Jambi (ANTARA Jambi) - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jambi Ar Syahbandar geram ada perusahaan perkebunan menanam sawit di kawasan minapolitan, Kecamatan Pemayung, Kabupaten Batanghari, provinsi setempat.

Dikonfirmasi di Jambi, Selasa, Syahbandar mengatakan lahan tersebut tidak memiliki izin usaha perkebunan dan merupakan kawasan minapolitan sehingga tidak bisa ditanami kelapa sawit.

"Ini harus ditertibkan, pemerintah harus secepatnya turun tangan untuk menindak," kata Syabandar.

Dijelaskannya, kawasan minapolitan ini sudah masuk di Perda rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Batanghari. Dan ketika ada yang melanggar, tentu harus ada penindakan, tidak boleh dibiarkan.

"Ketika sawah mereka tidak bisa dialirkan air lagi, masyarakat sudah apatis. Pengusaha harus ikuti aturan yang ada, jangan bikin perkebunan. Kembalikan sebagaimana fungsinya kalau memang lahan itu miliknya. Satpol PP harus turun untuk menertibkan," tegasnya.

Camat Pemayung Sofian, mengatakan hingga saat ini pihaknya tidak pernah mengeluarkan rekomendasi untuk izin usaha perkebunan di kawasan minapolitan tersebut. Sebab sudah ada Perda RTRW yang melarang aktivitas usaha perkebunan dikawasan pertanian tersebut.

"Izin belum pernah dikeluarkan oleh Pemda Batanghari, dan tidak akan pernah keluar. Kami sudah beberapa kali komunikasi dengan pihak perusahaan, dan turun tim. Sudah pernah kami libatkan Satpol PP, solusinya tidak dikeluarkan izin," tegasnya.

Warga Desa Ture, Kecamatan Pemayung, Kabupaten Batanghari resah karena perlahan-lahan mereka kehilangan lahan pertanian yang berada dalam kawasan minapolitan. Itu karena lahan pertanian mereka ditanami sawit oleh salah satu perusahaan di Jambi.

Ketua Kelompok Tani Karya Bakti Desa Ture Rahman, mengatakan lahan pertanian di kawasan minapolitan di Desa Ture ini semula seluas 500 hektare. Namun saat ini tersisa 100,05 hektare saja. Selebihnya sudah diambil alih oleh perusahaan perkebunan yang beraktivitas di sana.

Dikatakan Rahman, lahan pertanian yang tersisa saat ini tidak dialiri air dan kering. Sebab pihak perusahaan telah membangun kanal di sekeliling lahan pertanian sawah mereka.

"Ada juga lahan pertanian diambil, tapi tidak dibayar ke petani yang bersangkutan. Sekitar delapan orang yang belum selesai, sekitar lima hektare totalnya," kata Rahman.

Petani lainnya mengaku terpaksa melepaskan 1,6 hektare lahan pertaniannya yang dibeli tahun 2014 seharga Rp34 juta dan ditanami dengan sayuran, pisang dan lainnya. Tapi baru-baru ini pihak perusahaan mendatanginya dan mengklaim lahan itu milik perusahaan.

"Mereka bilang mau garap tanah itu, karena mereka sudah membeli tanah itu sejak 2011 lalu. Kami dibayar Rp20 juta untuk ganti rugi tanaman bukan beli lahan. Kami terpaksa lepaskan karena kami takut kalau tuntut menuntut nantinya," kata seorang petani.

Pewarta: Dodi Saputra

Editor : Ariyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2016