Dosen Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri (STABN) Raden Wijaya Wonogiri, Jawa Tengah, Manggala Wiriya Tantra menyatakan ajaran Buddha adalah salah satu cara menanggulangi kegundahan.
“Ajaran Buddha dipaparkan sebagai salah satu cara untuk menanggulangi kegundahan dan pergulatan yang hampir selalu menimbulkan penderitaan yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari,” kata Manggala dalam diskusi tentang teks lontar Kalpabuddha yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.
Dalam rangka memperingati Tri Suci Waisak 2568 BE, Manggala mengajak umat Buddha untuk mengingat kembali bahwa Buddha bukan sebuah pemberian, melainkan sebuah pencapaian spiritual.
“Dalam Buddha Dharma (ajaran Buddha), diajarkan bahwa setiap manusia, apapun keyakinannya, bisa mencapai tingkatan-tingkatan spiritual lebih tinggi apabila dia sudah memadamkan hawa nafsu dan mengenal kebahagiaan yang dekat dengan diri sendiri,” ujar dia.
Ia mengemukakan, sumber dari munculnya kegundahan dalam diri manusia yakni cara pandang yang tidak membantu mengenali sosok diri kita sendiri.
“Kita lupa, kadang kita lebih mengenal orang lain daripada kita mengenal diri kita sendiri, padahal sumber dari penderitaan dan kebahagiaan itu tidak jauh, tetapi dekat dengan diri kita sendiri,” ucapnya.
Manggala menilai ajaran Buddha telah menjadi senjata yang ampuh dalam melenyapkan kilesa (kekotoran batin) untuk menembus pencapaian tertinggi (Buddha).
“Buddha itu pada prinsipnya adalah sebuah pencapaian setelah seseorang betul-betul mengikis dan menghabiskan semua kekotoran batin, sehingga dia betul-betul terlepas dari penderitaan yang mencengkeram kehidupan manusia, untuk menjadi Buddha yang tersadar, tercerahkan, dan terbangun,” tuturnya.
Namun, menurutnya, banyak tantangan yang harus dihadapi oleh manusia, khususnya umat Buddha, ketika menerapkan Dharma dalam hidup, karena dorongan untuk bertahan hidup dan mengejar kebahagiaan.
“Ada dorongan naluri manusiawi yang berlebihan untuk bertahan hidup, karena setiap makhluk tentu tidak ingin merasakan penderitaan dan ingin mengejar kebahagiaan. Namun, yang keliru adalah pengertian tentang sumber (penderitaan) dan tidak disadari akibatnya,” ucapnya.
Ia menyampaikan, terkadang manusia memiliki sifat merasa lebih dari orang lain, yang membuat dirinya menjadi arogan dan sombong.
“Sebaliknya, jika kita merasa kurang, kita menjadi iri hati dan cemburu. Semua yang membuat kita gundah hampir selalu disebabkan oleh dua pasang kebiasaan, penolakan versus gairah, dan arogansi versus iri hati. Dua pasang kondisi utama yang mengganggu ini, jika diatasi akan berubah menjadi suatu pengetahuan yang menakjubkan,” tuturnya.
Ia juga mengutarakan, ajaran-ajaran penting dalam Buddha semua telah tertuang dalam arca-arca Buddha di Candi Borobudur, yang merupakan perwujudan dari Panca Tatagatha, atau lima kualitas Buddha untuk mencapai pencerahan yang bebas dari penderitaan.*
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2024
“Ajaran Buddha dipaparkan sebagai salah satu cara untuk menanggulangi kegundahan dan pergulatan yang hampir selalu menimbulkan penderitaan yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari,” kata Manggala dalam diskusi tentang teks lontar Kalpabuddha yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.
Dalam rangka memperingati Tri Suci Waisak 2568 BE, Manggala mengajak umat Buddha untuk mengingat kembali bahwa Buddha bukan sebuah pemberian, melainkan sebuah pencapaian spiritual.
“Dalam Buddha Dharma (ajaran Buddha), diajarkan bahwa setiap manusia, apapun keyakinannya, bisa mencapai tingkatan-tingkatan spiritual lebih tinggi apabila dia sudah memadamkan hawa nafsu dan mengenal kebahagiaan yang dekat dengan diri sendiri,” ujar dia.
Ia mengemukakan, sumber dari munculnya kegundahan dalam diri manusia yakni cara pandang yang tidak membantu mengenali sosok diri kita sendiri.
“Kita lupa, kadang kita lebih mengenal orang lain daripada kita mengenal diri kita sendiri, padahal sumber dari penderitaan dan kebahagiaan itu tidak jauh, tetapi dekat dengan diri kita sendiri,” ucapnya.
Manggala menilai ajaran Buddha telah menjadi senjata yang ampuh dalam melenyapkan kilesa (kekotoran batin) untuk menembus pencapaian tertinggi (Buddha).
“Buddha itu pada prinsipnya adalah sebuah pencapaian setelah seseorang betul-betul mengikis dan menghabiskan semua kekotoran batin, sehingga dia betul-betul terlepas dari penderitaan yang mencengkeram kehidupan manusia, untuk menjadi Buddha yang tersadar, tercerahkan, dan terbangun,” tuturnya.
Namun, menurutnya, banyak tantangan yang harus dihadapi oleh manusia, khususnya umat Buddha, ketika menerapkan Dharma dalam hidup, karena dorongan untuk bertahan hidup dan mengejar kebahagiaan.
“Ada dorongan naluri manusiawi yang berlebihan untuk bertahan hidup, karena setiap makhluk tentu tidak ingin merasakan penderitaan dan ingin mengejar kebahagiaan. Namun, yang keliru adalah pengertian tentang sumber (penderitaan) dan tidak disadari akibatnya,” ucapnya.
Ia menyampaikan, terkadang manusia memiliki sifat merasa lebih dari orang lain, yang membuat dirinya menjadi arogan dan sombong.
“Sebaliknya, jika kita merasa kurang, kita menjadi iri hati dan cemburu. Semua yang membuat kita gundah hampir selalu disebabkan oleh dua pasang kebiasaan, penolakan versus gairah, dan arogansi versus iri hati. Dua pasang kondisi utama yang mengganggu ini, jika diatasi akan berubah menjadi suatu pengetahuan yang menakjubkan,” tuturnya.
Ia juga mengutarakan, ajaran-ajaran penting dalam Buddha semua telah tertuang dalam arca-arca Buddha di Candi Borobudur, yang merupakan perwujudan dari Panca Tatagatha, atau lima kualitas Buddha untuk mencapai pencerahan yang bebas dari penderitaan.*
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2024