Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto memimpin rapat koordinasi inventarisasi dan identifikasi tanah ulayat yang luasnya kurang lebih 3,2 juta hektare (ha) di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa.

Rapat koordinasi yang berlangsung selama kurang lebih sejam, diikuti oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) serta pejabat eselon I dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT).

“Kami membicarakan bagaimana bisa menyamakan regulasi untuk bisa menyelesaikan permasalahan-permasalahan tanah ulayat masyarakat hukum adat. Untuk itu, memang diperlukan satu kegiatan bersama atau langkah bersama,” kata Menko Hadi selepas pertemuan.

Dia melanjutkan langkah bersama itu, di antaranya koordinasi antarkementerian/lembaga, sinkronisasi regulasi lintas kementerian, dan pemutakhiran serta sinkronisasi data mengenai status pengakuan hak masyarakat hukum adat, kemudian penetapan lokasi pilot project hasil koordinasi dan sinkronisasi tersebut.

“Dan, setelah itu, Kementerian ATR/BPN akan melakukan pendaftaran, modelnya bagaimana nanti Pak Menteri (ATR/BPN) yang menjelaskan,” kata Hadi Tjahjanto.

Di lokasi yang sama, Menteri ATR/BPN Agus Harimurti Yudhoyono menjelaskan sejauh ini Kementerian ATR/BPN mendata ada 3,2 juta hektare tanah ulayat yang menjadi tempat hidup kurang lebih 3.000 masyarakat hukum adat di 16 provinsi.

AHY menegaskan masalah status tanah adat merupakan problem yang tidak sederhana, karena terkait dengan hak-hak masyarakat hukum adat.

“Oleh karena itu, semangatnya adalah mencari solusi bersama. Oleh karena itu, kami berupaya untuk terus melakukan inventarisasi dan identifikasi sambil tentunya menunggu upaya yang dilakukan misalnya oleh Kemendagri untuk bisa bersama dengan para pemerintah daerah menghadirkan kejelasan, ketetapan melalui peraturan daerah, misalnya untuk subjek masyarakat hukum adat,” kata AHY.

Menteri ATR/BPN kembali menegaskan rapat koordinasi itu salah satu tujuan utamanya ingin menyamakan persepsi dan data mengenai tanah-tanah yang masuk dalam database tanah ulayat di sejumlah kementerian.

“Jangan sampai data kami sedikit berbeda dengan yang lain, peta yang digunakan (jangan sampai) berbeda juga dengan yang lain. Ini juga menekankan pentingnya kita menghadirkan one map policy (kebijakan satu peta). Mudah-mudahan ini juga menjadi solusi,” kata AHY.

Dalam pembahasan rapat koordinasi tanah ulayat itu, 16 provinsi yang menjadi sorotan, yaitu Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Sumatera Barat, Papua, Papua Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Aceh, dan Kepulauan Riau.

Survei-survei tanah ulayat di 16 provinsi itu digelar secara bertahap sejak 2021–2023, dan AHY menyebut survei itu terus dilakukan secara bertahap untuk tanah ulayat di provinsi lainnya.

Pewarta: Genta Tenri Mawangi

Editor : Ariyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2024