Jambi ( ANTARA Jambi)- Marga Serampas di Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi, akan diakui sebagai masyarakat hukum adat sehingga dapat menghilangkan konflik dengan negara karena permukiman mereka berada di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).

Rencana pengakuan Marga Serampas sebagai masyarakat hukum adat sudah digulirkan DPRD Merangin melalui ranerda inisiatif, kata Ketua Pansus Ranperda Masyarakat Hukum Adat DPRD Merangin Sudirman, di Jambi, Minggu 

"DPRD telah beberapa kali mendiskusikan tentang  pengakuan masyarakat hukum adat Merangin. Kami anggap ini sebagai langkah maju  resolusi konflik masyarakat dengan pengelola TNKS," kata Sudirman di Jambi, Minggu.

Penetapan itu dilakukan agar bisa memberikan rasa aman kepada masyarakat Serampas untuk mengelola hutan mereka sesuai dengan kearifan lokal dan diakui negara.

Rencana ini, kata Sudirman sudah di gulirkan dewan dan masuk ke dalam program legislatif daerah (Prolegda) tahun 2015 dan Prolegda tahun 2016 serta telah dilakukan beberapa kali dengar pendapat bersama pihak terkait.

Dia mengatakan, rRanperda inisiatif DPRD tentang pangakuan masyarakat hukum adat marga Serampas sangat penting untuk percepatan pembangunan khususnya wilayah Serampas di kawasan paling barat Kabupaten Merangin.

"Selama ini Serampas kesulitan untuk berkembang terutama dalam hal pembangunan karena sebagian besar wilayahnya berada di Taman Nasional, padahal masyarakatnya telah melakukan pengelolaan sumber daya hutannya dengan baik," katanya.

DPRD berharap masyarakat mendapatkan kepastian hukum dalam mengelola kawasan hutan untuk meningkatkan kesejahteraan, katanya.

Sudirman berharap rancangan peraturan daerah ini mendapat dukungan dari pemerintah kabupaten dan pemangku kepentingan sebabcara pengelolaan dan pemanfaatan hutan oleh masyarakat Serampas sudah sangat baik.

Merangin merupakan Kabupaten yang mempunyai sejumlah bentuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat, sebagian sudah dikelola dengan skema hutan desa yang dilegalkan oleh Menteri Kehutanan dan sebagian lainnya dikelola dengan skema hutan adat melalui SK bupati, katanya.

Sementara itu, Manager KKI Warsi Rudi Syaf mengatakan, keberadaan masyarakat hukum adat sejatinya sudah ada sebelum berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebab itu, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat harus dilakukan pemerintah.

Menurut Rudi, sejak 1982 Marga Serampas berkonflik dengan Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat (BB-TNKS) sebagai unit pengelola TNKS dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) sebagai unit pelaksana teknis Kementerian Kehutanan yang diberi kewenangan untuk melakukan pemantapan dan pengukuhan kawasan hutan negara. 

Konflik ini muncul, kata Rudi, semenjak Menteri Kehutanan menyatakan bahwa hampir seluruh wilayah adat Serampas masuk ke dalam kawasan TNKS pada tahun 1982.  Kementerian Kehutanan pun telah melakukan berbagai upaya untuk meresolusikan konflik tersebut melalui 'enclave' dan pembagian zonasi. 

Bahkan sebagian pemukiman masyarakat adat Serampas dikeluarkan dari kawasan TNKS dan sebagian areal perladangan dan infrastruktur jalan dimasukan dalam zona pemanfaatan tradisional dan khusus.

Upaya tersebut belum mampu meresolusikan konflik secara tuntas, terbukti dengan adanya penolakan marga Serampas di Desa Tanjung Kasri dan Renah Kemumu terhadap rencana penataan batas kawasan TNKS.

Masyarakat berpendapat, keberadaan kawasan TNKS menghambat penghidupan masyarakat yang bersumber dari perladangan dan perkebunan.

"Berangkat dari kondisi di atas maka KKI WARSI bekerja sama dengan forum masyarakat Serampas melakukan riset untuk menguji kesiapan masyarakat hukum adat Serampas dalam implementasi hutan adat, pascaputusan MK nomor 35/PUU-X/2012 dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.62/Menhut-II/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan," kata Rudi menjelaskan.

Dikatakannya lagi, untuk mendorong pengakuan tersebut, salah satunya harus dilengkapi dengan pengakuan masyarakat hukum adat yang bentuknya bisa berupa peraturan daerah dari pemerintah setempat.

Jika pengelolaan hutan berbasis masyarakat berjalan dan mendapat dukungan di daerah, tentu secara langsung akan berkontribusi pada pencapaian tujuan nasional. Salah satunya target Presiden Jokowi untuk menurunkan emisi karbon sebesar 29 persen pada tahun 2030.

"Skema-skema lokal yang sudah berlangsung di masyarakat ini akan sangat mendukung target Presiden," ujar Rudi(Ant)

Pewarta: Dodi Saputra

Editor : Ariyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2016