"Atas nama Tuhan dan atas nama bangsa Arab Palestina, Dewan Nasional Palestina memproklamirkan berdirinya Negara Palestina di atas tanah Palestina yang ibu kotanya berada di Yerusalem (Al-Quds Ash-Sharif)," kata Yasser Arafat, ketua Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), tepat 32 tahun yang lalu di Aljir, Aljazair.
Israel juga tidak ragu untuk melanjutkan pembangunan pemukiman ilegal, jalan, jembatan, yang menghubungkan kompleks-kompleks perumahan tersebut dan menutup akses bagi rumah orang Palestina. Dalam prosesnya, pembangunan berbagai infrastruktur itu diiringi oleh penggusuran dan pengusiran bangsa Palestina yang telah lama tinggal di daerah tersebut.
Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN OCHA) minggu lalu menerbitkan laporan Israel menggusur 76 rumah milik orang Palestina di Humsa Al Bqai’a, Tepi Barat, pada 3 November 2020 -- penggusuran terbesar yang dilakukan Israel dalam satu kali waktu selama puluhan tahun terakhir. Untuk tahun ini, OCHA melaporkan Israel telah menggusur 689 bangunan milik komunitas Palestina di Tepi Barat dan Yerusalem Timur sehingga menyebabkan 869 warga Palestina kehilangan tempat tinggalnya.
"Penggusuran merupakan cara termudah untuk memaksa Palestina keluar dari rumahnya," kata Koordinator Kemanusiaan ad interim UN OCHA, Yvonne Helle melalui pernyataan tertulisnya minggu lalu. Ia menambahkan rumah, kandang hewan, sarana mandi cuci dan kakus (MCK), serta panel-panel surya yang hancur akibat penggusuran merupakan sumber penghidupan bagi penduduk setempat, yang "haknya telah dilanggar" oleh otoritas Israel.
Tidak hanya penggusuran, sejumlah penduduk pemukiman ilegal di Tepi Barat juga diyakini telah merusak kebun buah zaitun milik bangsa Palestina. OCHA melaporkan 1.000 pohon zaitun terbakar, 25 warga Palestina luka-luka, dan banyak hasil panen yang dijarah serta dirusak oleh para pelaku. "Setidaknya dalam kurun waktu 7 Oktober - 2 November ada 33 insiden perusakan terhadap kebun zaitun milik komunitas Palestina," kata UN OCHA lewat siaran tertulisnya minggu lalu.
Penjajahan
Berbagai insiden penggusuran, perusakan, pengusiran, pembatasan aktivitas, penangkapan yang sewenang-wenang meneguhkan keyakinan sebagian besar warga Palestina bahwa mereka masih belum lepas dari jerat penjajahan yang dilakukan Israel. Pernyataan itu kerap disampaikan di berbagai forum oleh Yara Hawari, analis senior kebijakan publik di Al Shabaka -- lembaga kajian independen di Palestina; dan Salem Barahmeh, Direktur Eksekutif Palestine Institute for Public Diplomacy (PPID).
Yara Hawari, seorang analis cum aktivitas kemerdekaan Palestina, saat diwawancarai Sky News 15 September 2020 mengatakan konflik Palestina dan Israel tidak akan selesai tanpa ada pengakuan dari pihak penjajah dan komunitas internasional bahwa ada praktik kolonialisme yang dilakukan oleh Israel terhadap bangsa Palestina.
"Menurut saya, yang harus kita lakukan saat ini adalah mengakui bahwa ada dominasi satu negara dan politik apartheid yang masih dipraktikkan (Israel terhadap rakyat Palestina, red) sampai hari ini. Kita harus menerima kenyataan itu sebagai titik awal perundingan, bukan sebagai masa depan atau solusi akhir dari konflik," ia menjelaskan.
Sementara itu, Salem Barahmeh dalam berbagai diskusi, termasuk pada acara yang diadakan oleh Foundation for Middle East Peace, beberapa bulan lalu mengatakan penjajahan adalah kenyataan yang dihadapi masyarakat Palestina sampai saat ini. Otoritas di Israel mengontrol kebebasan masyarakat di wilayah pendudukan, menghalangi pemenuhan terhadap hak-hak mendasar, membatasi kebebasan berekspresi dan berpendapat, serta membatasi pergerakan dan aktivitas masyarakat.
