Percaya atau tidak, media sosial bisa dipakai untuk kepentingan rivalitas politik, bisnis, dan sebagainya melalui "potongan" narasi, foto, dan video yang sengaja diedit pada bagian tertentu untuk "ditembakkan" kepada rival.
Padahal, panitia sudah membatasi jumlah peserta ibadah/shalat sesuai ketentuan/zona dan meminta izin Satgas COVID-19 dan praktiknya juga sudah mengatur jarak antarpeserta dan juga menerapkan protokol kesehatan (masker dan sebagainya).
Namun, saat ibadah/shalat itu selesai maka peserta ibadah/shalat akan melintasi pintu keluar yang sempit. Nah, saat itulah bisa dibidik dengan foto/video yang pasti menggambarkan adanya kerumunan secara riil. Tinggal diberi narasi.
Narasi, foto, dan video itu akhirnya diviralkan lewat medsos bahwa tokoh agama X, pejabat Y, atau tokoh masyarakat Z telah melanggar peraturan pemerintah, padahal tokoh/pejabat seharusnya memberi teladan dan sebagainya.
Itu pun masih bisa dibenturkan antaragama dengan narasi bahwa ritual shalat pada agama X dilarang/dibatasi, tapi ibadah ritual upacara pada agama Y diperbolehkan, jadi pemerintah anti agama X. Padahal, angle (sudut pengambilan) gambar pada posisi perlintasan yang sempit itulah masalahnya. Benturan yang provokatif dan SARA/ideologis banget bukan?! Framing seperti ini sudah pernah terjadi dalam "foto" upacara Hindu di Kuta-Bali yang dibenturkan dengan ibadah shalat Tarawih/Muslim di Aceh yang sama-sama "melanggar" protokol kesehatan dan SARA banget.
Jangankan informasi yang dipelintir melalui potongan-potongan narasi, foto, atau video, informasi yang bukan "potongan" narasi, foto, dan video pun bisa, namun informasinya memang hoaks/bohong dan menyeret siapapun, termasuk orang berilmu atau intelektual (yang tidak paham medsos).
Percaya atau tidak, masalah SARA (suku, agama, ras/etnis, antargolongan/strata) adalah titik kelemahan khas orang Indonesia (OI). Contoh-contoh narasi/foto/video yang bersifat SARA pasti ramai, baik utuh maupun potongan-potongan tertentu.
Artinya, isu/gosip SARA di media sosial adalah sasaran isu paling empuk untuk membuat gaduh dan viral, sekaligus a-moral, karena isu/gosip SARA itu merupakan cara paling mudah dan ampuh untuk mengaduk-aduk emosi atau memprovokasi OI. Apalagi kalau diberi bumbu-bumbu politis. Mungkin inilah alasan kuat dari mantan Presiden Soeharto untuk melarang bicara SARA.
SARA (kelemahan khas OI)
Belakangan, soal SARA paling hot/ramai adalah isu terkait etnis (China), lalu isu terkait ideologis (komunis/PKI, zionis/Palestina-Israel), bahkan isu terkait masalah COVID-19 yang bersifat kesehatan pun diseret ke soal etnis dan ideologis.
Ya, ruang digital kini "banjir" dengan konten-konten hoaks, bahkan kriminal murni juga sudah marak, seperti penipuan daring, perjudian, eksploitasi seksual pada anak, perundungan siber, dan sebagainya. Itu pun masih diramaikan oleh ujaran kebencian, konten radikalisme, hingga politisasi beragam tema, yang semuanya mengancam persatuan/kesatuan.
Beberapa contoh hoaks terkait etnis China (SARA) antara lain video orang China diangkat jadi polisi Indonesia, padahal itu orang Manado yang memang rata-rata mirip China; atau, video polisi wajib berbahasa China, padahal itu ujian siswa Sekolah Bahasa (Sebasa) Polri, sebetulnya ada lima bahasa asing yang diujikan, namun "dipotong" yang berbahasa China.
Contoh lain; foto ratusan jenazah Muslim Uighur yang menjadi korban pembantaian oleh Tentara China, padahal itu aslinya foto korban gempa bumi Nepal pada beberapa tahun silam; atau negara China pemberi utang terbanyak ke Indonesia. Banyak hoaks serupa yang "mencomot" video dari lokasi lain yang diberi narasi seolah terjadi di tempat ini.
