Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) mengimbau para orang tua untuk melindungi anak-anaknya dari ancaman predator seksual serta pengaruh negatif dari penggunaan ponsel dan media sosial, di antaranya dengan memberikan pendampingan, edukasi dan perhatian yang tepat kepada anak.
Anak-anak yang mereka sasar bukan lagi anak-anak perempuan, tapi seluruh korban dari ketiga predator seksual yang ditangkap itu menyasar anak laki-laki sebagai korbannya.
Ketiga tersangka, yakni FR (27) dari Kota Tulungagung, Jawa Timur, JA (26) melakukan asksi di Semarang, Yogyakarta serta Bandung, dan tersangka FH (23) dari Cirebon, Jawa Barat.
Antara tersangka JA dan FH memiliki kesamaan modus operandi. Mereka mendekati anak-anak yang menjadi targetnya dengan mengiming-imingi korban akan diberi makanan atau uang jajan. Lalu, pelaku melakukan perbuatan asusila sesuai keinginannya, direkam dan difoto kemudian disimpan untuk konsumsi pribadi.
Kepada petugas JA mengaku melakukan perbuatan pidana tersebut karena sering melihat tayangan video porno, hingga memberinya ide untuk melakukan perbuatan serupa, korbannya ada enam orang anak laki-laki dengan rentang usia antar dua tahun.
Berbeda dengan JA, tersangka FH mengaku perbuatan tersebut didorong oleh memori masa lalunya yang pernah menjadi korban asusila saat berusia tujuh tahun.
Setelah dewasa FH melakukan perbuatan yang sama persis dengan yang pernah dialaminya, mencari korban selain tetangga sekitar rumahnya juga di warung internet (warnet), total adalah enam anak laki-laki usia tiga tahun yang jadi korbannya.
Kepada penyidik, FH mengaku masih mengingat nama pelaku yang pernah melakukan perbuatan asusila kepadanya, termasuk tempat dan lokasinya.
Sementara itu, tersangka FR melakukan perbuatan tidak pidana dengan mendistribusikan video asusila dengan konten anak-anak. dalam sebulan ia mendapat keuntungan dari penjualan video asusila anak itu sebesar Rp5 juta.
FR mendapatkan video-video asusila anak-anak Indonesia dari Telegram, kemudian dikumpulkan dalam satu folder dan dijual ulang dengan kata-kata atau tema tertentu di media sosial.
FR mengaku tidak menjual video asusila orang dewasa antara laki-laki dan perempuan, karena sulit untuk laris, sementara peminat film pornografis dengan tayangan anak banyak diminati.
“Rupanya lebih laku kalau menjual film-film pornografi dengan tema anak,” kata Direktur Tindak Pidana Siber (Dirtipidsiber) Bareskrim Polri Brigjen Pol. Adi Vivid A Bactiar, di Jakarta, Senin (27/3).
Pengawasan ekstra
Dittipidsiber Polri bermitra dengan NGO internasional NCMEC yang berkedudukan di Amerika Serikat dalam memberantas kejahatan pornografi terhadap anak. Pengungkapan kasus ketiga tersangka predator anak tersebut juga berkat informasi data yang dibagikan oleh lembaga internasional tersebut.
NCMEC lembaga internasional yang secara khusus mengawasi peredaran foto-foto dan video pornografi terutama pada anak di media sosial.
Dari data yang dibagikan oleh NCMEC, penyidik Dittipidsiber Bareskrim Polri melakukan penyelidikan, hingga menemukan lokasi para tersangka, kemudian dilakukan penyidikan serta penangkapan.
Dalam sebulan, Dittipidsiber Bareskrim Polri menerima dua data atau informasi dari NCMEC yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan melakukan penyelidikan. Data yang diberikan berupa data mentah perlu dilakukan asesmen, dengan menelusuri alamat, dari nomor telepon yang dibagikan di data tersebut.
Terkadang dari nomor telepon sulit dilacak, karena kebanyakan pelaku sering berganti nomor telepon untuk terhindar terlacak oleh petugas.