Terkait dengan itu, Yara dalam sesi diskusi pada medio Juli 2020 mengatakan narasi yang harusnya banyak dibahas bukan mencari bentuk negara yang ideal, sebagaimana selalu dibicarakan di berbagai forum internasional.
Menurut Yara, perjuangan rakyat Palestina sejak awal adalah dekolonialisasi -- lepas dari praktik penjajahan, dan kemerdekaan. "Dahulu, PLO memandang gerakan antikolonialisme dan kemerdekaan sebagai perjuangan yang saling terkait dan mereka menetapkan Israel sebagai rezim kolonial," kata Hawari, pengamat senior di jaringan intelektual dan masyarakat sipil Al-Shabaka.
Akan tetapi, persoalannya Palestina tidak masuk dalam daftar PBB untuk negara-negara yang perlu dibebaskan dari penjajahan.
"Dalam daftar itu, masih ada 17 wilayah yang perlu didekolonialisasi dan Palestina secara legal belum masuk dalam daftar itu," kata Direktur Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia Achsanul Habib dalam sebuah pertemuan virtual bulan lalu.
Oleh karena itu, ada kesulitan bagi komunitas internasional untuk menyatakan dengan lugas bahwa Israel melakukan praktik kolonialisasi terhadap Bangsa Palestina.
Harapan
Menurut sejumlah praktisi dan pengamat, harapan datang dari terpilihnya Joe Biden dan Kamala Harris sebagai presiden dan wakil presiden Amerika Serikat untuk periode mendatang. Biden diharapkan dapat menjadikan AS sebagai penengah yang adil untuk konflik di Palestina dan Israel.
"Harapannya, AS dapat kembali mendukung solusi dua negara sehingga akhirnya rancangan perjanjian abad ini yang diusulkan Presiden Donald Trump tidak lagi relevan," kata eks duta besar Republik Indonesia untuk Yordania, Andy Rachmianto saat sesi diskusi virtual yang diadakan oleh ICWA-ESAS untuk memperingati hari nasional Palestina, hari ini (15/11).
Pendapat sama turut disampaikan oleh Prof Azyumardi Azra, eks rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah dalam sesi diskusi tersebut.
"Kita tentunya berharap pada presiden AS yang baru terpilih. Kita berharap dia (Biden, red) dapat menawarkan pendekatan yang lebih imbang dan adil terhadap Palestina beserta rakyat Palestina mengingat usulan yang ditawarkan Trump membuat situasi jadi memburuk," kata Azyumardi.
Presiden Trump mengusulkan rencana perjanjian damai, yang ia sebut sebagai perjanjian abad ini, untuk menyelesaikan konflik antara Israel dan Palestina. Namun, usulan itu ditolak oleh Palestina karena isinya yang terlalu menguntungkan Israel.
Sementara itu, Marzuki Darusman, eks jaksa agung Republik Indonesia (1999-2001) dan ketua tim pencari fakta PBB untuk kasus Rohingya, mengatakan tantangan saat ini salah satunya tuntutan rakyat dan pemimpin Palestina masih kerap terpinggirkan di berbagai forum dunia.
Pasalnya, perbincangan mengenai penyelesaian konflik seringkali melibatkan banyak kepentingan yang bukan hanya terkait isu HAM, tetapi juga ekonomi, sosial, dan politik negara-negara Arab di Timur Tengah. Pernyataan itu dibuktikan dari normalisasi hubungan antara Uni Emirat Arab dan Bahrain dengan Israel yang disepakati pada tahun ini.
Oleh karena itu, ia mendukung rencana Presiden Palestina Mahmoud Abbas yang akan menggelar konferensi internasional Palestina pada 2021. Menurut Marzuki, penyelenggaraan konferensi itu dapat jadi wadah untuk mengembalikan suara Palestina, yang lama terpinggirkan, sebagai aktor utama penyelesaian konflik.
"Penyelenggaraan konferensi akan mendudukkan kembali pertanyaan soal Palestina di ruang-ruang perdebatan dunia, yang jauh lebih penting, karena (konflik, red) di Palestina merupakan simbol masih adanya ketidakadilan di dunia yang terhubung dengan perjuangan lain di berbagai negara," kata Marzuki dalam sesi diskusi memperingati 32 tahun kemerdekaan Palestina.
Baca juga: Rakyat Palestina senang dengan kekalahan Trump
Baca juga: Kesepakatan Sudan-Israel "tusukan baru dari belakang" bagi Palestina
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2020