Setelah tujuh tahun menjadi pengangguran, seorang mantan jaksa Kejaksaan Tinggi Maluku Utara masih berupaya agar pemecatannya sebagai pegawai negeri sipil (PNS) masih bisa dibatalkan.
Awalnya ia menguji Pasal Pasal 13 ayat (1) huruf a UU Kejaksaan, kemudian melakukan perubahan pasal yang diuji menjadi Pasal 14 ayat (1) UU Kejaksaan. Menurut dia, seharusnya ia tidak dipecat sebagai PNS, melainkan hanya diberhentikan sebagai jaksa fungsional.
Menurut dia, masalah bermula dengan kemunculan Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor: KEP-003/A/JA/01/2013 tanggal 14 Januari 2013 tentang pemberhentian tidak dengan hormat sebagai pegawai negeri sipil setelah mantan jajaran Korps Adhyaksa itu terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman pidana penjara selama satu tahun oleh Pengadilan Negeri Ternate karena perkara suap.
Surat keputusan Jaksa Agung itu diterjemahkan sebagai pemberhentian dari PNS. Pemecatan itu, kata dia, menunjukkan sebuah tindakan semena-mena dan arogansi pimpinan lantaran sebelum dipecat, lelaki berusia 41 tahun itu telah menjalani hukuman disiplin tingkat berat berupa pemberhentian dari jabatan struktural serta menjadi tersangka dan terpidana.
Jabatan struktural yang dimaksud adalah Kepala Seksi Perdata pada Asisten Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Tinggi Maluku Utara.
Menurut dia, pimpinan sebaiknya mempertimbangkan penjatuhan hukuman disiplin yang sebelumnya telah dijatuhkan dalam satu perkara atau masalah yang sama.
Mengingat dalam satu perkara yang sama mantan jaksa itu menjalani dua kali proses hukum dan menerima dua jenis sanksi hukum, ia merasa tidak mendapat kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Apalagi setelah kehilangan pekerjaan sebagai jaksa dan juga pegawai negeri sipil, kelangsungan hidup Jack Lourens Vallentino Kastanya beserta istri dan anak-anak sungguh terpengaruh.
Ia mendalilkan pekerjaan dan penghidupan yang layak merupakan hak konstitusional yang diberikan oleh negara kepada tiap-tiap warga negara dan tidak dapat dihilangkan dengan alasan apa pun sepanjang orang tersebut masih hidup dan masih menjadi Warga Negara Indonesia.
Alih-alih merasa telah melakukan kesalahan karena menerima suap sebesar Rp10.000.000, ia memandang pemberlakuan pasal yang diujikan adalah suatu bentuk kesewenang-wenangan pemerintah untuk merampas dan menghilangkan hak konstitusional warga negara karena alasan dipidana.
Untuk itu, ia meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 14 ayat (1) UU Kejaksaan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai "dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri sipil".
Permohonan kabur
Pada Rabu (22/7), seluruh dalil-dalil itu runtuh sebab Mahkamah Konstitusi memutus tidak menerima permohonan pemohon dalam sidang pengucapan putusan.
Menurut Mahkamah, pemohon tidak dapat menguraikan dengan jelas mengenai apa yang sebenarnya dimohonkan dan tidak menguraikan lebih lanjut siapa yang akan diberhentikan sebagai pegawai negeri sipil.
"UU Kejaksaan mengatur bahwa jaksa secara otomatis diberhentikan sebagai PNS apabila yang bersangkutan diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya. Dengan adanya ketidakjelasan petitum permohonan pemohon berakibat terjadinya inkonsistensi antara posita dengan petitum permohonan. Dalam batas penalaran yang wajar, permohonan demikian menjadi kabur," kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Selain karena permohonan kabur, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya menyatakan kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Sementara fakta yang terjadi, dalam menjalankan tugas, pemohon sebagai seorang jaksa telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Ternate yang telah berkekuatan hukum tetap.
Enny Nurbaningsih mengatakan jaksa sebagai bagian dari PNS seharusnya memberi teladan dari sisi etik mau pun hukum.
Sementara terkait dengan aparatur sipil negara yang diberhentikan tidak dengan hormat karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana yang ada hubungannya dengan jabatan, telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XVI/2018, bertanggal 25 April 2019.
Petikan putusan itu adalah "Jika seorang PNS diberhentikan karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana yang ada hubungannya dengan jabatan, hal demikian adalah wajar sebab dengan melakukan kejahatan atau tindak pidana demikian seorang PNS telah menyalahgunakan atau bahkan mengkhianati jabatan yang dipercayakan kepadanya untuk diemban sebagai ASN".
"Dengan demikian, menurut Mahkamah, tidak ada persoalan konstitusionalitas norma dalam ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU Kejaksaan," tutur Enny Nurbaningsih.
Gugatan sebelumnya
Ada pun sebelum mengajukan uji materi Undang-Undang Kejaksaan, Jack Lourens Vellentino juga pernah mengajukan pengujian Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada 2015.
Dalam sidang saat itu, mantan jaksa itu mempersoalkan berlakunya Pasal 55 UU Peradilan TUN karena tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Ia juga meminta Mahkamah Konstitusi menerbitkan putusan sela yang menyatakan bahwa Surat Keputusan Jaksa Agung yang menyatakan pemohon diberhentikan dengan tidak hormat belum kedaluwarsa atau telah lewat 90 hari sepanjang pemohon masih mengajukan upaya-upaya hukum lainnya.
Dengan kata lain, pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan sementara pemecatan kepada pemohon, setidaknya sampai sidang pengucapan putusan untuk perkara itu.
Mahkamah Konstitusi menolak permohonan itu untuk seluruhnya dan menilai permohonan tidak beralasan menurut hukum.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2020