Jangan sepelekan lahan tak bertuan karena disinyalir di sanalah kerap api berasal sehingga menyebabkan datangnya malapetaka kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Setiap tahun selalu terjadi karhutla di Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan, yang umumnya berawal dari lahan tak bertuan (lahan tak produktif). Lokasi tepatnya di sisi sebelah kanan dan kiri jalan Palembang-Inderalaya menuju Kampus Universitas Sriwijaya.
Keadaan ini sudah belasan tahun dikeluhkan tapi karhutla seakan menjadi bencana terjadwal di lokasi tersebut yang selalu terjadi di saat musim kemarau.
Begitu pula halnya karhutla yang kerap terjadi di Desa Muara Medak, Kabupaten Musi Banyuasin, yang juga umumnya bermula dari lahan di luar areal konsesi milik perusahaan.
Lahan tersebut bisa jadi dimiliki warga namun tidak dijaga, atau lahan tak bertuan yang sebenarnya pengawasannya kembali ke negara. (Pada 2015, pemerintah memutuskan mengambilalih pengelolaan lahan yang terbakar, baik yang sudah terlanjur diberikan izin ke perusahaan maupun lahan yang belum dimiliki/tak bertuan).
Seperti karhutla yang terjadi di lahan sawit milik masyarakat Dusun 9, Desa Muara Medak, Kabupaten Musi Banyuasin, pada Kamis (29/7) sekitar pukul 15.30 WIB. Lahan tersebut hanya berjarak sekitar 1,5 kilometer (Km) dari areal konsesi PT RHM yang menjadi mitra pemasok APP Sinar Mas ini.
Saat itu, perusahaan mengerahkan helikopter pembom air untuk memadamkan api sehingga dalam kurun waktu 1,5 jam bencana karhutla itu dapat dikendalikan. Setidaknya, lahan seluas 2 hektare (Ha) hangus terbakar.
Tak terhenti pada kejadian pertama, Desa Muara Medak kembali membara pada 9-10 Agustus 2021, tepatnya di Dusun 4.
Karhutla ini terpantau oleh tim patroli droen Regu Pemadam Kebakaran PT Rimba Hutani Mas. Lokasinya berjarak sekitar 2 Kilometer dari konsesi milik PT RHM, yakni berupa lahan semi mineral gambut dengan vegetasi semak belukar. Setidaknya lebih dari 8 Ha lahan terbakar.
Kawasan Muara Medak ini terbilang rawan karena berada di jalur perlintasan antarkabupaten dan antarprovinsi, yakni Sumsel dan Jambi.
Kawasan hutan ini juga sebagian sudah ditempati masyarakat, yang mana masih didapati membuka lahan dengan cara bakar.
Tak ayal, Desa Muara Medak menjadi perhatian Satgas Karhutla karena pada 2019 terbakar hebat yang menghanguskan kurang lebih 3 ribu Ha lahan. Saat itu warga di beberapa desa sempat dievakuasi karena adanya kabut asap. Namun pada 2020, sama sekali tidak ada karhutla di kawasan tersebut
Unit Pencegahan Karhutla PT Rimba Hutani Mas Alex Fatra mengatakan asal muasal api yang menyebabkan karhutla umumnya berasal dari luar areal konsesinya.
Namun, lantaran bencana karhutla ini sudah menjadi tanggung jawab bersama maka perusahaan juga berupaya melakukan kegiatan pencegahan dengan turut memantau areal di luar konsesi.
Caranya, perusahaan mendirikan posko terpadu di sejumlah titik rawan dengan memberdayakan masyarakat setempat yang tergabung dalam Kelompok Masyarakat Peduli Api.
Posko pemantauan yang fasilitas seperti peralatan pemadam, teropong, GPS ini diwajibkan memberikan laporan terkini ke Poskodal setiap jam.
Selain itu, perusahaan juga mengoptimalkan menara api dan kamera pemantau untuk deteksi dini karhutla.
Kawasan Muara Medak ini terbilang rawan karena berada di jalur perlintasan antarkabupaten dan antarprovinsi, yakni Sumsel dan Jambi. Kawasan hutan ini juga sebagian sudah ditempati masyarakat, yang mana masih didapati membuka lahan dengan cara bakar.
