Jakarta (ANTARA Jambi) - Di tengah kontroversi dana usul program pengembangan daerah pemilihan (UP2DP) atau kerap disebut dana aspirasi bagi tiap anggota DPR sebesar Rp20 miliar per tahun, DPD  juga bakal membangun kantor DPD di tiap provinsi senilai Rp21 miliar kecuali di DKI Jakarta dan Bali.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD memang mengamanatkan anggota DPD mempunyai kantor di ibu kota provinsi daerah pemilihannya.

"Amanat Undang-Undang itu wajib dijalankan," kata Wakil Ketua DPD Farouk Muhammad.

Anggota DPD asal provinsi NTB mengingatkan soal kantor DPD itu untuk menanggapi sementara pihak yang mengeritik soal pembangunan kantor anggota DPD di ibu kota provinsi, termasuk dari mantan Wakil Ketua DPD La Ode Ida.

Pasal 252 ayat (4) UU Nomor 17 Tahun 2014 itu berbunyi "anggota DPD dalam menjalankan tugasnya berdomisili di daerah pemilihannya dan mempunyai kantor di ibu kota provinsi daerah pemilihannya".

DPD telah memiliki kantor anggota DPD di Kota Palembang, ibu kota Sumsel, dan beberapa waktu lalu telah dilakukan peletakan batu pertama pembangunan kantor anggota DPD di Kota Yogyakarta, ibu kota Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kota Kupang, ibu kota NTT untuk tahun ini.
    
Dikritik mantan anggota

Farouk mengaku heran pihak yang mengeritik adanya kantor anggota DPD itu justru berasal dari mantan Wakil Ketua DPD La Ode Ida yang mempertanyakan manfaat kantor anggota DPD di daerah karena menilai keberadaan DPD hanya merupakan ornamen demokrasi.

"Saya heran suara minor justru datang dari mantan DPD. Saat di DPD dia menyetujui pembangunan kantor DPD di daerah," kata Farouk.

Ia menegaskan keberadaan kantor anggota DPD di ibu kota provinsi, selain merupakan amanat UU, juga merupakan tempat bagi rakyat di daerah menyampaikan aspirasi secara langsung dan anggota DPD menjembatani kepentingan daerah.

Pembangunan kantor DPD ini memiliki tujuan yang baik karena bisa dipakai sebagai tempat untuk memperjuangkan aspirasi daerah, memudahkan penyerapan aspirasi daerah oleh anggota DPD, dan  mengembangkan artikulasi politik daerah bersama pemerintah daerah, serta dapat membangun kesepahaman antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Guru Besar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian itu mengakui upaya membangun kantor anggota DPD di tiap ibu kota provinsi tidak mudah.

"Terutama dalam penyediaan tanah dan anggaran pembangunannya dalam pembahasan di DPR bersama pemerintah dan DPRD bersama pemerintah daerah," kata mantan Kapolda NTB itu.

Guru Besar Ilmu Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana itu menegaskan keberadaan DPD bukan merupakan ornamen demokrasi, melainkan lembaga negara yang memiliki legitimasi politik kuat dan berperan signifikan dalam menyelesaikan permasalahan dan pembangunan di daerah.

Sekretaris Jenderal DPD Sudarsono Hardjosoekarto menambahkan institusinya menganggarkan dana senilai Rp21 miliar dari APBN bagi pembangunan kantor DPD di tiap provinsi kecuali di DKI Jakarta dan Bali.

"DKI Jakarta tidak menolak, namun karena dekat kantor DPD lalu disarankan tidak perlu membangun lagi. Kalau Bali itu menyediakan gedung yang sangat bagus secara permanen," kata Sudarsono yang juga mantan Dirjen Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah (PUOD) Kementerian Dalam Negeri.

Sudarsono yang juga Guru Besar Universitas Indonesia itu mengatakan anggaran pembangunan kantor DPD itu menggunakan dana dari APBN 2015 sedangkan penyediaan tanahnya adalah hibah dari pemerintah provinsi.

Pemerintah provinsi yang sudah menghibahkan tanah untuk lahan pembangunan kantor DPD misalnya dari Sumsel, NTB, Yogyakarta, dan Kalteng.

"Tahun 2016 direncanakan Sumatera Barat, NTB, Maluku, dan Sulawesi Utara," ujarnya.

Menurut dia, keberadaan kantor DPD di seluruh provinsi itu untuk menyerap aspirasi masyarakat melalui kantor perwakilan, dan masyarakat bisa lebih mudah menyalurkan aspirasi. (Ant)

    

Pewarta: Budi Setiawanto

Editor : Ariyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2015