Jakarta (ANTARA Jambi) - Pengamat Ekonomi Universitas Diponegoro FX Soegijanto menyarankan kompensasi akibat kenaikan tarif dasar listrik mulai 1 Mei mendatang, yakni pemberian insentif berupa mesin produksi dengan teknologi hemat energi.
"Kita harus lihat struktur biaya produksi tinggi, bisa jadi karena mesinnya yang boros energi, sebaiknya diberikan teknologi yang efisien," kata Soegijanto kepada Antara di Jakarta, Jumat.
Soegijanto juga menyarankan kepada perusahaan untuk bisa mengkaji struktur biaya produksi yang paling tinggi agar bisa dikurangi.
Dia menyebutkan hal itu bisa dilihat dari pungutan dan distribusi.
Pasalnya, menurut dia, selama ini biaya pungutan masih menjadi pesoalan karena menyumbang cukup besar dari pengeluaran perusahaan.
"Selama ini kan, biaya untuk birokrasi masih membentur perusahaan karena masih tinggi, jadi tugasnya pemerintah harus bisa menekan biaya ini," ujarnya.
Selain itu juga, dia menambahkan, infrastuktur yang tidak memadai juga masih memperbesar biaya distribusi.
Soegijanto menilai kompensasi tersebut bukan dalam bentuk subsidi energi lagi karena tidak sesuai dengan tujuan kenaikan TDL itu sendiri yang dimaksudkan mengurangi subsidi energi.
Tidak rasional kalau kompensasinya dengan energi lagi, bukan insentif namanya, bukan kompensasi justru akan melebihi harga pokok produksi," ucapnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Pengurus Nasional Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudradjat menilai adanya insentif maupun rencana kompensasi untuk perusahaan padat karya pun tidak cukup membantu karena kenaikan listrik lebih signifikan.
"Energi harus dibayar energi, harus konsisten dengan angsuran, kita tidak mau energi dikompensiasi, dengan apa?" tukasnya.
Dia juga memperkirakan biaya produksi perusahaan tekstil diperkirakan naik sebesar 15 persen dan kemungkinan impor bisa mencapai 100 persen.
Ade mengatakan kebijakan tersebut akan memicu banyaknya barang impor karena daya saing yang semakin menurun.
"Maka impor akan banjir karena (barang) impor tidak ada kenaikan, ini mendorong impor lebih besar. Katanya pemerintah mau tekan defisit, tapi perbuatannya mendorong impor besar-besaran," ucapnya.
Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM No 9 Tahun 2014 tentang Tarif Tenaga Listrik yang Disediakan Oleh PLN yang mengatur kenaikan tarif listrik industri besar itu.
Permen ditandatangani Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik pada 1 April 2014.
Kenaikan tarif pelanggan industri skala besar yang memakai listrik bertegangan menengah dengan daya di atas 200 kVA atau I3 khusus perusahaan berstatus terbuka ditetapkan 8,6 persen per dua bulan sekali.
Sedangkan, kenaikan tarif listrik untuk pelanggan industri yang memakai jaringan bertegangan tinggi dengan daya di atas 30.000 kVA atau golongan I4 ditetapkan 13,3 persen per dua bulan sekali.
Pemerintah memberlakukan kenaikan tarif dengan besaran 8,6 persen untuk I3 dan 13,3 persen untuk I4 tersebut sebanyak empat kali dalam 2014.
Setelah 1 Mei, kenaikan tarif berikutnya adalah 1 Juli, 1 September, dan 1 November 2014.
Dengan demikian, secara total pada 2014, tarif I3 akan naik 38,9 persen dan I4 naik 64,7 persen. (Ant)
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2014
"Kita harus lihat struktur biaya produksi tinggi, bisa jadi karena mesinnya yang boros energi, sebaiknya diberikan teknologi yang efisien," kata Soegijanto kepada Antara di Jakarta, Jumat.
Soegijanto juga menyarankan kepada perusahaan untuk bisa mengkaji struktur biaya produksi yang paling tinggi agar bisa dikurangi.
Dia menyebutkan hal itu bisa dilihat dari pungutan dan distribusi.
Pasalnya, menurut dia, selama ini biaya pungutan masih menjadi pesoalan karena menyumbang cukup besar dari pengeluaran perusahaan.
"Selama ini kan, biaya untuk birokrasi masih membentur perusahaan karena masih tinggi, jadi tugasnya pemerintah harus bisa menekan biaya ini," ujarnya.
Selain itu juga, dia menambahkan, infrastuktur yang tidak memadai juga masih memperbesar biaya distribusi.
Soegijanto menilai kompensasi tersebut bukan dalam bentuk subsidi energi lagi karena tidak sesuai dengan tujuan kenaikan TDL itu sendiri yang dimaksudkan mengurangi subsidi energi.
Tidak rasional kalau kompensasinya dengan energi lagi, bukan insentif namanya, bukan kompensasi justru akan melebihi harga pokok produksi," ucapnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Pengurus Nasional Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudradjat menilai adanya insentif maupun rencana kompensasi untuk perusahaan padat karya pun tidak cukup membantu karena kenaikan listrik lebih signifikan.
"Energi harus dibayar energi, harus konsisten dengan angsuran, kita tidak mau energi dikompensiasi, dengan apa?" tukasnya.
Dia juga memperkirakan biaya produksi perusahaan tekstil diperkirakan naik sebesar 15 persen dan kemungkinan impor bisa mencapai 100 persen.
Ade mengatakan kebijakan tersebut akan memicu banyaknya barang impor karena daya saing yang semakin menurun.
"Maka impor akan banjir karena (barang) impor tidak ada kenaikan, ini mendorong impor lebih besar. Katanya pemerintah mau tekan defisit, tapi perbuatannya mendorong impor besar-besaran," ucapnya.
Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM No 9 Tahun 2014 tentang Tarif Tenaga Listrik yang Disediakan Oleh PLN yang mengatur kenaikan tarif listrik industri besar itu.
Permen ditandatangani Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik pada 1 April 2014.
Kenaikan tarif pelanggan industri skala besar yang memakai listrik bertegangan menengah dengan daya di atas 200 kVA atau I3 khusus perusahaan berstatus terbuka ditetapkan 8,6 persen per dua bulan sekali.
Sedangkan, kenaikan tarif listrik untuk pelanggan industri yang memakai jaringan bertegangan tinggi dengan daya di atas 30.000 kVA atau golongan I4 ditetapkan 13,3 persen per dua bulan sekali.
Pemerintah memberlakukan kenaikan tarif dengan besaran 8,6 persen untuk I3 dan 13,3 persen untuk I4 tersebut sebanyak empat kali dalam 2014.
Setelah 1 Mei, kenaikan tarif berikutnya adalah 1 Juli, 1 September, dan 1 November 2014.
Dengan demikian, secara total pada 2014, tarif I3 akan naik 38,9 persen dan I4 naik 64,7 persen. (Ant)
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2014