Jakarta (ANTARA Jambi) - Penanggulangan penyakit kusta di Indonesia masih terhalang stigma negatif masyarakat yang sering membuat penderitanya tidak mau berobat karena takut keadaannya diketahui warga sekitar, kata Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama,
"Yang sulit (dalam penanggulangan kusta, red.) adalah faktor stigma ini. Tidak bisa dihilangkan oleh Kementerian Kesehatan sendiri," katanya di Jakarta, Kamis.
Stigma kusta dalam masyarakat menghambat upaya orang yang pernah terkena kusta dan keluarganya untuk menikmati kehidupan sosial yang wajar seperti individu lainnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, katanya, perlakuan diskriminatif masih terjadi, antara lain terkait dengan kesempatan mencari pekerjaan, beribadah di tempat ibadah, menggunakan kendaraan umum, atau mendapatkan pasangan hidup.
"Keadaan ini berdampak negatif secara psikologis bagi penderita yang mengakibatkan 'self stigma', frustasi, bahkan upaya bunuh diri," ujar Tjandra.
Padahal, katanya, saat ini penyakit kusta telah dapat diobati di puskesmas dengan obat yang diberikan cuma-cuma hingga sembuh.
Wakil Ketua Komnas HAM Bidang Internal Anshori Sinungan mengakui masih adanya perlakuan negatif kepada orang yang pernah mengalami kusta.
"Laporan yang masuk menunjukkan perlakuan negatif yang diterima orang yang pernah mengalami kusta termasuk kekerasan ekonomi, kekerasan fisik, kekerasan emosional, maupun penelantaran," ujarnya.
Perlakuan diskriminasi itu, katanya, melanggar Pasal 1 Ayat 3 UU Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Anshori mengingatkan bahwa orang yang pernah mengalami kusta memiliki HAM yang sama dengan manusia lain dan kusta bukanlah suatu kutukan.
"Diskriminasi terhadap orang yang pernah mengalami kusta harus dihentikan. Negara perlu membentuk satuan tugas untuk penghentian diskriminasi terhadap orang yang pernah mengalami kusta," ujarnya.
Anshori mengatakan negara harus segera mengadopsi resolusi PBB tentang kusta agar menjadi kebijakan atau peraturan nasional. (Ant)
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2014
"Yang sulit (dalam penanggulangan kusta, red.) adalah faktor stigma ini. Tidak bisa dihilangkan oleh Kementerian Kesehatan sendiri," katanya di Jakarta, Kamis.
Stigma kusta dalam masyarakat menghambat upaya orang yang pernah terkena kusta dan keluarganya untuk menikmati kehidupan sosial yang wajar seperti individu lainnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, katanya, perlakuan diskriminatif masih terjadi, antara lain terkait dengan kesempatan mencari pekerjaan, beribadah di tempat ibadah, menggunakan kendaraan umum, atau mendapatkan pasangan hidup.
"Keadaan ini berdampak negatif secara psikologis bagi penderita yang mengakibatkan 'self stigma', frustasi, bahkan upaya bunuh diri," ujar Tjandra.
Padahal, katanya, saat ini penyakit kusta telah dapat diobati di puskesmas dengan obat yang diberikan cuma-cuma hingga sembuh.
Wakil Ketua Komnas HAM Bidang Internal Anshori Sinungan mengakui masih adanya perlakuan negatif kepada orang yang pernah mengalami kusta.
"Laporan yang masuk menunjukkan perlakuan negatif yang diterima orang yang pernah mengalami kusta termasuk kekerasan ekonomi, kekerasan fisik, kekerasan emosional, maupun penelantaran," ujarnya.
Perlakuan diskriminasi itu, katanya, melanggar Pasal 1 Ayat 3 UU Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Anshori mengingatkan bahwa orang yang pernah mengalami kusta memiliki HAM yang sama dengan manusia lain dan kusta bukanlah suatu kutukan.
"Diskriminasi terhadap orang yang pernah mengalami kusta harus dihentikan. Negara perlu membentuk satuan tugas untuk penghentian diskriminasi terhadap orang yang pernah mengalami kusta," ujarnya.
Anshori mengatakan negara harus segera mengadopsi resolusi PBB tentang kusta agar menjadi kebijakan atau peraturan nasional. (Ant)
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2014