“Namanya perlintasan, bisa saja ada warga yang abai. Seperti membuang putung rokok, sehingga bisa menjadi pemicu karhutla,” kata Alex.
Regulasi
Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan sejak lama meminta solusi terkait lahan tak produktif yang rawan terbakar ini. Di saat musim kemarau, tersulut oleh api dari puntung rokok yang dibuang oleh orang tak bertanggung jawab bisa berbuah malapetaka dalam sekejap.
Terkait ini, Sumatera Selatan meminta solusi dari kementerian mengingat belum adanya aturan hukum yang mengikat.
Gubernur Sumsel Herman Deru mengatakan berdasarkan hasil analisa pemerintahannya diketahui bahwa hampir 50 persen areal yang terbakar merupakan lahan tak produktif.
“Kami ingin ada rekomendasi dari pemerintah pusat agar lahan tersebut dapat dikelola sehingga karhutla semakin dapat kita tekan,” kata Herman Deru di Palembang, Senin (30/8)
Teranyar, Sumsel memilih untuk lebih dahulu proaktif untuk membentuk tim untuk merancang aturan hukum bagi pemilik lahan tidur yang terbakar di saat musim kemarau karena kejadian selalu berulang setiap tahun. Tim ini ditargetkan menuntaskan tugasnya paling lambat akhir 2021.
“Segera kami bentuk tim untuk membuat aturan tentang pengelolaan dan kepemilikan lahan yang tidak diproduktif ini,” kata dia.
Dalam aturan tersebut nanti akan dijelaskan mengenai hukuman pencabutan hal atas lahan tersebut.
Sementara itu, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Provinsi Sumatera Selatan
Alex Sugiarto meminta pemerintah mengawasi lahan tak bertuan yang ditengarai kerap menjadi titik asal muasal terjadinya kebakaran.
Pengawasan tersebut dapat dilakukan dengan membagi kawasan-kawasan yang rawan itu dalam beberapa zona.
Kami melihat lahan tak bertuan ini yang sering menjadi masalah. Api bisa bermula dari sana, kemudian tak tertanggulangi karena banyak faktor (cuaca) sehingga masuk ke areal perkebunan milik perusahaan, kata Alex.
Bagi pengusaha sawit, kebakaran hutan dan lahan ini merupakan hal yang menakutkan karena menyebabkan kerugian secara finansial.
Belum lagi, ia melanjutkan aturan hukum yang mengharuskan perusahaan bertanggung jawab penuh terhadap areal yang dikuasai.
Namun saat ini sudah clear bahwa jika api berasal dari luar perusahaan perkebunan, maka tidak bisa secara serta merta menjerat perusahaan. Penegakan hukum juga dilakukan secara berkeadilan, kata dia.
Akan tetapi, jika perusahaan tidak memenuhi standarisasi penyediaan sarana dan prasarana penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, maka jerat hukum dapat berlaku.
Itulah kami selalu mengingatkan anggota untuk memenuhi ketentuan dari pemerintah itu, seperti keberadaan menara api, sekat kanal, hingga jumlah regu pemadamnya yang disesuaikan dengan luas lahan yang dikuasai, kata dia.
Sumatera Selatan menjadi salah satu provinsi yang dinilai rawan mengalami karhutla lantaran memiliki areal seluas 1,4 juta Ha yang merupakan lahan gambut.
Setelah terjadi karhutla hebat pada 2015 yang membakar 736.587 Ha, Sumsel mengalami penurunan luas areal yang terbakar berkat terjadi perubahan dalam penanganan.
Sejak terjadi kebakaran hebat tersebut, penanganan karhutla lebih mengedepankan pada mitigasi, kolaborasi multipihak, hingga penegakan hukum untuk memberikan efek jera.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Sumatera Selatan mencatat hanya terdapat 4.536 titik api sepanjang tahun 2020, sementara pada tahun 2019 sebanyak 17.361 titik api. Sementara itu, total luas kebakaran pada tahun 2020 yakni 946,33 Ha.