Apabila sudah diketahui lokasi dari pada pelaku tersebut, baru petugas mendatangi pelaku dan dilakukan penegakan hukum. Tapi, dalam kasus yang melibatkan anak-anak, perlakuannya berbeda.
Menurut Dirtipidsiber Bareskrim Polri Brigjen Pol. Adi Vivid A Bachtiar perlu kehati-hatian dalam kasus melibatkan anak. Sebagai contoh, ketika hendak menangkap tersangka, apabila ternyata tersangka korbannya anak satu kampung, tentu akan memancing kemarahan warga sekitar. “Jadi treatment (perlakuannya) khusus, kami tidak bisa melakukan seperti tindak pidana biasa,” ujarnya.
NCMEC secara berkala memiliki satu program yang memang bisa mengidentifikasi apakah objek pornografi tersebut kategori anak-anak atau sudah dewasa dengan algoritma khusus yang dimiliki. Jika ditemukan konten pornografi anak terjadi di Indonesia, NCMEC akan berkirim surat ke Dittipidsiber Bareskrim Polri.
Data yang dikirimkan oleh lembaga independen tersebut melalui kerja sama Dittipidsiber Bareskrim Polri dengan FBI.
Jaga dan lindungi anak
Pornografi anak menjadi incaran banyak predator seksual. Hal ini hendaknya menjadi perhatian bersama semua pihak terutama keluarga dan para orang tua. Jika dahulu yang menjadi kekhawatiran adalah anak perempuan, tapi sekarang anak-anak laki-laki bisa menjadi korban, dan akan lebih berbahaya lagi apabila anak laki-laki yang menjadi korban.
Seperti tersangka FH yang mengaku pernah menjadi korban tindak pidana asusila, justru setelah dewasa mengulangi perbuatan tersebut kepada anak-anak lainnya.
Brigjen Pol. Adi Vivid A Bactiar mengimbau kepada orang tua agar kejadian ini betul-betul menjadi perhatian. Modus yang dilakukan para pelaku dengan mencari waktu-waktu sepi, yang artinya tidak ada orang lain. Dan patut dicurigai, bukan hanya orang yang tidak dikenal tetapi juga orang yang dikenal dekat.
Karena, pelaku orang yang dikenal akan mudah untuk menghasut atau mengiming-imingi anak untuk mau mengikuti keinginan pelaku. Berbeda jika pelaku orang yang tidak dikenal, akan ada penolakan dari sang anak. “Kalau sudah kenal, hati-hati perlu dilakukan pengawasan dari anak-anak kita,” imbau Vivid.
Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kawiyan, mengapresiasi respons cepat kepolisian yang melakukan penangkapan dan penahanan terhadap para tersangka, karena jika tidak cepat ditindak bakal banyak korban anak yang berjatuhan.
Langkah selanjutnya dengan adanya kasus tersebut adalah memberikan pendampingan dan perlindungan psikologis kepada anak-anak yang menjadi korban praktik kejahatan seksual. Anak-anak yang menjadi korban tersebut akan mengalami trauma, sehingga perlu ditangani oleh pihak-pihak terkait, dalam hal ini dinas sosial, dan instansi lainnya.
Pendampingan psikologis ini diperlukan, agar anak-anak yang mengalami kekerasan seksual melalui digital, melalui gambar-gambar pornografis jangan sampai terbersit di hatinya untuk melakukan hal yang sama.
Namun dari kesemua itu, yang terpenting adalah bagaimana keluarga, orang tua agar selalu mewaspadai, mendampingi dan membersamai anak-anaknya dalam menggunakan ponsel dan bermedia sosial agar terhindar dari hal-hal yang bersifat pornografi.
Di era digital ini anak-anak mudah untuk mengakses informasi, konten-konten termasuk di dalamnya konten asusila, pornografi dan sebagainya. Oleh karena itu, pendampingan orang tua sekaligus pemberian pendidikan yang tepat kepada anak, sangat penting dilakukan.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2023