Krisis kesehatan global akibat pandemi coronavirus disease 2019 (COVID-19) membuat masyarakat dunia semakin menyadari perihal mendesaknya menjaga keseimbangan alam dan pertumbuhan ekonomi.

Kekhawatiran pembangunan global akan kembali ke model awal sebelum pandemi yang destruktif dan memicu pemanasan global membuat banyak pihak, termasuk Sekjen PBB António Guterres ikut mengingatkan agar dunia tidak kembali ke brown economy.

Khusus di sektor energi, transisi energi dari fosil ke energi baru terbarukan (EBT) semakin disuarakan. Porsi energi surya, angin, air semakin besar digunakan terutama oleh negara-negara Eropa, sejumlah negara bagian di Amerika Serikat, dan China.

Meski demikian, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa menyebut Indonesia terlihat sangat lamban dalam bereaksi atau dalam meyisapkan diri melakukan transisi energi.

“Dan ini bisa dipahami karena kita ini empat sampai lima dekade bergantung pada fosil. Sementara transisi itu kan menuju energi bersih, sedangkan struktur industri kita sangat ditunjang oleh fosil fuel,” kata Fabby dalam The meeting information for Transisi Energi Media Editorial Forum yang digelar IESR bersama the Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) di Jakarta, Sabtu (1/8).

Batu bara menjadi komoditas penting di daerah penghasil utama di Indonesia seperti Kalimantan Timur (Kaltim), Kalimantan Selatan (Kalsel), Kalimantan Tengah (Kalteng) dan Sumatera Selatan (Sumsel). Implikasinya, menurut dia, pendapatan batu bara berkontribusi besar pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di empat provinsi tersebut.

“Kaltim sampai 30 persen, di Kabupaten lebih besar ada yang 50 sampai dengan 60 persen. Jadi kita bisa lihat kepentingannya sangat besar dibalik industri ini,” kata Fabby.

Jika di tahun 1970-an minyak dan gas (migas) menyumbang 40 persen pertumbuhan ekonomi Indonesia, sampai produksinya menurun dari 1,5 juta barel per hari menjadi hanya 700.000 barel per hari di 1995.

Lalu bergeser ke batu bara yang secara nasional tidak menghasilkan Produk Domestik Bruto (PDB) besar, tapi di daerah besar sekali. Selain itu, Fabby mengatakan kepentingan bisnis dan politik yang berjalan bersamaan dengan industri tersebut.

“Kami coba dorong transisi energi karena melihat tidak hanya berkaitan dengan perubahan iklim saja, tapi ada juga hal lain yang perlu dipertimbangkan oleh bangsa ini,” ujar dia.

Laksanakan 3D

Dalam satu dekade terakhir dunia mengalami satu proses perubahan signifikan pada sistem energi global. Ada tren 3D selama ini yang, menurut Fabby, mengubah cara penyediaan dan infrastruktur energi dibangun, yakni desentralisasi energi, digitalisasi energi, dekarbonisasi.

Pengembangan teknologi dan inovasi EBT yang semakin kompetitif di dunia memunculkan aplikasi energi skala kecil yang mudah diterapkan bahkan di level rumah tangga. Pola konsumsi dan produksi energi ikut berubah karenanya, dan memunculkan istilah “prosumer” di mana masyarakat yang sebelumnya hanya sebagai konsumen kini juga dapat menjadi produsen.

Sementara itu, dengan adanya kemajuan teknologi digital di sektor energi seperti munculnya smart grid, memungkinkan prosumer melakukan transaksi langsung.

“Kalau di rumah bisa hasilkan listrik, bisa kita jual lewat ‘peer to peer’ tadi dan itu sudah digunakan di beberapa negara dengan ‘blockchain’,” kata Fabby.

Dengan demikian, ia mengatakan pembangkit listrik tidak terlalu penting lagi sekarang kalau setiap orang bisa menghasilkan energi sendiri, apalagi jika alat penyimpan baterei lebih murah.

Virtual power plant sudah mulai tersedia dan tidak perlu besar, hanya untuk 10 rumah sudah bisa membuat pembangkit yang tidak perlu besar. Konsep itu, menurut dia, sudah mulai digunakan di selatan Australia dan beberapa negara lainnya.

Selanjutnya dekarbonisasi, di mana target penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan penggunaan EBT dinaikkan di berbagai negara. Dan yang banyak dilakukan memasang target “facing out” batu bara, seperti Inggris yang mengumumkan akan melakukannya di 2025, sejumlah negara bagian Amerika Serikat di 2050, California di 2030.

“Jadi tren pembangkit berbasis fosil secara global mulai ditinggalkan. Ini terjadi dalam perkembangan satu dekade terakhir,” ujar Fabby.

Sementara itu, Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia Priyaji Agung mengatakan konsentrasi karbon dioksida (CO2) di atmosfer, laut dan tanah trennya meningkat mencapai 382 ppm di laut hanya dalam waktu 20-30 tahun. Sedangkan kandungan oksigen (O2) di udara turun kemurniannya 52 ppm.

Ia mengkhawatirkan suatu saat nanti hujan asam akan turun akibat konsentrasi CO2 yang terus meningkat di Bumi.

Emisi Indonesia mencapai 674 Mt CO2eq dengan rata-rata 5 ton emisi per kapita. Angka tersebut memang masih di bawah rata-rata emisi GRK negara-negara G20 lainnya, namun perlu khawatir karena perkiraannya peningkatan 17 persen emisi per kapita dapat terjadi dengan dibukanya akses transportasi dan telekomunikasi, kata Agung.

“Yang perlu diperhatikan adalah emisi hutan dan lahan gambut terbakar, dan yang menjadi keprihatinan kita energi yang bersumber fosil fuel dan batu bara,” ujar Agung.

Itu yang, menurut dia, perlu dibenahi, terlebih dengan energi fosil pun belum semua akses listrik dapat dinikmati masyarakat di pelosok Indonesia.

 

Pewarta: Virna P Setyorini

Editor : Ariyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2020