Jambi (ANTARA Jambi) - Forum Konservasi Gajah Indonesia mengkhawatirkan lahan konsesi Hutan Tanaman Industri PT Riau Andalan Pulp and Paper dijadikan  kawasan berburu bagi pemburu liar.

"Hal ini terlihat dari leluasanya para pemburu melewati pos penjagaan di pintu masuk areal Riau Andalan Pulp dan Paper (RAPP)," kata Ketua Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) Krismanko Padang dalam siaran persnya yang diterima, Sabtu.

Ia mengaku telah melakukan tinjauan ke lokasi ditemukannya bangkai gajah jantan dewasa di areal RAPP, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau beberapa waktu lalu.

Bangkai gajah tersebut ditemukan di perkebunan akasia yang hanya berjarak sekitar 50 meter dari jalan koridor dan tak jauh dari pos penjagaan RAPP.

"Dari informasi yang kami dapatkan, mobil pemburu kerap masuk areal perkebunan. Satpam tidak kuasa melarang karena para pemburu sudah mendapat izin masuk dari pimpinan RAPP," kata Krismanko.

Perburuan gading gajah diduga menjadi motif utama dalam kasus kematian gajah di Riau belakangan ini. World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia mencatat jumlah kematian gajah di Riau pada 2014 hingga pertengahan tahun sudah mencapai 22 ekor. Sebagian besar adalah gajah jantan dan gadingnya hilang.

Yang mengenaskan dari 22 ekor gajah mati tersebut, 18 ekor di antaranya ditemukan di areal konsesi RAPP. Sedangkan empat ekor lainnya ditemukan masing-masing di Hutani Sola, Pusat Latihan Gajah (PLG), konsesi PT Arara Abadi, dan Balai Raja. 

Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) dilindungi oleh Undang-Undang No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. IUCN pada 2012 telah menaikkan status gajah Sumatera di alam dari genting menjadi kritis, satu langkah sebelum kepunahan.

Krismanko menegaskan RAPP selaku pengelola kawasan semestinya turut bertanggung jawab dan mendorong terungkapnya kasus ini, pelaku, serta motifnya. Perusahaan kehutanan harus berperan aktif dalam melindungi gajah Sumatera di wilayah konsesinya.

Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, gajah secara individu harus dilindungi, baik yang berada di dalam maupun di luar wilayah konservasi.

FKGI telah melayangkan surat kepada pihak manajemen RAPP untuk membahas peristiwa tersebut secara langsung. Namun, permintaan itu tidak dipenuhi dengan alasan jadwal pihak manajemen sangat padat hingga hari raya Idul Fitri.

"Ini menunjukkan kasus kematian gajah Sumatera bukan prioritas bagi RAPP. Bila dibiarkan maka citra RAPP akan buruk, baik di mata masyarakat maupun konsumen. Komitmennya pun akan dipertanyakan," ujarnya.

Habitat alami yang terus berkurang ditambah dengan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum menjadikan Riau sebagai tempat pembantaian gajah Sumatera. Dalam satu dekade terakhir setidaknya 142 ekor gajah mati dibunuh mulai dengan cara diracun hingga ditembak.

Namun dalam periode tersebut baru satu kasus yang diproses hukum hingga tingkat pengadilan, yakni kasus kematian gajah di Mahato, Kabupaten Rokan Hulu pada 2005, dimana seorang pemburu diganjar 12,5 tahun penjara akibat memburu satwa dilindungi, memiliki senjata api, dan melawan petugas.  

Selain di RAPP, kematian gajah di blok Tesso Nilo juga terjadi di areal konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) Rimba Peranap Indah, Siak Raya Timber, dan Arara Abadi.

Gajah yang berperan sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem Sumatera saat ini telah sangat terdesak akibat pembukaan HTI/perkebunan dan perburuan gading. 

Blok hutan Tesso Nilo, yang merupakan harapan utama pelestarian gajah di provinsi terluas di Sumatera ini telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sebagai Pusat Konservasi Gajah.

