Analisis Citra Satelit Lansat TM 8 dan Sentinel 2 perekaman tanggal 2 Oktober 2019 yang dilakukan tim GIS Komunitas Konservasi Indonesia Warsi menunjukkan peningkatan pesat pada lahan yang terbakar.

Tercatat 126 ribu hektare hutan dan lahan yang telah hangus sejak kebakaran melanda Provinsi Jambi pada Agustus silam dan tidak kunjung padam hingga hari ini. 

Dari luas ini 86 ribu hektare atau 68 persen terjadi di lahan gambut. Dari analisis yang dilakukan terlihat kebakaran terluas justru terjadi pada kawasan yang memiliki izin.

Jika diurutkan terjadi di areal konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), yang luasnya mencapai 32 ribu hektare, disusul perkebunan sawit 20 ribu hektare dan HTI 16 ribu hektare. 

"Dari analisis ini terlihat bahwa areal yang paling luas mengalami kebakaran merupakan kawasan yang memiliki manajemen pengelola, pada kawasan yang sejatinya ada pihak yang bertanggung jawab mutlak pada kawasan tersebut," kata Direktur Komunitas Konservasi Indonesia Warsi di Jambi, Rudi Syaf. 

Dikatakannya pada tahun ini, dua HPH di Jambi yang lokasinya berada di gambut mengalami kebakaran yang sangat hebat. Dari analisis yang dilakukan dan dioverlay dengan peta perizinan terlihat bahwa PT PDI mengalami kebakaran lebih dari 17 ribu hektare atau lebih dari 50 persen dari konsesinya yang mencapai luas 34 ribu.

Sedangkan HPH PBP mengalami kebakaran juga lebih dari 15 ribu hektare atau lebih dari 71 persen dari konsesinya seluas 21 ribu hektare.

"Secara status kedua HPH ini, sudah tidak aktif namun izinnya tetap berjalan, tidak dikembalikan ke negara ataupun ditarik kembali oleh negara. Akibatnya di areal ini terjadi tindakan-tindakan illegal yang turut menjadi penyumbang kebakaran hutan dan lahan," kata Rudi.

Menurutnya, kebakaran hutan dan lahan yang sudah berulang kali terjadi di kedua HPH ini, sudah sewajarnya jika areal ini ditarik dan dikembalikan ke negara. Sebelum izin diberikan pada kedua HPH ini, kawasan hutan gambut di Kabupaten Muarojambi ini merupakan kawasan hutan gambut dengan kedalaman beragam, termasuk gambut dalam yang harusnya ditetapkan sebagai fungsi lindung. 

"Kawasan ini sejatinya satu hamparan dengan Taman Hutan Raya Sekitar Tanjung dan Taman Nasional Berbak. Pengelola yang terbukti tidak mampu mengelola kawasan, kembalikan saja izinnya ke negara dan dikembalikan ke fungsi awalnya sebagai kawasan lindung gambut," kata Rudi.
 
Selanjutnya yang juga mengalami kebakaran hebat dan luasannya terus bertambah adalah pada kawasan perkebunan sawit. Dari hasil analisis citra satelit lokasi kebakaran dan overlay dengan peta perizinan terdapat 41 perkebunan sawit yang mengalami kebakaran. 

Kebakaran terluas dialami perkebunan sawit di areal gambut. Di antara PT CIN, MAS, SNP, RKK dan BEP. Pun demikian dengan HTI melibatkan 19 perusahaan.  Jika dilihat sebarannya, kembali yang mengalami kebakaran paling hebat kawasan HTI yang berada di lahan gambut, diantaranya eks Diera dan WKS.

Dari analisis yang dilakukan juga terlihat bahwa kebakaran hutan dan lahan juga menyasar kawasan-kawasan yang sejatinya bukan ditujukan untuk perkebunan dan pertanian. Seperti hutan lindung, kawasan restorasi, taman nasional dan taman hutan raya. 

"Kawasan ini terbakar diindikasikan adanya upaya untuk mengambil alih kawasan ini secara illegal untuk menjadinya sebagai areal perkebunan oleh kelompok masyarakat kelas menengah, dan ini harus segara ditindaklanjuti dengan hukuman pidana dan perdata sampai kepada pemilik modalnya, tidak hanya sampai pada operator di lapangan," kata Rudi.

Terkait dengan makin luasnya kebakaran hutan dan lahan, KKI Warsi menyerukan untuk memperkuat pengelolaan gambut, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2016 tentang gambut.

"Sudah seharusnya PP ini dijalankan dengan baik oleh para pemegang izin di areal gambut, bagi para pemegang izin yang melanggar ketentuan PP tersebut sudah selayaknya diberikan sanksi tegas," tegas Rudi. 

Selain itu juga penting untuk mengembalikan fitrah gambut, khususnya kedalaman lebih dari 3 meter dikembalikan untuk fungsi lindung.

"Jika langkah ini tidak diambil maka Jambi akan mengalami masalah serius dengan lingkungan. Pada musim kemarau akan kebakaran berulang dan menghabiskan anggaran negara yang tidak sedikit untuk melakukan pemadaman, sekaligus ancaman kekeringan di tahun-tahun ke depan akibat rusaknya tata hidrologi," katanya.

Selain itu, perusahaan yang terlibat kebakaran harus dituntut, baik secara pidana maupun perdata. Sehingga kebakaran baik itu unsur kesengajaan ataupun unsur kelalaian tetap ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku.

"Sehingga ke depan mereka yang terlibat dalam pengelolaan kawasan benar-benar bertanggung jawab mutlak pada kawasan kelola mereka," kata Rudi menambahkan.(Rilis/Warsi)
 
 
*Kawasan Hutan yang tidak dibebani izin. *Analisis Citra Satelit Lansat TM 8 dan  Sentinel 2 Perekaman tanggal 2 Oktober 2019
*Diolah TIM GIS Komunitas Konservasi Indonesia Warsi.                                                       


 

Pewarta: -

Editor : Dodi Saputra


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2019