Provokasi etnis yang berbentuk artikel/analisis pun ada, seperti Eks Dubes Polandia Haz (Hazairin) Pohan yang mengungkap Agenda RRT "berkuasa" di Indonesia dalam portal-islam.id dan twitter @hazpohan (23/5/2019) bahwa periode 2019-2024 akan terjadi migrasi 25-50 juta rakyat China ke Indonesia, lalu ada agenda "boneka" dalam Pilpres 2024, dan sebagainya.
Contoh hoaks ideologis selain Uighur-China antara lain video anak kecil dibunuh oleh Tentara Israel. Narasinya: "Seorang polisi Israel mencekik seorang anak Palestina sampai mati pada hari Sabtu selama protes pemindahan kedutaan AS ke Yerusalem. Bocah lugu itu bahkan membaca Kalimat Syahadat sebelum meninggal. Meskipun banyak upaya oleh grup untuk mengunggah video ini ke Youtube, itu telah secara konsisten dihapus dan dihapus dari google, Facebook dan youtube. Tolong jadikan video ini viral sehingga menjangkau semua media".
Faktanya, seorang pria yang diklaim polisi Israel sedang mencekik anak Palestina itu adalah kekerasan di Malmö, Swedia, yang dilakukan penjaga di stasiun kereta Malmö. Dilaporkan dua penjaga membenturkan kepala anak laki-laki berusia sembilan tahun ke lantai. Dalam video tersebut terlihat seorang penjaga mendorong bocah itu dan duduk di atasnya lalu menutup mulutnya dengan tangan. Mendapat perlakuan kasar, anak laki-laki itu terdengar mengucapkan Syahadat. Penjaga menahan bocah itu dan temannya yang berusia 12 tahun karena naik kereta tanpa tiket.
Soal hoaks SARA/ideologis yang lain adalah video pidato Netanyahu akan bunuh muslim dengan vaksin; narasi Arab Saudi galang kekuatan internasional lawan Israel tanpa melibatkan Indonesia dan Iran. Banyak lagi. Untuk konteks lokal, antara lain Islam Nusantara. Padahal, istilah Islam Berkemajuan (Muhammadiyah), Islam Terpadu (PKS), Islam Ramah (Gus Dur), Islam Nusantara (NU/Muktamar NU 2015), Melaju Islam Beraja (Brunei), Islam Hadhari (Malaysia), dan lainnya. Itu intinya sama dengan Islam Rahmatan lil Alamin (Alqur'an/QS Al-Anbiya 107). Mirip Shalat dengan Sembahyang yang memiliki ritual sama.
Kesalehan Digital
Ada pula hoaks yang menyeret persaingan bisnis yang dikemas SARA. Misalnya, narasi: "Gaza Memanggil: Boikot Donatur Zionis demi Al Aqsa dan Palestina. Tahukah kamu: Pemilik Starbucks terang-terang akan meningkatkan donasi untuk Israel membunuh orang-orang Arab. Dananya sebesar 2 milyar dolar dari laba Starbucks setiap tahunnya untuk Israel."
Tidak hanya Starbucks, tapi juga disebut Malioboro. Ada pula rentetan produk global lainnya, seperti McDonald's
Burger King, Kentucky, Pizza Hut, Coca cola, Pepsi Cola, Fudrackers, Chilies, dan lainnya. Intinya: "Kami tidak minta kalian berdonasi. Tak masalah. Tapi berhentilah menyumbang dan mendukung Israel!".
Padahal, isu SARA terkait donasi Zionis itu sudah diluruskan dalam CNN Money (10/8/2013) bahwa jaringan kedai kopi raksasa dunia Starbucks maupun CEO-nya Howard Schultz membantah pihaknya mendanai Israel. Sebelumnya memang santer beredar isu Starbucks memberikan dukungan finansial untuk tentara Israel.
Bahkan pihak perusahaan menyatakan telah menutup semua kedai kopinya di Israel di 2003. Tak ada lagi kedai kopi Starbucks di Israel karena alasan tantangan bisnis. Juru bicara perusahaan, Jim Olson, menyebutkan kampanye itu menjalar dengan cepat di sebuah aplikasi Buycott, sebuah aplikasi di mana orang bisa memulai sebuah boikot terhadap sesuatu. Mereka menyasar Starbucks sebagai perusahaan mendukung aksi Israel terhadap Palestina.