Species Specialist WWF Sunarto menyatakan perusahaan perkebunan yang beroperasi di wilayah jelajah gajah, hendaknya dapat secara aktif menjaga kelestarian gajah yang hidup di wilayah konsesinya dan menyisihkan ruang bagi satwa terancam punah itu untuk menjelajah.

"Pemerintah diharapkan lebih aktif memberikan insentif dan apresiasi bagi perusahaan dan masyarakat yang telah membantu menyelamatkan gajah. Pemerintah juga harus menindak tegas mereka yang terlibat dalam perusakan habitat dan terlebih yang memburu atau membunuh satwa dilindungi dengan kecerdasan dan sifat sosial yang sangat tinggi ini," ujar Sunarto.

Penegak hukum semestinya memberikan hukuman berat kepada para pelaku perburuan dan mereka yang memperdagangkan bagian tubuh gajah Sumatera karena mereka telah menyebabkan kerugian dan kerusakan lingkungan yang sangat besar.

Dalam siaran pers FKGI juga disebutkan, Kepala Sub Direktorat IV Reserse Kriminal Khusus Polda Riau AKBP Fadilah Zulkarnain menyatakan perlu kecepatan, kecermatan, dan kerja sama untuk mengungkap kasus kematian gajah. 

"Untuk kasus kematian gajah, kami beranggapan penyidik dari BKSDA yang paling tepat untuk mengusut karena sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki. Namun bila ada keterbatasan-keterbatasan, BKSDA bisa melimpahkan kasus ke kepolisian," ujarnya.

Minimnya saksi, lokasi ditemukan gajah yang berada di dalam hutan, serta kondisi bangkai gajah yang seringkali sudah terlalu lama, menurut Fadilah menjadi penyebab sulitnya mengusut kasus tersebut. Namun, bila akses masuk ke dalam kawasan terbatas, penyelidikan dapat dimulai dari memeriksa penjaga di setiap pos masuk, katanya.
    
Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau Kemal Amas mengakui pengungkapan kasus kematian gajah terhambat karena minimnya sumber daya manusia dan dana.

"Kami bukan mencari alasan, tetapi memang dalam kenyataannya SDM dan dana kami sangat terbatas. Masih banyak persoalan lain seperti kebakaran hutan dan lahan, pembalakan liar, dan perambahan hutan yang juga harus diselesaikan secara cepat," ujar Kemal.

FKGI terdiri dari lembaga dan individu yang peduli terhadap konservasi gajah di Indonesia dan habitatnya. Jumlah populasi gajah Sumatera dan Kalimantan terus menurun akibat kerusakan habitat, perburuan liar, dan konflik dengan manusia. Kondisi ini terus berlangsung hingga pada tahap yang mengkhawatirkan.

FKGI dibentuk atas dasar keprihatinan tersebut dan berupaya memaksimalkan kegiatan konservasi gajah di Indonesia. Forum ini diharapkan menjadi mitra pemerintah dalam menangani permasalahan konservasi gajah di tingkat nasional dan internasional.

Mitra kerja FKGI adalah para penggiat utama konservasi gajah di Indonesia, baik yang berasal dari pemerintah, pihak swasta maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan yang peduli terhadap pelestarian gajah di Indonesia.

FKGI juga bekerja sama dengan kalangan akademisi dan pelajar yang berminat untuk membantu konservasi gajah.

Saat ini mitra utama FKGI adalah pemerintah dari Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementrian Kehutanan RI.

Sedangkan di pihak LSM ada beberapa organisasi pendukung yakni World Wide for Nature (WWF), Veterinarians Society for Wildlife Conservation (VESSWIC), Conservation Science Initiatives (CSI), Fauna Flora International (FFI), Wildlife Conservation Society (WCS), dan Frankfurt Zoological Society (FZS).(Ant)

Pewarta: Edy Supriyadi

Editor : Edy Supriyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2014