Jakarta (ANTARA Jambi) - Namanya Tuhan, usianya 42 tahun, bekerja sebagai tukang kayu, dan berdomisili di Desa Kluncing, Licin, Banyuwangi, Jawa Timur. Kata Tuhan dalam identitas laki-laki ini tidak diberi tanda baca apapun, karena memang namanya Tuhan. 

Kontroversi merebak, antara yang bersetuju dengan yang tidak bersetuju dengan nama Tuhan itu sebagai nama orang, kemudian mengisi halaman demi halaman media massa. 

Bandul keingintahuan sidang pembaca bergerak mencari untuk menemukan jawab dengan huruf kecil atas heboh seputar nama dari Yang Ilahi itu.

Yang tidak setuju angkat bicara dengan menyarankan agar Tuhan mengganti nama. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa timur mengimbau kepada Tuhan agar mengganti nama. Ketua Umum PB NU, KH Said Aqil Siraj menilai nama Tuhan tidak elok digunakan insan asal Banyuwangi itu.

"Baiknya diganti sajalah. Secara etika enggak bagus. Masak nanti kalau orang manggil, 'Tuhan, Tuhan, gitu? Secara agama khan juga enggak etis," kata Kiai Said di Gedung PB NU, Jakarta Pusat, Rabu (26/08). 

Untuk mencari guna menemukan jawab dengan huruf kecil atas kontroversi nama Tuhan, pemerintah Kabupaten Banyuwangi segera menelusuri anatomi pemberian nama Tuhan.

Seputar kontroversi nama Tuhan, media massa berbondong-bondong menurunkan sederet topik, dari keberadaan dia sampai asal usul nama itu diemban dan diberi oleh orangtuanya. 

Beragam topik dibeberkan, berbagai sudut pandang disajikan, meski akhirnya dipampatkan kepada satu pertanyaan asali, perlukah Tuhan berganti nama?

Layaknya alur bola di lapangan hijau yang dimainkan oleh dua skuat berseteru, dari lapangan tengah mengalir deras menghunjam ke lini pertahanan lawan, begitu oula topik seputar kontroversi nama Tuhan terus bergulir.

Disebutkan bahwa Tuhan dikenal sebagai sosok yang sabar, pekerja keras, ramah dengan tetangga, bahkan pekan ini telah berada di Jakarta. 

Ditulis juga bahwa Tuhan berulangkali ditanya mengenai namanya ketika berurusan dengan penulisan namanya itu. Untuk memberi efek penyangat ketika menelaah kontroversi nama Tuhan, sang redaktur membubuhkan predikat sebagai nama yang unik.

Sang pemilik nama Tuhan pun diberi suara pembelaan ketika merespons keberatan dari mereka yang tidak bersetuju. Ditulis bahwa Tuhan menolak untuk mengganti nama karena pemberian dari orangtuanya.

"Saya tidak akan mengganti nama saya, khan itu pemberian orangtua. Selain itu, jika ganti nama, maka semua dokumen juga harus ganti; KTP, surat nikah, ijazah, dan surat-surat lainnya," kata Tuhan, sebagaimana diwartakan Kompas.com, Selasa (25/8).

"Selama ini baik-baik saja. Enggak ada masalah. Saya hanya manusia biasa. Semua orang juga tahu kalau saya ini profesinya cuma tukang kayu," kata dia.

Pengakuan pria berusia 42 tahun dengan dua anak itu bahwa ia hanyalah manusia biasa mencetuskan jawab atas pertanyaan perlukah Tuhan berganti nama. Sekali lagi, dia hanyalah insan belaka, ciptaan Sang Khalik. 

"Bapak dan ibu saya sudah meninggal. Nama kakak-kakak saya juga seperti orang kebanyakan," kata Tuhan, Jumat (21/8).

Pemilik nama Tuhan yang berasal dari Banyuwangi itu mengaku dengan kerendahan hati bahwa ia memiliki ayah dan ibu. Ia hanyalah ciptaan dari Sang Mahakuasa Yang Empunya Hidup.