Karena klaim di aplikasi Buycott yang dibuat oleh penggunanya sendiri, pihak platform tersebut tidak bisa menjamin kebenaran dari informasi yang dikandungnya. "Starbucks tidak mendukung dan tak ada kaitannya dengan semua penyebab ketegangan politik dan agama, begitu juga dengan Howard (CEO Starbucks). Tak ada dukungan finansial dari Howard atau perusahaan untuk pemerintah Israel untuk tujuan apapun," kata Olson.
Banyak lagi potongan/pelintiran dan kebohongan/hoaks dari informasi yang menjejali jagat maya (medsos). Rasanya, penulis juga sudah capek banget untuk memberitahu tentang informasi "hoaks" atau pelintiran dan cara menghindari "kabar bohong" itu di jagat maya yang memang "banjir" informasi itu.
"Jangan mudah memercayai informasi tanpa narasumber di medsos, apakah narasi, foto, atau video, karena informasi tanpa sumber itu banyak kepentingan dibaliknya, apakah kepentingan politik, bisnis, atau individu. Di era 'banjir' informasi secara digital itu, kita perlu memiliki Kesalehan Digital, karena medsos bisa mengalami scanning, dubbing, editing atau tempelan, comotan dari fakta lain yang berbeda, dan banyak proses rekayasa digital," ucap penulis berkali-kali.
Penulis juga menyarankan tiga cara mudah untuk "saleh" secara digital (kritis pada konten), yakni:
1. sanad (narasumber/referensi),
2. matan (konteks/bunyi asli/bukan potongan-potongan), dan
3. adil (khusus konten kontroversi harus ada dua pihak/sumber: pro dan kontra harus ada/bersamaan dalam satu narasi)
Artinya, informasi tanpa sumber (tanpa berbasis data) harus dihindari dan ditahan untuk "share", apalagi sumbernya hanya "tetangga sebelah" atau potongan-potongan narasi/foto/video tertentu yang tentu tidak selalu bebas kepentingan. Informasi juga harus utuh (bukan sepotong) dan bila bersifat kasus harus ada dua sumber dari pihak pro dan pihak kontra agar netral. Itulah kesalehan digital.
Tidak hanya itu, penulis juga memberikan kiat paling mudah mendeteksi informasi hoaks atau bukan lewat mesin pencari "Google" yakni masukkan "kata kunci" dari informasi meragukan ke mesin pencari itu, maka akan muncul informasi yang dimaksud, apakah meragukan, hoaks, atau bukan, termasuk apakah potongan atau bukan. Bila tidak ada media massa yang mengulasnya di Google berarti tak akurat.
Apalagi, Islam mengajarkan pentingnya bersikap hati-hati dengan memerintahkan untuk merujuk kepada ahlinya dan tabayyun/klarifikasi (berbasis data). "Maka, bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui" (QS An-Nal: 43). Ajaran klarifikasi/tabayyun: "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu" (QS Al-ujurt: 6).
Namun, saran-saran itu seringkali "digulung" oleh "banjir" narasi medsos yang memiliki "arus" deras hingga menjadikan siapapun bisa kehilangan logika untuk "copas" dan "share" tanpa kejelasan sanad/narasumber, matan, dan adil, apalagi dikemas SARA (titik kelemahan OI) dan politis (benci/anti), sedangkan kunci kesalehan digital adalah informasi yang berbasis data (sanad, matan, adil).
Ya, data itu ibarat "firman/ayat" yang memandu untuk melawan hoaks/pelintir. Tanpa berbasis data akan mudah masuk dalam "jebakan" zaman, bahkan bisa mirip "jebakan" dalam kisah Ibnu Muljam (khawarij/takfiri) yang hafal Alqur'an/Hadits dan ahli ibadah, tapi membunuh Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang dijamin Nabi akan masuk surga. Ya, saleh secara digital memang tidak mudah, ibarat sulitnya "firman/ayat" merasuk sanubari (menjadi karakter).
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2021