Jakarta (ANTARA) - Pakar kesehatan dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Tjandra Yoga Aditama menyebut harga obat di Indonesia bisa enam kali lipat lebih mahal dari harga pasaran di India.
"Sebenarnya, informasi harga obat di Indonesia memang relatif lebih mahal dari negara tetangga. Memang sudah lama kita dengar, dan nampaknya belum kunjung teratasi sampai sekarang," kata Tjandra Yoga Aditama di Jakarta, Kamis.
Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara itu menyampaikan perbedaan harga obat di Indonesia berdasarkan pengalamannya berkantor di New Delhi pada 2015 sampai usia pensiun 65 tahun pada 2020.
"Karena usia saya ketika di India sudah lebih 60 tahun, saya mengonsumsi berbagai obat rutin, dan selalu saya beli di New Delhi. Saya sampai sekarang masih mengonsumsi obat dari India, yang selalu saya titip kalau ada teman-teman WHO dari New Delhi datang ke Jakarta," katanya.
Tjandra mencontohkan harga satu tablet Atorvastatin 20 mg di apotek Jakarta Rp6.160, atau enam kali lipat lebih mahal dari harga di India yang berkisar 4,9 Rupee India atau Rp1.000.
Lalu, satu tablet Clopidogrel 75 mg di Jakarta Rp7.835 atau lima kali lebih mahal dari India yang hanya 7,7 Rupee India, atau Rp1.540. Telmisartan 40 mg di Jakarta Rp5.198, dan harga di India hanya 7,4 Rupee India atau Rp1.500.
"Terakhir, obat hipertensi istri saya Concord 2,5 mg, harga di Jakarta Rp10.711, sementara harga di India hanya 7,8 Rupee India, atau Rp1.560. jadi untuk obat ini harga di Jakarta enam kali lebih tinggi dari harga di New Delhi," katanya.
Terkait mutu dan kualitas obat, Tjandra menyebut seluruhnya telah dipenuhi secara baik.
"Untuk saya misalnya, kadar kolesterol selalu terjaga baik dan tekanan darah selalu terkontrol baik, dengan obat-obatan yang rutin dikonsumsi ini," katanya.
Selain itu, kata Tjandra, semua kemasan obat di India selalu mencantumkan harga yang mudah dilihat konsumen.
"Jadi, kita mau beli di kota manapun di India, harganya sama persis dan tentu dikontrol ketat oleh pemerintahnya," katanya.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin usai rapat terbatas di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (2/7), mengatakan inefisiensi perdagangan menjadi salah satu penyebab harga obat di Indonesia mahal.
"Sesudah kita lihat ada itu tadi, inefisiensi dalam perdagangannya, jual belinya, banyaklah masalah tata kelola, pembeliannya," katanya.
Menkes mengatakan mahalnya harga obat di Indonesia, tidak serta merta disebabkan oleh pajak.
"Pajak kan gampangnya paling berapa, pajak kan 20 persen, 30 persen, nggak mungkin, bagaimana menjelaskan bedanya 300 persen, 500 persen," ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut Menkes, perlu ada tata kelola lebih transparan untuk mencari kombinasi yang semurah mungkin bagi pengadaan alat kesehatan dan obat-obatan.
Menkes Budi Gunadi Sadikin juga akan berbicara dengan produsen alat kesehatan dalam negeri serta asosiasi farmasi untuk mencari solusi.