Jambi (ANTARA Jambi) - Selama dua bulan ini telah ditemukan dua ekor gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus) yang mati di sekitar Sungai Sisip, Desa Teluk Kayu Putih, Kecamatan Tuju Koto, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi.

Gajah kedua yang mati merupakan gajah remaja betina yang ditemukan ketika Tim Mitigasi Konflik Gajah Frankfurt Zoological Society (FZC) melakukan penghalauan kelompok gajah bersama masyarakat pada Rabu (11/9) di sekitar Sungai Sisip.

Siaran pers FZC yang diterima Antara Jambi, Kamis menyebutkan, ketika ditemukan gajah itu diperkirakan telah satu minggu mati dan penyebab kematiannya masih belum diketahui. Sementara gajah pertama yang mati ditemukan dengan jarak tujuh Km dari lokasi kematian gajah yang kedua.

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi bersama Kepolisian Sektor Tuju Koto sedang melakukan proses investigasi untuk mengetahui penyebab kematiannya.
    
Ketika ditemukan pada Agustus lalu, bangkai yang tersisa dari gajah pertama hanya sebagian tulangnya. Diperkirakan gajah telah satu bulan mati dan sebagian tulangnya diambil oleh oknum masyarakat.  Saat ini proses penyidikan pada pelaku pengambil tulang masih dilakukan oleh BKSDA Jambi.

Krismanko Padang, Koordinator Polisi Hutan BKSDA Jambi menyebutkan, kedua gajah yang mati merupakan kelompok gajah yang biasanya hidup di seberang Sungai Sisip di kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI) milik PT Tebo Multi Agro.

Namun sejak sepekan terakhir gajah berada di seberang sungai, di sekitar kebun karet dan kelapa sawit milik masyarakat. Kawasan di seberang Sungai Sisip sebenarnya adalah kawasan HTI milik PT Arangan Hutan Lestari yang diambil alih oleh masyarakat.

Aktivitas gajah di daerah perkebunan masyarakat memang cukup rutin terjadi setiap tahunnya. Gajah biasanya menyeberang ke perkebunan masyarakat setahun sekali dan tinggal di sekitar kebun selama seminggu.

PT TMA merupakan penyuplai kayu untuk Asia Pulp and Paper (APP), perusahaan kertas milik Sinar Mas. Diperkirakan jika proses panen hutan akasia milik PT TMA pada tahun depan dilakukan secara besar-besaran dan tidak mempertimbangkan habitat gajah, kelompok gajah tersebut akan mendatangi kawasan perkebunan masyarakat untuk mencari makan.

"Ketika gajah yang hidup di kawasan TMA terganggu karena aktivitas pembukaan lahan, gajah akan mencari lokasi yang lebih aman dan mungkin akan datang lagi ke perkebunan masyarakat," kata Krismanko.

Kawanan gajah tersebut, layaknya gajah Sumatera lain di sekitar lanskap Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) memang hidup di luar kawasan dilindungi, seperti di kawasan hutan produksi.

Hutan yang tadinya merupakan habitat gajah telah dikonversi menjadi HTI, perkebunan masyarakat, jalan, dan tambang. Semakin sempitnya habitat, membuat gajah datang ke hutan akasia maupun perkebunan masyarakat untuk mencari makan.

Menurut survey populasi berbasis DNA yang dilakukan oleh peneliti gajah Alexander Moβbrucker bersama FZC pada tahun 2011, terdapat 150 ekor gajah di sekitar lanskap TNBT. Sementara kelompok gajah yang berada di sekitar Sungai Sisip berjumlah 25 ekor.

Kematian dua ekor gajah ini menambah catatan panjang gajah Sumatera yang mati selama tahun 2013, termasuk "Papa Genk" dan gajah lainnya di Aceh dan Riau.

Kematian gajah secara terus menerus ini akan mempercepat kepunahan gajah Sumatera yang statusnya sangat terancam punah menurut IUCN (lembaga konservasi internasional).

Saat kematian Papa Genk, kalangan pencinta hewan media sosial dan linimasa change.org. menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan untuk menindak tegas pelaku pembunuhan gajah.
***4***
 

Pewarta: Edy Supriyadi

Editor : Edy Supriyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2013