Walau terjadi penurunan tren kasus karhutla dari sejak beberapa tahun terakhir, tapi sejatinya karhutla tetap menjadi ancaman. Tetap dibutuhkan solusi permanen untuk mengatasinya, mulai dari hulu hingga hilir, termasuk terkait lahan tak bertuan ini.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2021
Setiap tahun selalu terjadi karhutla di Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan, yang umumnya berawal dari lahan tak bertuan (lahan tak produktif). Lokasi tepatnya di sisi sebelah kanan dan kiri jalan Palembang-Inderalaya menuju Kampus Universitas Sriwijaya.
Keadaan ini sudah belasan tahun dikeluhkan tapi karhutla seakan menjadi bencana terjadwal di lokasi tersebut yang selalu terjadi di saat musim kemarau.
Begitu pula halnya karhutla yang kerap terjadi di Desa Muara Medak, Kabupaten Musi Banyuasin, yang juga umumnya bermula dari lahan di luar areal konsesi milik perusahaan.
Lahan tersebut bisa jadi dimiliki warga namun tidak dijaga, atau lahan tak bertuan yang sebenarnya pengawasannya kembali ke negara. (Pada 2015, pemerintah memutuskan mengambilalih pengelolaan lahan yang terbakar, baik yang sudah terlanjur diberikan izin ke perusahaan maupun lahan yang belum dimiliki/tak bertuan).
Seperti karhutla yang terjadi di lahan sawit milik masyarakat Dusun 9, Desa Muara Medak, Kabupaten Musi Banyuasin, pada Kamis (29/7) sekitar pukul 15.30 WIB. Lahan tersebut hanya berjarak sekitar 1,5 kilometer (Km) dari areal konsesi PT RHM yang menjadi mitra pemasok APP Sinar Mas ini.
Saat itu, perusahaan mengerahkan helikopter pembom air untuk memadamkan api sehingga dalam kurun waktu 1,5 jam bencana karhutla itu dapat dikendalikan. Setidaknya, lahan seluas 2 hektare (Ha) hangus terbakar.
Tak terhenti pada kejadian pertama, Desa Muara Medak kembali membara pada 9-10 Agustus 2021, tepatnya di Dusun 4.
Karhutla ini terpantau oleh tim patroli droen Regu Pemadam Kebakaran PT Rimba Hutani Mas. Lokasinya berjarak sekitar 2 Kilometer dari konsesi milik PT RHM, yakni berupa lahan semi mineral gambut dengan vegetasi semak belukar. Setidaknya lebih dari 8 Ha lahan terbakar.
Kawasan Muara Medak ini terbilang rawan karena berada di jalur perlintasan antarkabupaten dan antarprovinsi, yakni Sumsel dan Jambi.
Kawasan hutan ini juga sebagian sudah ditempati masyarakat, yang mana masih didapati membuka lahan dengan cara bakar.
Tak ayal, Desa Muara Medak menjadi perhatian Satgas Karhutla karena pada 2019 terbakar hebat yang menghanguskan kurang lebih 3 ribu Ha lahan. Saat itu warga di beberapa desa sempat dievakuasi karena adanya kabut asap. Namun pada 2020, sama sekali tidak ada karhutla di kawasan tersebut
Unit Pencegahan Karhutla PT Rimba Hutani Mas Alex Fatra mengatakan asal muasal api yang menyebabkan karhutla umumnya berasal dari luar areal konsesinya.
Namun, lantaran bencana karhutla ini sudah menjadi tanggung jawab bersama maka perusahaan juga berupaya melakukan kegiatan pencegahan dengan turut memantau areal di luar konsesi.
Caranya, perusahaan mendirikan posko terpadu di sejumlah titik rawan dengan memberdayakan masyarakat setempat yang tergabung dalam Kelompok Masyarakat Peduli Api.
Posko pemantauan yang fasilitas seperti peralatan pemadam, teropong, GPS ini diwajibkan memberikan laporan terkini ke Poskodal setiap jam.
Selain itu, perusahaan juga mengoptimalkan menara api dan kamera pemantau untuk deteksi dini karhutla.
Kawasan Muara Medak ini terbilang rawan karena berada di jalur perlintasan antarkabupaten dan antarprovinsi, yakni Sumsel dan Jambi. Kawasan hutan ini juga sebagian sudah ditempati masyarakat, yang mana masih didapati membuka lahan dengan cara bakar.
