Kesetaraan gender kini dapat dirasakan pada semua aspek kehidupan termasuk dalam bidang seni, tak ada lagi sekat antara perempuan dan laki-laki dalam berkesenian.
RA Kartini dikenal sebagai perempuan yang menginspirasi kesetaraan derajat antara perempuan dan laki-laki. Sosok Kartini masa kini pun mulai banyak ditemukan, salah satunya dalam dunia perfilman Indonesia.
Pengamat film Hikmat Darmawan mengatakan sejak tahun 1950-an, sosok Kartini di industri sudah ada. Saat itu bisa dibilang, bangku sutradara dan produser hanya bisa diduduki oleh kaum laki-laki. Namun geliat sutradara dan produser ini dalam memajukan perempuan dan film patut diapresiasi.
Era 1950-an hingga 1980-an
Pada era setelah Indonesia mereka, sosok Kartini perfilman sudah ada. Ia adalah Sofia W.D yang dikenal sebagai aktris era 1970-an dan 1980-an. Namun kiprahnya di dunia film sudah ada sejak 1950-an, bahkan ia tercatat pernah menyutradarai beberapa film.
"Dia sutradara yang cukup accomplish pada tahun 1950-an, dia orang yang pernah menembus Festival Film Berlin di tahun 1950-an yang puluhan tahun berikutnya ditembus lagi oleh 'Marlina'," kata Hikmat kepada Antara, Minggu.
Selain Sofia, ada juga Budiayi Abiyoga yang merupakan produser film "Naga Bonar" serta Ida Farida selaku sutradara "Perawan Perawan" dan peraih Piala Citra tahun 1989.
"Kalau kita lihat, waktu itu susah jadi sutradara, karena itu dunia cukup untuk dunia laki-laki. Bisa ada sutradara perempuan itu oke banget," jelas Hikmat.
Era 1980-an hingga 1990an
Pada era ini geliat sineas perempuan mulai banyak yang menonjol. Yang cukup memiliki kekuatan dan membawa pengaruh besar adalah Yenny Rachman, Doris Callebaute dan Suzzana.
Setelah namanya melejit lewat film "Inem Pelayan Seksi", Doris kemudian membuat Inem Film yang memproduksi film-film eksploitatif atau genre-genre seperti silat, horor, komedi seks dan ini cukup sukses hingga 1990-an.
"Yenny Rachman cukup powerfull, kemudian juga Suzzanna. Dia staying powernya dari tahun 1950-an sudah jadi bintang di 'Asrama Dara'. Tapi kemudian tahun 1970-an mencuat sebagai bombsex. Dari tahun 1980-1990, ia menjadi bintang," ujar Hikmat.
Menurut Hikmat, nama Suzzanna memiliki pengaruh yang cukup besar untuk menarik penonton Indonesia. Bahkan namanya terang-terangan dijual sebagai judul film.
"Suzzana itu bintang di film-film B dan C, dia punya saying power, dia bisa menentukan film itu bagaimana. Makanya di film-filmnya kan judulnya pakai nama dia, Suzzana apa. Kan enggak ada Yenny Rachman bangkit dari kubur, adanya Suzzana. Jadi dua orang itu bisa dibilang ketika industri film kita masih cukup ajeg, itu yang kuat," jelas Hikmat.
Nama yang tidak boleh dilupakan sebagai Kartini perfilman Indonesia adalah Christine Hakim. Ia begitu dihormati sebagai seorang aktris, bahkan kiprahnya diakui dunia internasional. Christine juga pernah menjadi juri di Cannes Film Festival dan menjadi produser film "Daun di Atas Bantal" yang disutradarai oleh Garin Nugroho.
Era 2000-an
Memasuki babak baru dari industri film Indonesia yang bisa dibilang mulai bangkit, nama Mira Lesmana tentu masuk dalam daftar sosok Kartini perfilman. Bersama Riri Riza, ia banyak melahirkan generasi baru salah satunya Lasja Fauzia.
Nia Dinata juga disebut sebagai sosok Kartini perfilman, apalagi ia kerap mengangkat isu perempuan dalam film-filmnya.
"Out of nowhere muncul Nia Dinata, dia tidak ikut perkumpulan orang-orang film sebelumnya tapi dia passionate sama film dan ditambah dia punya modal sebagai anak konglomerat. Kayak Joko Anwar kan awalnya sama dia juga, dia juga aktif dalam film-film indie. Jadi dalam konteks itu dia punya power lah," kata Hikmat.
Tahun 2000-an bisa dibilang yang paling banyak memunculkan tokoh-tokoh perempuan perfilman yang karya-karyanya tidak bisa diremehkan seperti Mouly Surya, Gina S Noer, Upi serta Mieske Taurisia. Dari sisi film indie, nama-nama sutradara yang Sugiharti Halim, Aryanti Darmawan serta Tintin Wulia.
"Betapa banyak banyaknya posisi perempuan yang kuat di perfilman kita. Memang langgam zaman seperti itu, berakhirnya orde baru sehingga relatif berakhir tuh bapakisme," ujar Hikmat.
