Jakarta, Antarajambi - Amar putusan Mahkamah Konstitusi,
menegaskan, pekerja dalam satu perusahaan boleh terikat perkawinan,
sehingga membatalkan pembatasan yang termuat dalam Pasal 153 ayat (1)
huruf f UU Ketenagakerjaan.
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Arief Hidayat, ketika membacakan amar putusan Mahkamah Konstitusi, di Gedung Mahkamah Konstitusi, di Jakarta, Kamis.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2017
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Arief Hidayat, ketika membacakan amar putusan Mahkamah Konstitusi, di Gedung Mahkamah Konstitusi, di Jakarta, Kamis.
Permohonan
uji materi ini diajukan Jhoni Boetja dan tujuh rekannya, sebagai
perwakilan dari Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Cabang
Serikat Pekerja PT PLN, yang merasa dirugikan dengan ketentuan a quo.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi tercantum bahwa frasa kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja sama dalam ketentuan a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pembatasan yang termuat dalam ketentuan a quo dinilai Mahkamah tidak memenuhi syarat penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.
"Karena tidak ada hak atau kebebasan orang lain yang terganggu oleh adanya pertalian darah atau ikatan perkawinan sebagaimana dimaksud ketentuan a quo," ujar Hidayat, saat membacakan pertimbangan hukum Mahkamah.
Selain itu Mahkamah Konstitusi berpendapat, ketentuan a quo telah menjadikan sesuatu yang bersifat takdir sebagai syarat untuk mengesampingkan pemenuhan hak asasi manusia, sehingga tidak dapat diterima sebagai alasan yang sah dan konstitusional.
Terkait dengan tujuan ketentuan a quo yang dikatakan untuk mencegah hal-hal negatif yang terjadi di lingkungan perusahaan, Mahkamah Konstitusi berpendapat, alasan demikian tidak memenuhi syarat pembatasan konstitusional sebagaimana tertuang dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
"Potensi timbulnya konflik kepentingan dalam mengambil satu keputusan internal perusahaan, dapat dicegah dengan merumuskan peraturan perusahaan yang ketat sehingga memungkinkan terbangunnya integritas pekerja yang tinggi," kata dia.
Selain itu Mahkamah Konstitusi juga menilai, dalam ketentuan a quo pekerja atau buruh adalah pihak yang berada dalam posisi lebih lemah karena menjadi pihak yang membutuhkan pekerjaan.
Dalam kondisi ini Mahkamah Konstitusi berpendapat, filosofi kebebasan berkontrak yang merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian menjadi tidak sepenuhnya terpenuhi.
Oleh sebab itu Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan secara keseluruhan sekarang dibaca, pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan... f. pekerja atau buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja atau buruh lainnya di dalam satu perusahaan.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi tercantum bahwa frasa kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja sama dalam ketentuan a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pembatasan yang termuat dalam ketentuan a quo dinilai Mahkamah tidak memenuhi syarat penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.
"Karena tidak ada hak atau kebebasan orang lain yang terganggu oleh adanya pertalian darah atau ikatan perkawinan sebagaimana dimaksud ketentuan a quo," ujar Hidayat, saat membacakan pertimbangan hukum Mahkamah.
Selain itu Mahkamah Konstitusi berpendapat, ketentuan a quo telah menjadikan sesuatu yang bersifat takdir sebagai syarat untuk mengesampingkan pemenuhan hak asasi manusia, sehingga tidak dapat diterima sebagai alasan yang sah dan konstitusional.
Terkait dengan tujuan ketentuan a quo yang dikatakan untuk mencegah hal-hal negatif yang terjadi di lingkungan perusahaan, Mahkamah Konstitusi berpendapat, alasan demikian tidak memenuhi syarat pembatasan konstitusional sebagaimana tertuang dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
"Potensi timbulnya konflik kepentingan dalam mengambil satu keputusan internal perusahaan, dapat dicegah dengan merumuskan peraturan perusahaan yang ketat sehingga memungkinkan terbangunnya integritas pekerja yang tinggi," kata dia.
Selain itu Mahkamah Konstitusi juga menilai, dalam ketentuan a quo pekerja atau buruh adalah pihak yang berada dalam posisi lebih lemah karena menjadi pihak yang membutuhkan pekerjaan.
Dalam kondisi ini Mahkamah Konstitusi berpendapat, filosofi kebebasan berkontrak yang merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian menjadi tidak sepenuhnya terpenuhi.
Oleh sebab itu Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan secara keseluruhan sekarang dibaca, pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan... f. pekerja atau buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja atau buruh lainnya di dalam satu perusahaan.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2017