“Namanya perlintasan, bisa saja ada warga yang abai. Seperti membuang putung rokok, sehingga bisa menjadi pemicu karhutla,” kata Alex.
Regulasi
Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan sejak lama meminta solusi terkait lahan tak produktif yang rawan terbakar ini. Di saat musim kemarau, tersulut oleh api dari puntung rokok yang dibuang oleh orang tak bertanggung jawab bisa berbuah malapetaka dalam sekejap.
Terkait ini, Sumatera Selatan meminta solusi dari kementerian mengingat belum adanya aturan hukum yang mengikat.
Gubernur Sumsel Herman Deru mengatakan berdasarkan hasil analisa pemerintahannya diketahui bahwa hampir 50 persen areal yang terbakar merupakan lahan tak produktif.
“Kami ingin ada rekomendasi dari pemerintah pusat agar lahan tersebut dapat dikelola sehingga karhutla semakin dapat kita tekan,” kata Herman Deru di Palembang, Senin (30/8)
Teranyar, Sumsel memilih untuk lebih dahulu proaktif untuk membentuk tim untuk merancang aturan hukum bagi pemilik lahan tidur yang terbakar di saat musim kemarau karena kejadian selalu berulang setiap tahun. Tim ini ditargetkan menuntaskan tugasnya paling lambat akhir 2021.
“Segera kami bentuk tim untuk membuat aturan tentang pengelolaan dan kepemilikan lahan yang tidak diproduktif ini,” kata dia.
Dalam aturan tersebut nanti akan dijelaskan mengenai hukuman pencabutan hal atas lahan tersebut.
Sementara itu, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Provinsi Sumatera Selatan
Alex Sugiarto meminta pemerintah mengawasi lahan tak bertuan yang ditengarai kerap menjadi titik asal muasal terjadinya kebakaran.
Pengawasan tersebut dapat dilakukan dengan membagi kawasan-kawasan yang rawan itu dalam beberapa zona.
Kami melihat lahan tak bertuan ini yang sering menjadi masalah. Api bisa bermula dari sana, kemudian tak tertanggulangi karena banyak faktor (cuaca) sehingga masuk ke areal perkebunan milik perusahaan, kata Alex.
Bagi pengusaha sawit, kebakaran hutan dan lahan ini merupakan hal yang menakutkan karena menyebabkan kerugian secara finansial.
Belum lagi, ia melanjutkan aturan hukum yang mengharuskan perusahaan bertanggung jawab penuh terhadap areal yang dikuasai.
Namun saat ini sudah clear bahwa jika api berasal dari luar perusahaan perkebunan, maka tidak bisa secara serta merta menjerat perusahaan. Penegakan hukum juga dilakukan secara berkeadilan, kata dia.
Akan tetapi, jika perusahaan tidak memenuhi standarisasi penyediaan sarana dan prasarana penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, maka jerat hukum dapat berlaku.
Itulah kami selalu mengingatkan anggota untuk memenuhi ketentuan dari pemerintah itu, seperti keberadaan menara api, sekat kanal, hingga jumlah regu pemadamnya yang disesuaikan dengan luas lahan yang dikuasai, kata dia.
Sumatera Selatan menjadi salah satu provinsi yang dinilai rawan mengalami karhutla lantaran memiliki areal seluas 1,4 juta Ha yang merupakan lahan gambut.
Setelah terjadi karhutla hebat pada 2015 yang membakar 736.587 Ha, Sumsel mengalami penurunan luas areal yang terbakar berkat terjadi perubahan dalam penanganan.
Sejak terjadi kebakaran hebat tersebut, penanganan karhutla lebih mengedepankan pada mitigasi, kolaborasi multipihak, hingga penegakan hukum untuk memberikan efek jera.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Sumatera Selatan mencatat hanya terdapat 4.536 titik api sepanjang tahun 2020, sementara pada tahun 2019 sebanyak 17.361 titik api. Sementara itu, total luas kebakaran pada tahun 2020 yakni 946,33 Ha.
Walau terjadi penurunan tren kasus karhutla dari sejak beberapa tahun terakhir, tapi sejatinya karhutla tetap menjadi ancaman. Tetap dibutuhkan solusi permanen untuk mengatasinya, mulai dari hulu hingga hilir, termasuk terkait lahan tak bertuan ini.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2021