"Kondisi saat ini ada gerakan #metoo, harrasment, senior-senior di perfilman, di tengah suasana yang kayak gini perempuan-perempuan tetap hadir dan struggle mereka kuat. Posisinya sekarang setara bahkan lebih bagus, udah waktunya perempuan take over," lanjutnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2020
RA Kartini dikenal sebagai perempuan yang menginspirasi kesetaraan derajat antara perempuan dan laki-laki. Sosok Kartini masa kini pun mulai banyak ditemukan, salah satunya dalam dunia perfilman Indonesia.
Pengamat film Hikmat Darmawan mengatakan sejak tahun 1950-an, sosok Kartini di industri sudah ada. Saat itu bisa dibilang, bangku sutradara dan produser hanya bisa diduduki oleh kaum laki-laki. Namun geliat sutradara dan produser ini dalam memajukan perempuan dan film patut diapresiasi.
Era 1950-an hingga 1980-an
Pada era setelah Indonesia mereka, sosok Kartini perfilman sudah ada. Ia adalah Sofia W.D yang dikenal sebagai aktris era 1970-an dan 1980-an. Namun kiprahnya di dunia film sudah ada sejak 1950-an, bahkan ia tercatat pernah menyutradarai beberapa film.
"Dia sutradara yang cukup accomplish pada tahun 1950-an, dia orang yang pernah menembus Festival Film Berlin di tahun 1950-an yang puluhan tahun berikutnya ditembus lagi oleh 'Marlina'," kata Hikmat kepada Antara, Minggu.
Selain Sofia, ada juga Budiayi Abiyoga yang merupakan produser film "Naga Bonar" serta Ida Farida selaku sutradara "Perawan Perawan" dan peraih Piala Citra tahun 1989.
"Kalau kita lihat, waktu itu susah jadi sutradara, karena itu dunia cukup untuk dunia laki-laki. Bisa ada sutradara perempuan itu oke banget," jelas Hikmat.
Era 1980-an hingga 1990an
Pada era ini geliat sineas perempuan mulai banyak yang menonjol. Yang cukup memiliki kekuatan dan membawa pengaruh besar adalah Yenny Rachman, Doris Callebaute dan Suzzana.
Setelah namanya melejit lewat film "Inem Pelayan Seksi", Doris kemudian membuat Inem Film yang memproduksi film-film eksploitatif atau genre-genre seperti silat, horor, komedi seks dan ini cukup sukses hingga 1990-an.
"Yenny Rachman cukup powerfull, kemudian juga Suzzanna. Dia staying powernya dari tahun 1950-an sudah jadi bintang di 'Asrama Dara'. Tapi kemudian tahun 1970-an mencuat sebagai bombsex. Dari tahun 1980-1990, ia menjadi bintang," ujar Hikmat.
Menurut Hikmat, nama Suzzanna memiliki pengaruh yang cukup besar untuk menarik penonton Indonesia. Bahkan namanya terang-terangan dijual sebagai judul film.
"Suzzana itu bintang di film-film B dan C, dia punya saying power, dia bisa menentukan film itu bagaimana. Makanya di film-filmnya kan judulnya pakai nama dia, Suzzana apa. Kan enggak ada Yenny Rachman bangkit dari kubur, adanya Suzzana. Jadi dua orang itu bisa dibilang ketika industri film kita masih cukup ajeg, itu yang kuat," jelas Hikmat.
Nama yang tidak boleh dilupakan sebagai Kartini perfilman Indonesia adalah Christine Hakim. Ia begitu dihormati sebagai seorang aktris, bahkan kiprahnya diakui dunia internasional. Christine juga pernah menjadi juri di Cannes Film Festival dan menjadi produser film "Daun di Atas Bantal" yang disutradarai oleh Garin Nugroho.
Era 2000-an
Memasuki babak baru dari industri film Indonesia yang bisa dibilang mulai bangkit, nama Mira Lesmana tentu masuk dalam daftar sosok Kartini perfilman. Bersama Riri Riza, ia banyak melahirkan generasi baru salah satunya Lasja Fauzia.
Nia Dinata juga disebut sebagai sosok Kartini perfilman, apalagi ia kerap mengangkat isu perempuan dalam film-filmnya.
"Out of nowhere muncul Nia Dinata, dia tidak ikut perkumpulan orang-orang film sebelumnya tapi dia passionate sama film dan ditambah dia punya modal sebagai anak konglomerat. Kayak Joko Anwar kan awalnya sama dia juga, dia juga aktif dalam film-film indie. Jadi dalam konteks itu dia punya power lah," kata Hikmat.
Tahun 2000-an bisa dibilang yang paling banyak memunculkan tokoh-tokoh perempuan perfilman yang karya-karyanya tidak bisa diremehkan seperti Mouly Surya, Gina S Noer, Upi serta Mieske Taurisia. Dari sisi film indie, nama-nama sutradara yang Sugiharti Halim, Aryanti Darmawan serta Tintin Wulia.
"Betapa banyak banyaknya posisi perempuan yang kuat di perfilman kita. Memang langgam zaman seperti itu, berakhirnya orde baru sehingga relatif berakhir tuh bapakisme," ujar Hikmat.
"Kondisi saat ini ada gerakan #metoo, harrasment, senior-senior di perfilman, di tengah suasana yang kayak gini perempuan-perempuan tetap hadir dan struggle mereka kuat. Posisinya sekarang setara bahkan lebih bagus, udah waktunya perempuan take over," lanjutnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2020