Pakar hukum tata negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Dr Fahri Bachmid menilai rencana Presiden Joko Widodo untuk membubarkan 18 lembaga negara merupakan langkah yang tepat dan sangat bermanfaat.
Kebijakan pembubaran 18 lembaga negara tersebut, menurut Fahri, merupakan sebuah terobosan kebijakan negara yang sangat konstruktif serta solutif dalam mengurai salah satu problem ketatanegaraan yang dialami bangsa dan negara selama ini.
Baca juga: Presiden Jokowi tegaskan rencana perampingan 18 lembaga pemerintah
Ia mengatakan pembubaran lembaga negara itu harus dijadikan Presiden Jokowi sebagai "moment of truth" dalam menata serta mengkonsolidasi kelembagaan negara secara baik, tepat, presisi, dan proporsional sesuai konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku.
Sebagai basis legitimasi yuridis kuat dan terukur yang dibutuhkan, kata dia, opsi hukum yang dapat ditempuh adalah Presiden Jokowi menyiapkan RUU tentang Pembubaran Kelembagaan Negara, serta mengatur segala akibat hukumnya, dan dilengkapi dengan instrumen kewenangan untuk mengatur dan menata kelembagaan negara ke depan.
"Artinya, jika Presiden membubarkan lembaga negara yang pembentukannya lewat UU maka tentunya harus melalui mekanisme ketatanegaraan dengan melibatkan DPR untuk membahasnya," katanya.
Baca juga: Ketua MPR cermati rencana perampingan 18 lembaga
Jika lembaga, badan atau komisi dengan dasar hukum pembentukannya adalah setingkat peraturan perundang-undangan di bawah UU, kata dia, cukup Presiden dengan kekuasaannya berdasarkan UUD 1945 serta kajian hukum dan ketatanegaraan terkait rancang bangun desain kelembagaannya dapat membubarkan dan mengaturnya.
"Itu adalah pilihan politik hukum yang dapat digunakan presiden sebagai kepala negara," katanya.
Secara teknis ketatanegaraan, Fahri mengatakan Presiden Jokowi sudah pernah melakukan pembubaran sekitar 23 lembaga atau badan sejak menjabat pada 2014 sehingga rencana pembubaran 18 lembaga atau badan dalam waktu dekat bukan persoalan rumit dan kompleks, termasuk bagaimana mengatur dampak serta alokasi pegawainya.
Ia menjelaskan lembaga negara independen mulai mendapat tempat dan eksis setelah reformasi tahun 1998 karena pada umumnya kinerja lembaga konvensional dianggap tidak memadai.
Baca juga: Karding: Pembubaran lembaga bukti kejengkelan Jokowi bukan "gimik"
Namun, kata dia, secara teoritik pertumbuhan lembaga negara independen yang tidak terkendali itu menimbulkan problem teknis ketatanegaraan dan pemerintahan, seperti "overlapping" kewenangan dan membebani keuangan negara.
Apalagi, Fahri mengatakan secara akademis berbagai lembaga negara, komisi atau badan itu lahir tanpa konstruksi desain, konsep ketatanegaraan yang komprehensif, dan pola pengaturan yang terukur, mulai dasar hukum, nomenklatur, bentuk, sistem rekrutmen hingga relasi hubungan antarorgan kelembagaan negara menjadi rancu dan bias.
"Dari rangkaian keseluruhan permasalahan itu sedikit banyak telah berkontribusi atas terjadinya inflasi lembaga negara independen, badan atau komisi saat ini. Dengan demikian, menjadi 'urgent', serta bermanfaat jika pemerintah mulai memikirkan serta mengambil peran untuk melakukan konsolidasi serta menata kembali lembaga negara independen dalam kerangka organisasi negara dalam bingkai penguatan sistem pemerintahan presidensial," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2020