Jakarta (ANTARA Jambi) - Ketentuan peringatan bergambar pada bungkus rokok yang mulai diberlakukan 24 Juni 2014 harus diikuti kenaikan harga untuk menekan konsumsi rokok, kata Wakil Direktur Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Abdilah Ahsan.
"Ketentuan ini merupakan langkah awal yang perlu dilakukan namun jangan terlalu berharap akan menurunkan konsumsi rokok karena membutuhkan waktu dan harus diimbangi dengan kenaikkan harga cukai rokok," kata Abdilah yang ditemui di Kampus Universitas Indonesia (UI), Depok, Selasa.
Ia berpendapat saat ini harga rokok masih murah sehingga mudah dijangkau semua kalangan, termasuk konsumen di bawah usia 18 tahun.
"Kita pernah lakukan diskusi terbatas di sepuluh kota, harga yang membuat konsumen berpikir adalah sekitar Rp50 ribu per bungkus dengan harga ketengan Rp5 ribu per batang," kata peneliti senior Lembaga Demografi UI itu.
Abdillah yang pernah meneliti ekonomi tembakau itu mengatakan peringatan bergambar pada bungkus rokok juga idealnya dibarengi larangan iklan rokok sebagai bentuk konsistensi kebijakan pemerintah.
"Kebijakan pemerintah ini harus diapresiasi meskipun peringatannya kecil dan di sisi lain iklan rokoknya masih ada. Jika mau konsisten kebijakan ini harus dibarengi dengan pelarangan iklan rokok," katanya.
Abdilah menyebutkan empat faktor yang akan mengendalikan konsumsi rokok adalah menaikkan harga melalui cukai rokok, melarang iklan, kawasan tanpa rokok, dan peringatan kesehatan bergambar.
"Empat hal tersebut memengaruhi konsumsi konsumen, namun mengubah perilaku merokok tidak akan cepat karena ada faktor candu dan 'lifestyle'," katanya.
Efektif mencegah Abdilah mengatakan, peringatan bergambar yang tidak disertai kenaikan harga rokok tidak efektif untuk pecandu namun akan efektif bagi perokok pemula karena citra mewah, keren dan maskulin produk rokok akan hilang di mata mereka.
"Kalau tidak ada peringatan kesehatan bergambar seram dia akan menganggap rokok itu keren, jika ada gambar seramnya perokok akan malas membawa rokok," kata peneliti senior yang juga pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu.
Kendati tidak dibarengi dengan kenaikan harga cukai rokok namun Abdilah optimistis peringatan bergambar akan menyadarkan masyarakat mengenai bahaya merokok.
"Gambar itu mudah dicerna oleh semua kalangan sehingga diharapkan bisa berpengaruh terutama yang pemula dan miskin," katanya.
Selain itu, Abdilah berpendapat peringatan bergambar di bungkus rokok tidak akan banyak memengaruhi industri rokok karena faktor pendorong konsumsi rokok masih lebih besar dibandingkan faktor penghambatnya.
"Kenaikan jumlah penduduk, komposisi masyarakat yang didominasi usia muda, pertumbuhan ekonomi yang naik sementara harga rokok masih murah menjadi faktor pendorong konsumsi rokok, sementara penghambatnya hanya dalam bentuk peringatan," kata Abdilah.
Namun pedagang rokok berpendapat peringatan bergambar tidak akan efektif bagi pembeli dari kalangan pelajar maupun ekonomi.
"Mereka biasanya beli ketengan dan enggak pakai bungkus, jadi enggak akan banyak berpengaruh," kata Holil, pedagang rokok di Bekasi, Jawa Barat. (Ant)
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2014
"Ketentuan ini merupakan langkah awal yang perlu dilakukan namun jangan terlalu berharap akan menurunkan konsumsi rokok karena membutuhkan waktu dan harus diimbangi dengan kenaikkan harga cukai rokok," kata Abdilah yang ditemui di Kampus Universitas Indonesia (UI), Depok, Selasa.
Ia berpendapat saat ini harga rokok masih murah sehingga mudah dijangkau semua kalangan, termasuk konsumen di bawah usia 18 tahun.
"Kita pernah lakukan diskusi terbatas di sepuluh kota, harga yang membuat konsumen berpikir adalah sekitar Rp50 ribu per bungkus dengan harga ketengan Rp5 ribu per batang," kata peneliti senior Lembaga Demografi UI itu.
Abdillah yang pernah meneliti ekonomi tembakau itu mengatakan peringatan bergambar pada bungkus rokok juga idealnya dibarengi larangan iklan rokok sebagai bentuk konsistensi kebijakan pemerintah.
"Kebijakan pemerintah ini harus diapresiasi meskipun peringatannya kecil dan di sisi lain iklan rokoknya masih ada. Jika mau konsisten kebijakan ini harus dibarengi dengan pelarangan iklan rokok," katanya.
Abdilah menyebutkan empat faktor yang akan mengendalikan konsumsi rokok adalah menaikkan harga melalui cukai rokok, melarang iklan, kawasan tanpa rokok, dan peringatan kesehatan bergambar.
"Empat hal tersebut memengaruhi konsumsi konsumen, namun mengubah perilaku merokok tidak akan cepat karena ada faktor candu dan 'lifestyle'," katanya.
Efektif mencegah Abdilah mengatakan, peringatan bergambar yang tidak disertai kenaikan harga rokok tidak efektif untuk pecandu namun akan efektif bagi perokok pemula karena citra mewah, keren dan maskulin produk rokok akan hilang di mata mereka.
"Kalau tidak ada peringatan kesehatan bergambar seram dia akan menganggap rokok itu keren, jika ada gambar seramnya perokok akan malas membawa rokok," kata peneliti senior yang juga pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu.
Kendati tidak dibarengi dengan kenaikan harga cukai rokok namun Abdilah optimistis peringatan bergambar akan menyadarkan masyarakat mengenai bahaya merokok.
"Gambar itu mudah dicerna oleh semua kalangan sehingga diharapkan bisa berpengaruh terutama yang pemula dan miskin," katanya.
Selain itu, Abdilah berpendapat peringatan bergambar di bungkus rokok tidak akan banyak memengaruhi industri rokok karena faktor pendorong konsumsi rokok masih lebih besar dibandingkan faktor penghambatnya.
"Kenaikan jumlah penduduk, komposisi masyarakat yang didominasi usia muda, pertumbuhan ekonomi yang naik sementara harga rokok masih murah menjadi faktor pendorong konsumsi rokok, sementara penghambatnya hanya dalam bentuk peringatan," kata Abdilah.
Namun pedagang rokok berpendapat peringatan bergambar tidak akan efektif bagi pembeli dari kalangan pelajar maupun ekonomi.
"Mereka biasanya beli ketengan dan enggak pakai bungkus, jadi enggak akan banyak berpengaruh," kata Holil, pedagang rokok di Bekasi, Jawa Barat. (Ant)
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2014