Sebagai manusia layaknya, ia mengakui benar bahwa dua ditambah dua adalah empat. Penyebutan "dua ditambah dua menjadi empat diakui sebagai niscaya benar". 

Analogi yang diambil dari ranah matematika ini dapat membantu untuk menjejak kontroversi di balik nama Tuhan di Banyuwangi.

Bahasa sejatinya menyembunyikan konsep yang bersemayam di balik kata-kata. Bahasa merupakan rumah dari pemahaman. 

Bila seorang pria mengutarakan kepada perempuan pujaan hati bahwa dirinya mencintai dan mengasihi pujaan hatinya, maka dipakailah dan digunakanlah kata-kata, "Saya mencintai dan mengasihi dirimu sampai ajal memisahkan".

Secara praktis, kontroversi penggunaan dan pemakaian nama Tuhan terasa lebih berdayaguna dan lebih bermanfaat bila diganti dengan pertanyaan aktual keseharian, misalnya apa yang membuatmu mencintai Indonesia?

Berbagai dan beragam jawaban bisa saja mengemuka, misalnya "di Indonesia, saya memiliki banyak teman dan sahabat", "saya lahir, hidup dan cari makan di Indonesia", "saya mencintai Indonesia dengan sepenuh hati sekuat daya", "di Indonesia, saya bisa hidup makmur, bisa hidup aman di mana dan kapan saja".

Mengapa kontroversi pemberian nama Tuhan di Banyuwangi dapat saja menyeret kepada hal yang tidak menghasilkan apa-apa secara aktual? 

Sejumlah ahli filsafat telah lebih dulu menggumuli diskusi mengenai nama Tuhan berabad-abad lalu. Sebut saja, Gregorius dari Nazianze, Albertus Magnus, Thomas Aquino, dan Karl Rahner, pada abad ini.

"Tidak mungkin mengucapkan dalam kata kebesaran Tuhan, dan memberi nama kepada-Nya," tulis Gregorius dari Nazianze dari Sermo 27.10. "Nama yang paling bagus dari semua nama-Nya ialah Yang-Tak-Dapat-Dinamai," tulis Albertus Magnus, dalam Summa Theologiae III.9.16.

"Tentang Tuhan, kita tidak tahu tentang bagaimana Dia, melainkan tentang bagaimana Dia tidak, dan tentang bagaimana relasi yang lain dengan Dia,"  tulis Thomas Aquino, dalam Summa Contra Gentiles I.30.

Dan ahli filsafat dan ahli teologi kondang abad ini, Rahner, menulis dalam Worte in Schweigen, sebagaimana dirangkum Harry Hamersma dalam buku Persoalan Ketuhanan dalam wacana filsafat, bahwa "Apakah ada nama yang tidak seharusnya saya berikan tentang-Mu?"

"Tetapi apa yang telah saya katakan, ketika memberi namu-Mu, semua itu nama dari dunia ini?...  Saya adalah orang yang tidak memiliki diri sendiri, saya milik-Mu. Saya tidak lebih tahu tentang diri saya, saya tidak lebih tahu tentang Engkau."

Nah, bagaimana menyikapi kontroversi pemberian nama Tuhan di Banyuwangi itu? 

Silakan ambil dan belajarlah dari apa yang pernah dituturkan secara tegas oleh Nikolas Cusanus (1404-1461) bahwa manusia melihat Tuhan dan dia tidak tahu apa yang dilihat, karena manusia melihat sesuatu yang "tidak kelihatan." 

"Tuhan dikenal lewat jalan mistik, yaitu dengan melihat secara buta, melihat di dalam kegelapan."

Implikasi dari kontroversi pemberian nama Tuhan di Banyuwangi, bahwa dalam segala hal janganlah keterlaluan. Meminjam bahasa kesehariannya, jangan lebay. Bahasa Latin klasiknya, nequid nimus.

Dalam alam pikir Jawa dirumuskan dalam 3-sa', yakni sakcupe, sakbutuhe, dan sakpenake, yang kurang lebih artinya, secukupnya saja, sesuai dengan kebutuhan, dijalankan dengan irama hidup dan dendang suka duka dari hidup.

Pewarta: AA Ariwibowo

Editor : Ariyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2015