Pakar Teknologi Pangan IPB University, Profesor Slamet Budijanto menyatakan infromasi yang bergulir di masyarakat soal beras plastik adalah bukan beras yang dibuat dari plastik, tetapi biji plastik yang dianggap mirip beras.
Guru Besar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB University itu menegaskan bahwa semestinya istilah beras plastik itu tidak ada. Yang selama ini ada adalah biji plastik, bentuknya bisa bermacam-macam, termasuk bisa menyerupai beras.
“Yang viral itu sebenarnya biji plastik, tapi dikasih nama beras plastik. Jadi itu bukan beras,” jelasnya.
Menurut dia, kalaupun ada yang membuat produk beras dari plastik, hal itu tidak masuk akal. Sebab, untuk membuat biji plastik membutuhkan biaya produksi yang jauh lebih mahal dari harga jual beras saat ini.
Ia menyebut harga satu kilogram biji plastik dari hasil daur ulang (recycle) saja sudah mencapai Rp20.000, lebih mahal dibanding beras premium sekalipun yang saat ini kisaran harganya Rp15.000 per kilogram.
“Anda bayangkan, beras premium saja paling Rp12.000 sampai Rp 15.000. Kalau hasil plastik recycle itu kemudian dibentuk seperti beras, kalau mau untung, mau dijual berapa? Ini jelas tidak masuk akal,” ujarnya.
Pada beberapa kasus, dia menerangkan dalam pembuatan beras analog menggunakan gliceryn monostearat (GMS) yang merupakan produk turunan sawit. Beberapa peneliti menyebutnya sebagai ‘plasticizer’ yang berfungsi supaya tidak lengket dan lebih kompak produk beras analognya.
Prof Slamet yang merupakan sosok di balik inovasi beras analog. Beras buatannya itu berbahan baku bukan padi, melainkan dari beragam sumber pangan lain seperti jagung, ubi jalar, talas, sorgum dan lainnya. Meskipun bukan dari padi, beras analog justru bisa menjadi alternatif pangan selain beras dan memiliki segudang manfaat bagi kesehatan.
“Bisa jadi istilah ini yang disalahartikan sebagai plastik. Jika iya, persepsi yang salah ini harus diluruskan,” ujarnya.
Prof Slamet berpesan agar kejadian seperti ini bisa menjadi pelajaran supaya masyarakat lebih teliti dan kritis menanggapi suatu isu. Terlebih di era banjir informasi seperti sekarang, berpikir kritis merupakan modal penting dalam memilah benar tidaknya sebuah berita.
“Jadi, di era keterbukaan informasi ini, knowledge kita harus dikuatkan, sehingga kalau ada isu semacam ini, kita tidak termakan berita hoaks. Tanpa pengetahuan yang cukup, kita tidak akan bisa memfilter mana informasi yang benar dan mana yang salah, masuk akal atau tidak. Karena itu berpikir kritis menjadi penting,” ucap Dekan Fakultas Teknologi Pertanian (Fateta) IPB University ini.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2023