkawinan dibawah umur, problematika yang dihadapi oleh pasangan kedua jenis perkawinan tersebut. Penyebab dan terjadinya perkawinan di bawah usia.

Diungkap bagaimana pula respon masyarakat, ulama dan pemerintah terhadap perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat. Lantas, apa pula yang dilakukan dalam menanggulangi terjadinya dua bentuk perkawinan tersebut di kalangan masyarakat.

Menurut peneliti dari Badan Litbang dan Diklat Kemenag Prof Abdurahman Masud, penelitian tersebut dilakukan di Kabupaten Tangerang (Banten), Indramayu , Cianjur (Jabar), Brebes (Jateng), Yogyakarta, Bangkalan, Malang (Jatim), Lombok Tengah (NTB), dan Kabupaten Balangan (Kaltim).

Penelitian pada 2010-2012, dilakukan dengan metode kualitatif, sifat diskriftif. Pasangan perkawinan di bawah umur memaknai perkawinan sebagai pilihan terbaik untuk membantu orangtua, menghindari zina akibat bebasnya pergaulan, penyalahgunaan dari kemajuan teknologi.

Ditemukan pula, pasangan perkawinan tidak tercatat memaknai perkawinan sebagai urusan agama dan cukup dinikahkan oleh kiai atau ulama. Tidak perlu dicatatkan. Dalam penelitian itu pula ditemukan problem yang dirasakan bagi perkawinan di bawah umur adalah ketika melahirkan untuk pertama kalinya.

Sedangkan bagi pasangan nikah tidak tercatat, mempelai puteri sulit bersosialisasi karena dianggap isteri simpanan.

Masud dalam paparannya menyebut bahwa penyebab terjadinya pernikahan di bawah umur akibat rendahnya pendidikan, belum cukup umur sudah bekerja, mengurangi beban keluarga.  Penyebab lainnya, terjadinya pernikahan tidak tercatat, beranggapan nikah sudah sah jika dilakukan oleh kiai atau ulama. Tidak lengkapnya syarat administratif pasangan.

Dari kasus tersebut ditemui respon masyarakat, ulama dan pemerintah terhadap kedua bentuk pernikahan itu. Pernikahannya sah selama rukun dan syaratnya yang ditetapkan oleh agama terpenuhi. Kemudharatan yang diakibatkan kedua jenis perkawinan itu perlu diminimalisasi.

Hal lain, belum banyak upaya sistematis untuk meminimalisasi dua jenis pernikahan tersebut. Penyuluhan agama belum banyak dilakukan.

Untuk itulah, ia merekomendasikan agar ke depan pemerintah, tokoh agama meningkatkan perannya dalam memberikan penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya perkawinan dicatatkan dan bahaya yang diakibatkan dari pernikahan di bawah umur.

Pemda, tokoh agama dan tokoh masyarakat perlu melakukan sosialisasi intensif kepada masyarakat, khususnya orangtua, terkait upaya pentingnya pendidikan bagi anak usia sekolah.

Kemenag, perlu kerja sama dengan pengadilan agama agar mengintensifkan program Isbat, antara lain dengan memperbanyak sidang isbat nikah keliling dan memperbanyak informasi dan sosialisasinya di masyarakat.

Masud tak mengungkap apakah masih rendahnya mencatatkan nikah tersebut terkait dengan mahalnya nikah untuk mendatangkan penghulu. Atau ada faktor lain.  Yang jelas, datanya demikian di lapangan.(Ant)

Pewarta:

Editor : Nurul


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2013