Jambi (ANTARA Jambi) - Sebelas orang rimba di Jambi meninggal secara beruntun, diduga mereka kesulitan mendapatkan pangan yang layak dan air bersih, kata Fasilitator Kesehatan KKI WARSI, Yomi Rivandi, di Jambi, Senin.

Dia menjelaskan, kematian beruntun menyerang tiga kelompok orang rimba di bagian timur Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), Kabupaten Sarolangun-Batanghari, yakni kelompok yang dipimpin Tumenggung Marituha, Tumenggung Ngamal dan Tumenggung Nyenong.

"Mereka saat ini tengah dihantui kematian beruntun yang menyerang sejumlah orang di kelompok ini. Tercatat sudah 11 orang yang meninggal dalam waktu beberapa bulan terakhir. Dari 150 jiwa yang ada di tiga kelompok ini, kematian beruntun paling banyak terjadi pada Januari dan Februari dengan enam kasus kematian, yaitu empat anak-anak dan dua orang dewasa," kata Yomi.

Dikatakan Yomi, dugaan sementara kasus kematian beruntun pada orang rimba disebabkan mereka kesulitan untuk mendapatkan pangan yang layak, serta ketersediaan air bersih yang tidak memadai.  

"Hutan semakin sempit sehingga orang rimba tidak lagi 'melangun' (berpindah-pindah) ke dalam hutan namun ke pinggir-pinggir desa dan ladang masyarakat, tentu saja di kawasan ini akan sedikit bahan pangan yang biasa di dapatkan orang rimba dari berburu dan meramu hasil hutan," ujar Yomi.
 
Menurut pengamatan dia, dalam rentang beberapa bulan terakhir ini, orang rimba setidaknya sudah berpindah ke tujuh lokasi baru yang sebagian besar merupakan daerah pinggir desa dan juga perkebunan masyarakat.

Awalnya kelompok ini berada di Terap dan Serenggam, karena ada kematian, mereka 'melangun' ke wilayah Desa Olak besar, kemudian desa Baru, Desa Jernih, sungai Selentik dan sungai Telentam kemudian di desa Lubuk Jering, simpang Picco Pauh dan kini di sungai Kemang desa Olak Besar.   

"Ketika 'melangun' pasokan makanan kurang, itu yang menyebabkan daya tahan tubuh mereka berkurang sehingga banyak yang sakit. Sebagian ada yang mencoba berobat ke rumah sakit terdekat, seperti di Sarolangun, namun karena belum di tanggung BPJS mereka harus membayar dan orang rimba tidak mau di rawat, akhirnya banyak yang meninggal dunia dan kemudian melangun lagi," jelasnya.
 
'Melangun' merupakan tabu kematian pada orang rimba, yaitu berpindah tempat hidup akibat kesedihan setelah ditinggalkan anggota kelompoknya. Karena kematiannya beruntun, menyebabkan mereka ketakutan dan panik.

"Pengobatan yang biasa mereka lakukan tidak lagi bisa dijalankan karena keterbatasan tanaman obat di lokasi baru mereka. Sehingga pilihannya adalah pengobatan modren, untuk itu kita harap semua pihak membantu pengobatan orang rimba ini," ujarnya.
 
Untuk mengatasi kasus luar biasa ini, kata Yomi, WARSI meminta bantuan ke Puskesamas Durian Luncuk Kecamatan Bathin XXIV Kabupaten Batanghari saat mereka 'melangun' ke sungai Kemang desa Olak Besar, sebab Pukesmas itu sarana kesehatan yang terdekat.

"Tim Puskesmas Durian Luncuk sudah turun memeriksa kesehatan orang rimba ketiga kelompok ini, tercatat 19 anak dan 15 orang dewasa yang tengah berobat, dengan keluhan demam dan batuk," kata Yomi.
 
Sebagian orang rimba, lanjutnya, masih belum memeriksakan kesehatan mereka, padahal hampir semua orang di kelompok ini terserang batuk. Namun ketika mereka tidak demam menganggap batuk merupakan penyakit biasa. Padahal idealnya tetap dilakukan pengobatan, namun masih butuh waktu panjang untuk memberi pemahaman bagi orang rimba untuk peduli dengan kesehatan mereka.
 
Dia menilai, sejauh ini kondisi orang rimba cukup memprihatinkan, untuk itu peran serta para pihak dalam membantu pemulihan kesehatan orang rimba sangat dibutuhkan. Terutama untuk orang rimba yang masih berpindah-pindah.  

Ketika mereka berada di Batanghari, Puskesmas Batanghari masih mau melayani mereka, namun ketika mereka berada di wilayah Sarolangun, maka harapannya Puskesmas dan rumah sakit di sana juga bisa melayani mereka dengan baik dan tentu bebas biaya mengingat selama ini orang rimba tergolong keluarga miskin.

"Dalam kejadian luar biasa ini oprang rimba membutuhkan bantuan semua pihak, baik Puskesmas, rumah sakit dan juga instansi terkait untuk memberi layanan kesehatan pada mereka secara tepat, dan tentu tanpa biaya," kata Yomi.
 
Dikatakannya lagi, untuk pelayanan di Batanghari orang rimba masih bisa mengakses pelayanan kesehatan gratis, sedangkan di Sarolangun orang rimba Terap dan Serenggam belum bisa diakomodir.  Padahal secara akses kelompok ini lebih dekat Ke Sarolangun ke timbang ke Batanghari.   

"Kami berharap orang rimba bisa lebih dilayani dengan baik meski mereka tidak terdata dan tercatat sebagai warga salah satu desa, sudah waktunya ada perhatian khusus untuk kelompok orang rimba dan juga ada pengecualian bagi mereka sehingga bisa mengakses semua fasilitas layanan kesehatan pemerintah," katanya.

Dia menambahkan, kondisi hutan yang semakin sempit mengharuskan orang rimba 'melangun' ke desa-desa. Akibatnya mereka semakin kesulitan untuk mendapat bahan pangan. Kondisi ini diperburuk dengan air sungai di sekitar mereka 'melangun' tidak layak untuk dikonsumsi langsung. Sebab selama ini orang rimba terbiasa untuk mengkonsumsi air sungai langsung tanpa merebusnya.(Ant)









Pewarta: Dodi Saputra

Editor : Dodi Saputra


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2015