Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum tata negara di UNS Agus Riewanto menyatakan bahwa keberadaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) diperlukan untuk mengisi kekosongan hukum.
Sebelumnya, UU Ciptaker dinyatakan Mahkamah Konstitusi inkonstitusional bersyarat pada 2021 dan harus diperbaiki hingga 2 tahun ke depan. Pada akhir 2022, Presiden Joko Widodo mengesahkan Perppu Ciptaker tersebut demi menghadapi resesi global.
Menurut Riewanto, putusan inkonstitusional bersyarat itu berarti UU Ciptaker bermasalah pada cara pembuatannya saja, namun substansinya tetap dianggap perlu.
Tanpa Perppu Ciptaker, pemerintah justru dapat dianggap menyalahgunakan kekuasaan karena bekerja tanpa dasar hukum.
“Perppu itu untuk memberikan kepastian pemerintah bisa bekerja berdasarkan hukum. Kalau tidak ada maka abuse of power," ucapnya menambahkan.
Pendapat senada dilontarkan Rektor ITB Ahmad Dahlan Mukhaer Pakkanna.
Ia mengungkapkan, secara substansi, Perppu Ciptaker yang diterbitkan Jokowi punya tujuan yang sama dengan UU Ciptaker, yaitu memperluas lapangan kerja, mengurangi pengangguran, serta terutama menyasar masuknya investasi.
Mukhaer berpendapat bahwa definisi "kegentingan memaksa" yang menjadi landasan diterbitkannya Perppu dapat ditentukan oleh Joko Widodo sebagai subjektivitas presiden.
Hal ini didukung oleh hasil riset Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) bahwa tingkat kepuasan kinerja presiden untuk mengatasi ancaman resesi global, salah satunya lewat Perppu Ciptaker, mencapai 60 persen.
"Berdasarkan survei, tingkat kepercayaan publik terhadap kemampuan Jokowi mampu membawa Indonesia keluar dari krisis ekonomi masih terbilang tinggi, mencapai 75 persen," ujar Direktur Eksekutif SMRC Sirojudin Abbas.
Survei yang sama juga menemukan bahwa dari 22 persen responden yang mengetahui penerbitan Perppu Ciptaker dan ancaman resesi global, sebanyak 51 persen di antaranya setuju kehadiran regulasi tersebut.