Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendorong berbagai pihak termasuk pemda  dan pelaku usaha perikanan mengembangkan budi daya ikan sidat, yang potensinya besar termasuk pasar ekspor global.

"Perlu dijalin kesepakatan antara pemerintah pusat, daerah, pelaku usaha, nelayan, pembudi daya, peneliti, akademisi serta pemerhati lingkungan untuk membangun komitmen pengelolaan ikan sidat di Indonesia yang bertanggung jawab dan lestari," kata Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto dalam keterangannya di Jakarta, Minggu.

Menurut dia, KKP siap untuk terus mendorong pengembangan budi daya sidat di kawasan-kawasan potensial, namun mengingat benih yang masih didapatkan dari alam perlu untuk dilakukan pengelolaan secara bertanggung jawab guna menjaga keberlangsungan habitat sidat tetap lestari.

Slamet menerangkan guna menjaga kelestarian dan keberlangsungan populasi sidat, pemerintah telah mengatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No 19 Tahun 2012 mengenai larangan pengeluaran benih sidat dari wilayah Indonesia, dengan ukuran kurang dari atau sama dengan 150 gr per ekor dilarang untuk diekspor.

"Penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan serta penggunaan benih untuk budi daya dengan ukuran sesuai ketentuan turut menjadi faktor penunjang keberhasilan usaha budi daya yang dilakukan," kata Dirjen Perikanan Budidaya.

Selama siklus hidupnya ikan sidat berperan sebagai ikan air tawar yakni mulai dari fase glass eel, elver hingga dewasa, kemudian menjadi ikan laut saat akan memijah hingga stadia telur. Setelah memijah, ikan dewasanya akan mati.

Ia memaparkan lokasi pemijahan ikan sidat jenis Anguilla bicolor bicolor di dekat perairan lepas palung Mentawai Sumatera, sedangkan Anguilla marmorata di bagian barat Pasifik Utara.

Sebaran antara lain di Pelabuhan Ratu dan Cilacap, pantai selatan Jawa, ada sepanjang tahun dan puncaknya pada Desember-Februari dengan komposisi terbanyak jenis Anguilla bicolor bicolor dan sedikit Anguilla marmorata.

Menurut data sementara, hasil produksi sidat di Indonesia pada 2019 mencapai 515,18 ton atau mengalami kenaikan produksi hingga 59 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Sementara itu, Head of Aquaculture JAPFA Group (perusahaan agrobisnis), Ardi Budiono menyatakan bahwa pihaknya telah melakukan kemitraan dengan beberapa pengusaha lokal untuk dapat membesarkan benih sidat dari ukuran glass eel sampai menjadi elver atau proses Shirasu jika menggunakan istilah dari perusahaan.

Proses ini memakan waktu kurang lebih 4-5 bulan hingga benih mencapai ukuran 2-3 gram.

"Setelah mencapai ukuran 2-3 gram per ekor, kami tampung hasilnya di perusahaan untuk dapat dibesarkan hingga mencapai ukuran panen yakni 250 gram per ekor. Proses selanjutnya adalah dikirimkan ke pabrik pengolahan, untuk dijadikan produk olahan siap santap. Model integrasi budi daya dan pengolahan sidat ini merupakan satu-satunya di Indonesia," jelas Ardi.

JAPFA Group memproduksi rata-rata lebih dari 100 ton sidat per tahun atau 380 ton sidat dalam kurun waktu 3 tahun terakhir.

Total nilai ekspor yang tercatat sepanjang 2019 mencapai Rp437 miliar, sedangkan pada Januari hingga Juni tahun 2020 total nilai ekspor telah mencapai Rp216 miliar.

Pewarta: M Razi Rahman

Editor : Syarif Abdullah


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2020