Psikolog klinis lulusan Universitas Gadjah Mada Zahrah Nabila Putri mengatakan mengasah kepekaan dan kepedulian dengan sesama di sekitar menjadi upaya pertama dan penting dalam pencegahan bunuh diri.
Dari sisi perguruan tinggi, Zahrah menilai diperlukan adanya pemantauan untuk kondisi mahasiswa, namun, sayangnya, tidak semua fakultas atau jurusan bisa memberikan fasilitas tersebut.
"Ada check in mental health every month, misalnya, mengingat semua jurusan pasti ada stressful-nya untuk mahasiswa, apalagi ini adalah kondisi pasca pandemi, ada adaptasi dari online ke offline lagi, adaptasi dengan orang-orang dan lingkungan baru, dan lainnya. Banyak stress factor-nya," jelas dia.
Namun, meski fasilitas tersebut mungkin telah disediakan oleh pihak kampus, tantangan lainnya adalah dari individu yang dituju -- apakah ia mau untuk dibantu, apakah ia mau membagikan cerita sensitif yang ia alami, dan intervensi lainnya.
Menurut Zahrah, kelompok yang bisa dibilang rentan untuk mengalami gangguan kecemasan, depresi, hingga akhirnya mengarah ke upaya bunuh diri adalah mahasiswa baru yang baru saja mengalami masa transisi dari sekolah ke bangku kuliah.
Lingkungan yang ia tinggali sekarang berbeda, pertemanan yang jauh lebih beragam, dan adaptasi lainnya yang mungkin dapat membuat diri sendiri menjadi kewalahan.
Untuk itu, lanjut Zahrah, kehadiran masing-masing individu diperlukan untuk satu sama lain, agar tidak merasa sendiri dan menggugah pikiran negatif.
"Ini menjadi reminder ke semua orang bahwa ada basic needs kita sebagai manusia. Sesederhana merespons obrolan di chat, baik di group chat maupun personal. Ada yang merasa insecure karena ia tidak pernah direspons, membuat dia merasa sendiri. Kita harus menyadari ada hal-hal sederhana seperti itu yang sudah meaningful untuk orang lain," jelas dia.
"Bahwa kita perlu needs untuk terkoneksi, memiliki dukungan, tema-tema seperti itu perlu untuk dihadirkan agar semua bisa bersuara dan membangun trust, dan koneksi aman di dalam pertemanan. Support pertama adalah kita yang berada di sekitar," imbuhnya.
Lebih lanjut, Zahrah juga menyarankan bagi mereka yang memiliki kesulitan dan merasa tidak mampu menghadapinya sendiri, untuk mencoba mencari bantuan ke profesional seperti psikolog. Ia mengatakan, perlu kesadaran dari dalam diri juga untuk mau mengakui bahwa diri sendiri membutuhkan bantuan lebih lanjut.
"Informasi sangat luas. Kita memiliki banyak 'pendekatan' profesional yang seperti apa, yang dirasa cocok dengan kondisi saat ini. Perlu terbuka dengan media terapi lainnya, yang bisa diakses dari rekan-rekan terdekat, hingga platform dengan berbagai layanan online maupun offline, yang bisa disesuaikan dengan budget," kata Zahrah.
"Yang terpenting, jangan sampai kehilangan harapan. Lakukan hal yang dirasa cocok, seiring dengan adanya keinginan untuk pulih. Jika merasa stuck, jeda pun tidak apa-apa. Mungkin itu waktunya untuk kontemplasi, dan itu juga membutuhkan waktu, fasilitasi untuk mengasah aspek emosi, fisik, dan pikiran," tambah dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2022