Guru Besar Hukum Internasional UGM Sigit Riyanto menilai pentingnya pendekatan holistik (orcestrated solutions) dalam memikirkan solusi atas persoalan Palestina-Israel.
"Karena meskipun kemungkinan-kemungkinan positifnya ada, hambatannya juga banyak, misalnya lemahnya dukungan dari negara-negara Arab dan kuatnya dukungan barat terhadap Israel," kata Sigit dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Menurutnya, pendekatan itu penting dilakukan, mengingat saat ini warga dunia terhadap kemerdekaan Palestina terus bertambah, termasuk masyarakat sipil dan kampus.
Sigit menyebutkan dari 20 negara dengan ekonomi terbesar dunia (G20), sembilan negara mengakui Palestina, yakni Argentina, Brasil, China, India, Indonesia, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, dan Turki. 72 persen anggota PBB juga mengakui Palestina.
"Dilihat secara keseluruhan, masyarakat global mayoritas mendukung dan mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Palestina," ujarnya.
Di akar rumput, selain mengemuka dukungan masyarakat sipil dan perguruan tinggi yang mendukung dan memperkuat posisi Palestina, juga kecaman atas tindakan-tindakan Israel yang bertentangan dengan hukum internasional, peradaban, serta nilai-nilai kemanusiaan universal.
Sejauh ini, dari sisi konflik, sambung Sigit, persoalan Palestina-Israel disebut sangat rumit sebab terus terjadi kesepakatan dan perjanjian tanpa akhir.
Dari sisi persoalan kemanusiaan, memang ada ketidakpatuhan Israel terhadap ketentuan-ketentuan hukum internasional yang berlaku.
Hal ini menandai kerumitan, baik dalam hal menganalisis persoalan Palestina-Israel maupun untuk membayangkan solusi masa depan bangsa dan negara Palestina.
"Kalau kita melihat fakta dan perkembangan dari waktu ke waktu, kita bisa menyaksikan bahwa memang ada krisis kemanusiaan dan banyak ketentuan hukum internasional yang lahir setelah Perang Dunia II yang dilanggar, misalnya hukum humaniter dan hukum perang yang berlaku," pungkas Sigit.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2024
"Karena meskipun kemungkinan-kemungkinan positifnya ada, hambatannya juga banyak, misalnya lemahnya dukungan dari negara-negara Arab dan kuatnya dukungan barat terhadap Israel," kata Sigit dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Menurutnya, pendekatan itu penting dilakukan, mengingat saat ini warga dunia terhadap kemerdekaan Palestina terus bertambah, termasuk masyarakat sipil dan kampus.
Sigit menyebutkan dari 20 negara dengan ekonomi terbesar dunia (G20), sembilan negara mengakui Palestina, yakni Argentina, Brasil, China, India, Indonesia, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, dan Turki. 72 persen anggota PBB juga mengakui Palestina.
"Dilihat secara keseluruhan, masyarakat global mayoritas mendukung dan mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Palestina," ujarnya.
Di akar rumput, selain mengemuka dukungan masyarakat sipil dan perguruan tinggi yang mendukung dan memperkuat posisi Palestina, juga kecaman atas tindakan-tindakan Israel yang bertentangan dengan hukum internasional, peradaban, serta nilai-nilai kemanusiaan universal.
Sejauh ini, dari sisi konflik, sambung Sigit, persoalan Palestina-Israel disebut sangat rumit sebab terus terjadi kesepakatan dan perjanjian tanpa akhir.
Dari sisi persoalan kemanusiaan, memang ada ketidakpatuhan Israel terhadap ketentuan-ketentuan hukum internasional yang berlaku.
Hal ini menandai kerumitan, baik dalam hal menganalisis persoalan Palestina-Israel maupun untuk membayangkan solusi masa depan bangsa dan negara Palestina.
"Kalau kita melihat fakta dan perkembangan dari waktu ke waktu, kita bisa menyaksikan bahwa memang ada krisis kemanusiaan dan banyak ketentuan hukum internasional yang lahir setelah Perang Dunia II yang dilanggar, misalnya hukum humaniter dan hukum perang yang berlaku," pungkas Sigit.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2024