Pemerintah Desa Senaung, Kabupaten Muaro Jambi  melaksanakan diskusi publik dengan mengangkat tema “Denyut Sungai Batanghari” guna menjaga peradaban dan pelestarian Sungai Batanghari.

Dalam rilis pemerintahan setempat Sungai Batanghari dan peradabannya dulu dikenal sebagai pusat jalur rempah Sumatra, yang keberadaan-nya harus dilindungi sebagai sebuah budaya kemaritiman dunia. Kini, fungsi Sungai Batanghari tidak hanya sebagai jalur transportasi air, tetapi juga menjadi ‘tong sampah’.

Kualitas air yang semakin keruh diduga sudah terpapar racun yang bersumber dari aktivitas manusia. Hal ini memicu keprihatinan sekaligus kecurigaan akan kualitas air Sungai Batanghari. Sebab, sungai tersebut merupakan urat nadi perekonomian warga Jambi dan tempat bagi banyak makhluk hidup, sehingga perlu dilestarikan.

Keinginan untuk melestarikan Sungai Batanghari, disampaikan dalam sebuah diskusi publik yang diselenggarakan oleh Pemerintah Desa Senaung bersama Walhi, Kamis (19/12) bertempat di Aula SDN 3 Senaung Kecamatan Jambi Luar Kota (Jaluko), Kabupaten Muaro Jambi. Narasumber dalam acara tersebut diantaranya Datuk Rifai Nawawi selaku Ketua Lembaga Adat Desa Senaung, Dwi Nanto dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi, serta Musri Nauli selaku praktisi hukum.

Dalam sebuah kajian bersama yang bertajuk “Denyut Sungai Batanghari”, Dwi Nanto mengatakan Sungai Batanghari memainkan peranan penting bagi perkembangan peradaban di  Jambi, terutama di Desa Senaung, Kabupaten Muarojambi. Perairan Batanghari mendapat julukan sebagai sungai terpanjang di Sumatra, bernilai penting bagi masyarakatnya.

“Pada Sungai kita belajar tentang keberagaman yang menjadi keniscayaan dari sebuah peradaban dalam membangun daerah, nilai-nilai yang terkandung di tengah masyarakat seperti nilai sosial, budaya, masih banyak dipengaruhi oleh Sungai Batanghari,” kata Dwi Nanto.

Menjaga kelestarian sungai menurut Dwi Nanto dapat dilakukan dengan cara sederhana yakni mengubah gaya hidup masyarakat untuk tidak lagi mencemari sungai dan tidak membuang sampah ke sungai. Selain itu masyarakat juga harus memiliki kepedulian kepada sungai, dengan melakukan penanaman pohon di sekitar sungai.

“Sungai Batang Hari itu adalah sumber peradaban, khususnya bagi warga Desa Senaung, walaupun saat ini telah banyak pergeseran mengenai fungsi sungai, namun secara identitas masyarakat tidak bisa dipisahkan” katanya.

Menurut Datuk Sadut sapaan akrab dari Datuk Rifai, Sungai Batanghari bagi warga Desa Senaung tidak sekedar berfungsi sebagai pemasok air tapi juga sumber kehidupan. Pada zaman dahulu Sungai Batanghari itu bukan hanya sebagai sumber air, namun juga sebagai pusat perdagangan, hilir mudik transportasi perdagangan dulu ramai di Sungai Batanghari.

Dulu Sungai Batanghari airnya jernih dan tidak begitu luas. Namun sekarang semakin lebar karena adanya aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (Peti) dan pengerukan pasir yang menyebabkan tanah terbis (tanah longsor).

“Hal itu menyebabkan Sungai Batanghari menjadi seperti saat ini. Sungai merupakan urat nadi kehidupan, menyatukan daratan dan lautan menyambungkan kebudayaan antar suku, alat transportasi, jalur ekonomi dan peradaban, ini perlu dilestarikan,” kata Datuk Rifai.

Selain itu, untuk mengatasi abrasi atau pengikisan tepi sungai akibat gelombang air, hasil diskusi melahirkan rekomendasi berupa pembangunan turap disepanjang Sungai Batanghari di Daerah Desa Senaung.

Diskusi tersebut diselenggarakan dalam rangkaian acara Festival Kampung Senaung 2019 oleh Pemerintah Desa Senaung  yang bekerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (LPPM STISIP) Nurdin Hamzah Jambi. Puncak acara tersebut akan dilaksanakan dari tanggal 20-22 Desember 2019.
 

Pewarta: Muhamad Hanapi

Editor : Syarif Abdullah


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2019