Pandemi COVID-19 dapat memicu krisis utang di beberapa negara, sehingga investor harus siap memberikan beberapa bentuk keringanan yang juga dapat mencakup pembatalan utang, kata Presiden Bank Dunia David Malpass.
“Adalah penting bahwa jumlah utang dikurangi dengan restrukturisasi,” tambah Malpass.seperti dikutip Reuters pada Minggu.
Dia menunjuk langkah serupa dalam krisis keuangan sebelumnya seperti di Amerika Latin dan apa yang disebut inisiatif HIPC -- negara-negara miskin yang berutang besar -- pada 1990-an.
Negara-negara kaya bulan lalu mendukung perpanjangan dari Debt Service Suspension Initiative (DSSI/Inisiatif Penangguhan Layanan UtangDSSI) G20, yang disetujui pada April untuk membantu negara-negara berkembang bertahan dari pandemi virus corona, yang telah menyebabkan 43 dari 73 negara potensial yang memenuhi syarat menangguhkan lima miliar dolar dalam pembayaran utang "sektor resmi".
Di tengah peringatan pandemi dapat mendorong 100 juta orang ke dalam kemiskinan ekstrem, Malpass memperbarui seruannya agar bank-bank swasta dan dana investasi juga ikut terlibat.
“Para investor ini tidak melakukan cukup banyak dan saya kecewa dengan mereka. Juga, beberapa pemberi pinjaman besar China tidak cukup terlibat. Oleh karena itu, dampak dari langkah-langkah bantuan kurang dari yang seharusnya,” katanya.
Malpass memperingatkan bahwa pandemi dapat memicu krisis utang lain karena beberapa negara berkembang telah memasuki spiral pertumbuhan yang lebih lemah dan masalah keuangan.
“Defisit anggaran yang sangat besar dan pembayaran utang membebani negara-negara tersebut. Apalagi, bank-bank di sana kesulitan karena kredit macet," tambah Malpass.
Baca juga: Bank Dunia: pandemi sebabkan pertumbuhan Asia terendah sejak 1967
Baca juga: Bank Dunia: Pandemi pukul ekonomi Asia Timur, picu kemiskinan baru
Baca juga: Kepala Bank Dunia desak G20 perpanjang penangguhan utang hingga 2021
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2020